Islamedia - Indonesia sebagai negara demokrasi, sebentar lagi akan
mengadakan ritual lima tahunan untuk memilih wakil rakyat dan kepala negara.
Namun pesta demokrasi yang akan digelar beberapa bulan ke depan itu terkadang diwarnai
riak perselisihan politik yang tiada henti dipertontonkan oleh para calon wakil
rakyat dan simpatisannya. Betapa tidak, dalam persiapan menyambut ‘pertarungan’
para elit politik itu masyarakat indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan, mereka
pada umumnya cenderung bersikap ekstrim, sangat ke kanan atau sangat ke kiri. Hanya
sedikit saja yang mencoba melirik sisa-sisa nilai luhur dan religius bangsa
ini. Padahal dalam banyak hal, wacana inilah yang akan menuntun Indonesia
menuju sistem politik yang demokratis.
Konflik di
kalangan elit politik menjelang pesta demokrasi seperti sekarang ini, paling
tidak disebabkan oleh beberapa faktor, namun faktor yang paling dominan adalah
karena adanya unsur ‘pertarungan sengit’ dalam perebutan kekuasaan. Sesuai
dengan definisi politik yang dikembangkan dalam wacana sistem pemerintahan
demokrasi, yakni politik adalah upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, maka
perebutan kekuasaan dalam pesta demokrasi menjadi hal yang pasti terjadi,
laksana perebutan gelar juara dalam pertandingan tinju. Upaya merebut dan
mempertahankan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan strategi dan taktik
yang tidak sepi dari rekayasa, tipuan, bahkan fitnah dan tidak jarang
menghasilkan konflik yang fatal dan dendam kesumat berkepanjangan.
Demokrasi sebagai sebuah sistem politik memang tidak memiliki
tolok ukur yang baku dalam menyelesaikan konflik. Keputusan selalu diambil
dengan suara terbanyak (mayoritas) baik mutlak maupun relatif, sementara
mayoritas suara itu justru bersifat relatif dan mudah berubah. Sehingga jika
mengacu pada referensi berpolitik tanpa tolok ukur yang baku tersebut, makahampir
dipastikan konflik akan terus terjadi dalam waktu yang tak terbatas. Padahal
jika kita mencoba mengambil nilai luhur
dan nilai religius (Islam) maka akan ditemui tolok ukur untuk mengatasi konflik
yang terjadi, telah jelas dalam Al Qur’an Allah berfirman: "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)." (QS.
An Nisa 59)
Oleh karena itu,
menjelang perhelatan pesta demokrasi beberapa waktu kedepan, tentu masyarakat
Indonesia menanti sebuah kedewasaan demokrasi yang telah ‘terlanjur’ dijadikan
sebagai sebuah sistem politik di Indonesia. Meskipun saat ini banyak masyarakat
yang menilai bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat pasca Reformasi
1998 jika dibandingkan dengan era
sebelumnya. Pemilihan umum (pemilu) selama Era
Reformasi dinilai berjalan demokratis karena tidak berada di bawah hegemoni
pemerintah. Tentu sangat berbeda dengan pemilu zaman Orde Baru, bahkan telah
menjadi rahasia umum bahwa hasil pemilu zaman Orde Baru sudah ditentukan
sebelum pemungutan suara karena dikendalikan secara sepihak oleh pemerintah
melalui Lembaga Pemilihan Umumyang diketuai oleh menteri dalam negeri.
Di zaman
‘kuno’ dulu jika ada orang disebut-sebut layak menjadi presiden, apalagi sampai
berani menyatakan diri akan menjadi calon presiden, langsung diisolasi,
ditekan, bahkan diejek sebagai orang gila. Tapi saat ini siapa pun bebas
mencalonkan diri jadi presiden, mulai dari politisi, praktisi dan akademisi
hingga para pengusaha, pengacara bahkan penyanyi dangdut pun boleh bermimpi
menjadi presiden. Bukan hanya berangan-angan tetapi juga boleh memperjuangkan
dan meraih jabatan itu dalam pertarungan bebas melalui pemilu yang dikendalikan
oleh KPU yang independen. Tentu tak ada yang bisa membantah bahwa semua itu merupakan
contoh nyata perbaikan demokrasi sebagai bentuk pembalikan atas ‘demokrasi
semu’ atau otoriterisme di masa lalu.
Namun di balik
‘kebebasan’ berdemokrasi saat ini, tentu masyarakat Indonesia tidak bisa
menutup mata akan kondisi politik dan demokrasi yang belum ‘dewasa’. Masyarakat
pun bisa melihat fakta, bahkan merasakan secara langsung bahwa demokrasi saat
ini belum bisa membawa ke arah pencapaian tujuan negara, yakni kesejahteraan
rakyat. Padahal, tidak ada manfaatnya berdemokrasi jika kesejahteraan rakyat
terabaikan.
Jika saat ini
pemilu relatif lebih bebas dari kecurangan dan hegemoni pemerintah, tetapi
jangan menganggap bahwa pemilu saat ini bebas dari beragam kecurangan. Pelaku
kecurangan pemilu dapat dilihat dari berbagai perkara pemilu yang ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi, pada umumnya dilakukan oleh partai politik (parpol),
tepatnya orang-orang parpol secara horizontal. Sehingga jika ada kader partai
politik yang terlibat kecurangan meski tingkat atau areanya berbeda-beda kerap
kali digunakan oleh parpol lain untuk menyerang lawan politik secara tidak
fair.
Fakta lain
yang menunjukkan belum matangnya demokrasi adalah karakter produk dan penegakan
hukum yang tumbuh dan berkembang secara ortodoks, bertentangan dengan hukum
yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup politik yang demokratis. Karakter
ortodoks ini ditandai oleh dominasi pembuatan hukum oleh lembaga-lembaga
negara, kemudian hukum tersebut dijadikan sebagai alat ‘pembenar
ketidakbenaran’ baik dalam pembuatan
maupun dalam penegakannya, serta banyaknya intervensi politik dan kolusi-kolusi
dalam penegakan hukum.
Oleh karena
itu, sebagai warga negara yang mendambakan kedewasaan demokrasi harus mengingat
bahwa sistem politik di Indonesia saat ini belum dapat disebut sebagai sistem
yang demokratis melainkan sistem yang oligarkis. Namun pesta demokrasi yang
akan digelar dalam waktu dekat diharapkan bisa menjadi langkah awal untuk menuju
kedewasaan demokrasi. Dengan demikian, marilah mengambil sesuatu yang terbaik
dari pesta demokrasi mendatang dengan bercermin pada peristiwa-peristiwa yang
terbaik di masa lalu. Teringat sebuah prinsip indah yang dikemukakan oleh para
ulama, "Melestarikan hal-hal yang baik dari masa lalu serta mengambil yang
terbaik dari masa kini.”
Wallahu a’lam bisshawaab
Achmad Firdaus
Mahasiswa Program Pascasarjana
National University of Singapore
Mahasiswa Program Pascasarjana
National University of Singapore