Islamedia - Apakah ada hadits yang menganjurkan untuk menghilangkan nyawa cicak dan anjing berwarna hitam legam? Jazakallah
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa man waalah wa ba’d:
Ada dua pertanyaan:
Hadits Tentang Memb*nuh Cicak
Cicak (Al Wazaghu) adalah salah satu hewan melata yang ada di rumah-rumah umumnya. Keberadaannya sangat mengganggu dan menjijikan bagi umumnya manusia. Mereka akan risih jika dalam lemari pakain, lemari makan, meja makan, kasur, ada cicak di dalamnya bahkan bisa jadi kaget dan histeris. Oleh Karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut cicak dengan Al Fuwaisiq (si fasiq kecil), hewan kecil yang mengganggu. Al Fuwaisiq adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari kata Al Faasiq.
Disebutkan dalam Shahihain sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لِلْوَزَغِ الفُوَيْسِقُ»
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Cicak adalah Al Fuwaisiq. (HR. Bukhari No. 3306, Muslim, 145/2239)
Harmalah –salah satu perawi dalam hadits ini dalam riwayat Muslim- berkata: bahwa ‘Aisyah berkata:
وَلَمْ أَسْمَعْهُ أَمَرَ بِقَتْلِهِ
Aku tidak mendengar dari nabi tentang perintah memb*nuhnya (cicak). (Riwayat Muslim, Ibid)
Apa yang dikatakan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga disebutkan dalam riwayat Imam Al Bukhari. Namun, berbeda dengan ‘Aisyah, justru sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam –yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu- menyangka sebaliknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memb*nuhnya.
Imam Al Bukhari menyebutkan:
وَزَعَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِهِ
Sa’ad bin Abi Waqqash menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memb*nuhnya. (HR. Bukhari, Ibid)
Bagaimanakah yang benar? Yang benar adalah perintah memb*nuh cicak memang ada. Jika kita kumpulkan berbagai riwayat tentang memb*nuh cicak akan mendapatkan informasi tersebut, yang justru datangnya juga dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Dengan kata lain, Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga mengakui perintah memb*nuh cicak.
Berikut ini riwayat tersebut:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، حَدَّثَنَا نَافِعٌ، قَالَ: حَدَّثَتْنِي سَائِبَةُ، مَوْلَاةٌ لِلْفَاكِهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، قَالَتْ: دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ، فَرَأَيْتُ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا، قُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعُونَ بِهَذَا الرُّمْحِ؟ قَالَتْ: " هَذَا لِهَذِهِ الْأَوْزَاغِ نَقْتُلُهُنَّ بِهِ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَامُ حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا تُطْفِئُ النَّارَ عَنْهُ، غَيْرَ الْوَزَغِ، كَانَ يَنْفُخُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِ "
Berkata kepada kami ‘Affan, dia berkata: berkata kepada kami Jarir, berkata kepada kami Naafi’, dia berkata: berkata kepada kami Saaibah, pelayan wanita Faakihah bin Al Mughirah, dia berkata: “Aku menemui ‘Aisyah aku melihat dirumahnya terdapat tombak yang tergeletak. Aku bertanya: “Wahai Ummul Mu’minin, apa yang kau perbuat dengan tombak ini?” Dia berkata: “Untuk cicak-cicak ini, kami memb*nuhnya dengan alat ini, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengkabarkan kepada kami bahwa ketika Ibrahim ‘Alaihissalam dilemparkan ke api semua hewan melata memadamkan api itu kecuali cicak, dia justru menghembuskannya agar tetap menyala. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk memb*nuhnya.” (HR. Ahmad No. 24534)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth menjelaskan:
الأمر بقتل الوزغ صحيح، وهذا إسناد رجاله ثقات رجال الشيخين غير سائبة مولاة الفاكه
Perintah memb*nuh cicak adalah shahih adanya, dan para rijal isnad ini adalah orang-orang terpercaya yang merupakan para perawinya syaikhain (Bukhari dan Muslim) kecuali Saaibah pelayan wanitanya Al Faakihah. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 24534)
Jadi, ada dua riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
Pertama. Dia mengaku “belum pernah mendengar dari nabi langsung” tentang perintah memb*nuh cicak. (riwayat Muttafaq ‘Alaih)
Kedua. Dia mengatakan bahwa Nabi memerintahkan untuk memb*nuhnya (Riwayat Ahmad) , hanya saja dalam riwayat ini Beliau tidak menyebut kata “Aku mendengar,” yang Beliau katakan adalah “telah mengabarkan kepada kami Rasulullah ….”.
Nah, kedua riwayat ini nampak bertentangan, tetapi keduanya shahih walau Bukhari dan Muslim lebih shahih, dan kedua riwayat ini juga tidak saling menggugurkan. Sebab bisa jadi, dan ini kemungkinan yang paling kuat, bahwa perintah memb*nuh cicak ‘Aisyah dengar dari para sahabat, bukan langsung dari Nabi. Hal ini bisa kita pahami dari pernyataan Beliau pada satu riwayat bahwa Beliau belum pernah dengar langsung dari Nabi, tapi di riwayat lain dia menyatakan bahwa Nabi memerintahkan untuk memb*nuhnya, maka sudah barang tentu perintah tersebut –kalau memang dia tidak dengar dari Nabi- pastilah dia mendengarnya dari sahabat Nabi. Ini kompromi bagus atas dua riwayat ini. Inilah yang dinyatakan oleh para Imam, di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah.
Beliau menjelaskan dengan sangat bagus tentang kedua riwayat di atas:
والذي في الصحيح أصح ولعل عائشة سمعت ذلك من بعض الصحابة وأطلقت لفظ أخبرنا مجازا أي أخبر الصحابة كما قال ثابت البناني خطبنا عمران وأراد أنه خطب أهل البصرة فإنه لم يسمع منه والله أعلم
Riwayat pada kitab Shahih tentu lebih shahih, dan barangkali ‘Aisyah mendengarkan perintah memb*nuh cicak dari sebagian sahabat. Lafaz akhbarana (telah mengabarkan kepada kami) secara mutlak merupakan majaz saja, maksudnya yaitu “telah mengabarkan para sahabat nabi kepada kami”, kasus seperti ini serupa dengan perkataan Ats Tsaabit Al Bunani: “telah berkhutbah kepada kami ‘Imran”, maksudnya adalah telah berkhutbah kepada kami para penduduk Bashrah karena Ats Tsaabit Al Bunani tidak pernah mendengar langsung dari ‘Imran. Wallahu A’lam. (Fathul Bari, 6/354, Lihat juga Al Qasthalani dalam Irsyadus Saari, 5/311)
Tentang kepastian perintah memb*nuh cicak, juga disebutkan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim dan lainnya, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، قَالَا: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Berkata kepada kami Ishaq bin Ibrahim, dan Abdu bin Humaid, mereka berdua berkata: mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az Zuhri, dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash), bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memb*nuh cecak, dan dia menamakannya dengan Fuwaisiq. (HR. Muslim, 144/2338, juga oleh Abu Daud No. 5262, Al Bazzar No. 1086, Ibnu Hibban No. 5635, Ahmad No. 1523)
Maka, perintah memb*nuh cicak adalah benar adanya, dan valid berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itu menunjukan sunah.
Kenapa Cicak dib*nuh dan apa hikmahnya?
Sebenarnya sudah ada penjelasan dari nabi sendiri ketika menyebutnya sebagai fuwaisiq, si kecil pengganggu. Dia dib*nuh karena mengganggu kehidupan manusia.
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
واتفقوا على أن الوزغ من الحشرات المؤذيات وجمعه أوزاغ ووزغان وأمر النبي صلى الله عليه وسلم بقتله وحث عليه ورغب فيه لكونه من المؤذيات
Para ahli bahasa sepakat, bahwa cicak termasuk al hasyarat al mu’dziyat (hewan kecil pengganggu), dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memb*nuhnya, menganjurkan, dan memberikan dorongan untuk melakukannya, karena keadaanya yang termasuk al mu’dziyat (pengganggu). (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 14/236)
Ini mengisyaratkan bahwa Islam tidak merestui bentuk apa pun yang mengganggu kehidupan manusia, sekecil cicak saja mesti dihilangkan, apalagi yang lebih besar dan bahaya dari itu. Oleh karenanya para ahli ushul membuat kaidah: Adh Dharar Yuzaal - kerusakan mesti dihilangkan.
Pahala Memb*nuh Cicak
Memb*nuh cicak juga mendatangkan pahala, sebagaimana riwayat Shahih berikut ini:
مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، وَمَنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، لِدُونِ الْأُولَى، وَإِنْ قَتَلَهَا فِي الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةً، لِدُونِ الثَّانِيَةِ
Barang siapa yang memb*nuh cicak dengan sekali pukulan maka baginya kebaikan sekian dan sekian, dan barang siapa yang memb*nuhnya pada pukulan kedua, maka baginya pahala sekian dan sekian, berkurang dari yang pertama, dan siapa yang memb*nuhnya pada pukulan ketiga maka dia mendapatkan kebaikan sekian dan sekian, berkurang dari yang kedua. (HR. Muslim, 146/2240, Abu Daud No. 5263, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3442, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 3266)
Imam An Nawawi menjelaskan kenapa pukukan dilakukan berkali-kali:
وأما سبب تكثير الثواب في قتله بأول ضربة ثم ما يليها فالمقصود به الحث على المبادرة بقتله والاعتناء به وتحريس قاتله على أن يقتله بأول ضربة فإنه إذا أراد أن يضربه ضربات ربما انفلت وفات قتله
Ada pun sebab semakin banyaknya pahala memb*nuhnya dengan pukulan yang pertama kemudian pukulan selanjutnya, maksudnya adalah merupakan dorongan agar bersegera untuk memb*nuhnya, berhati-hati terhadapnya, dan menjaga pemb*nuhnya agar bisa memb*nuhnya pada sekali pukulan. Sebab jika dia memukul berkali-kali bisa jadi cicak tersebut lari dan dia gagal memb*nuhnya. (Al Minhaj, 14/236-237)
Memb*nuh Anjing Hitam
Ada beberapa Anjing yang diperintahkan dib*nuh dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu:
1. Anjing buas yang membahayakan
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Ada lima binatang yang semuanya adalah membahayakan, boleh dib*nuh di tanah Haram, seperti: tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak, anjing buas.” (HR. Bukhari No. 3136, 1732, Muslim No. 1198, Abu Daud No. 1846, An Nasa’i No. 2830, Ibnu Majah No. 3087, ada tambahan disebutkan: burung gagak belang hitam putih. Juga No. 3088, Ad Darimi No. 1816, Ibnu Hibban No. 5632 )
2. Anjing Berwarna Hitam
Perintah memb*nuh anjing hitam disebutkan dalam riwayat berikut:
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: «كُرِهَ صَيْدُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ الْبَهِيمِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِهِ»
Dari Ma’mar, dari Qatadah, dia berkata: “Dimakruhkan hewan hasil buruan anjing hitam, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memb*nuhnya.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 8508)
Dalam riwayat Imam Muslim, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، حَتَّى إِنَّ الْمَرْأَةَ تَقْدَمُ مِنَ الْبَادِيَةِ بِكَلْبِهَا فَنَقْتُلُهُ، ثُمَّ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا، وَقَالَ: «عَلَيْكُمْ بِالْأَسْوَدِ الْبَهِيمِ ذِي النُّقْطَتَيْنِ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ»
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami memb*nuh anjing. Lalu kami laksanakan perintah itu, sehingga seekor anjing milik seorang wanita, yang selalu mengawal tuannya dari dusun pun kami b*nuh pula. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memb*nuh anjing seperti itu. Dan beliau bersabda,”B*nuhlah anjing yang seluruh bulunya berwarna hitam dengan dua titik putih di keningnya, kerana anjing itu adalah Syetan .” (HR. Muslim, 47/1572)
Hadits ini menunjukkan bahwa dahulu semua anjing diperintahkan untuk dib*nuh, sebagaimana cerita dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، فَنَنْبَعِثُ فِي الْمَدِينَةِ وَأَطْرَافِهَا فَلَا نَدَعُ كَلْبًا إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتَّى إِنَّا لَنَقْتُلُ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَتْبَعُهَا
Dahulu Rasulullah memerintahkan untuk memb*nuh semua anjing, maka kami pun memburunya ke semua pelosok kota tidak satu pun anjing yang kami jumpai pasti kami memb*nuhnya, sampai-sampai anjing yang dimiliki seorang wanita pedalaman yang selalu mengikutinya juga kami b*nuh. (HR. Muslim, 45/1570)
Namun akhirnya perintah memb*nuh anjing dibatasi pada anjing tertentu saja, sebagaimana kisah yang pertama (lihat hadits Jabir bin Abdullah). Oleh karena itu Imam Muslim membuat Bab:
بَابُ الْأَمْرِ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، وَبَيَانِ نَسْخِهِ، وَبَيَانِ تَحْرِيمِ اقْتِنَائِهَا إِلَّا لِصَيْدٍ، أَوْ زَرْعٍ، أَوْ مَاشِيَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
Bab Tentang perintah memb*nuh anjing dan penjelasan tentang penghapusan perintah itu, dan penjelasan tentang haramnya memelihara anjing kecuali anjing berburu, penjaga ladang, atau penjaga ternak, dan semisalnya.
Maka, dengan keterangan hadits ini dan penjelasan Imam Muslim, bahwa perintah memb*nuh semua anjing adalah pernah ada, lalu perintah itu dibatasi hanya pada anjing hitam yang memiliki dua titik putih dikeningnya, itu pun memang benar adanya.
Wallahu A’lam
Farid Nu'man