Islamedia - Allah Ta’ala menggunakan kata fatan untuk memuliakan posisi pemuda dan menjadikan Nabi Ibrahim
a.s. satu dari sosok teladan utama para pemuda Islam (Q.S. 21:60). Jamak dari
istilah tersebut, fityatun, digunakan
untuk memuliakan para pemuda ash-hābul
kahfi, sekumpulan pemuda dari kalangan terhormat yang tersadarkan akan Islamic Worldview dan memilih untuk
mengajak kalangannya untuk tidak menyekutukan Allah Swt. Namun saat raja
memilih menolak dan kemudian menghukum mereka, para pemuda nan penuh semangat
ini lebih memilih untuk menjaga agama mereka dengan mengasingkan diri (‘uzlah), maka Allah Ta’ala menambahkan
kepada mereka petunjuk, melimpahkan rahmat-Nya, dan memfasilitasi perjuangan
mereka (Q.S. 18:13-16). Ternyata para pemuda memiliki fitrah untuk lebih mudah menerima kebenaran
dan lebih lurus jalannya daripada generasi tua yang terjerumus dan tenggelam
dalam kebatilan. Inilah jawaban mengapa kebanyakan orang-orang yang memenuhi
seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah para pemuda. (Ibnu Katsir, Lubāb at-Tafsīr min Ibn Katsīr, Kairo: Mu’assasah
Dār al-Hilāl, 1994).
Istilah untuk pemuda sebagaimana sering
digunakan Nabi Muhammad Saw. dalam banyak sabdanya adalah syābb. “Sesungguhnya Allah
‘Azza wa Jalla sangat kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (mampu mengarahkan hawa
nafsunya untuk mengutamakan perubahan ke arah kebaikan, dan memeliharanya dari
keburukan” (HR. Ahmad No. 16731).
Begitu mulianya pemuda, hingga ia masuk
dalam tujuh golongan yang mendapatkan naungan di hari Akhir ketika ia
mengoptimalkan masa mudanya dengan banyak beribadah kepada-Nya, wa syābbun
nasya-a fī ‘ibādati rabbihi (HR. Bukhari No. 620). Keberhasilan seorang
pemuda melewati masa mudanya yang penuh dorongan dan ajakan syahwat akan
memposisikannya pada derajat yang mulia pada tahapan kehidupan di masa
berikutnya, karena awal penyimpangan seringkali terjadi di masa muda.
Masa muda masa mulia jika pemuda
memiliki cinta untuk bekerja penuh karya sarat makna. Di masa muda, kekuatan
berada pada posisi puncak. Ibn Katsir ketika menafsirkan Q.S 30:54 bahwa masa
muda adalah kekuatan setelah kelemahan, sementara masa tua adalah kelemahan
setelah kekuatan (Lubāb at-Tafsīr,
1994). Inilah mengapa Nabi Muhammad Saw mengingatkan akan satu pertanyaan besar
di hari Kiamat, “‘an syabābihi fīma
ablāhu, tentang masa mudanya
untuk apa dia pergunakan“ (HR. Tirmidzi No. 2340).
Islam mendorong para pemuda untuk
mulai memikul tanggung jawab syari’at atas dirinya dan kehidupannya di saat
mencapai akil baligh, sehingga disebut mukallaf.
Pada saat itu, ia menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap segala
perbuatan, perkataan, impian hidup, obsesi dan cita-citanya. (Raghib
as-Sirjani, Risalah ilā syabāb al-ummah,
Kairo: Muassasah Iqra’, 1995). Tentunya ini berbeda dengan standar PBB yang
mendefinisikan anak sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun
(www.ilo.org). Dalam bab ini, Islam mendorong pemuda untuk lebih cepat
berkontribusi membawa perubahan alam ke arah kebaikan, dibandingkan Barat.
Jika para generasi awal Islam
diurutkan berdasarkan usia, maka akan didapati persentase kaum muda yang begitu
cepat menyambut kebenaran Islam lebih besar dari kaum tua. Dapat disebutkan,
sepuluh nama besar (top ten) daripada
figur-figur mulia tersebut diantaranya: Anas bin Malik (<10 tahun), ‘Ali bin
Abi Thalib (10 tahun), Usamah bin Zaid (<12 tahun), Zaid bin Tsabit (13
tahun), Mu’awwidz bin Afra’ (13 tahun), Mu’adz bin Amr bin Jamuh (14 tahun), Zubair
bin Awwam (15 tahun), Thalhah bin Ubaidillah (16 tahun), Arqam bin Abil Arqam
(16 tahun), Sa’ad bin Abi Waqqash (18 tahun), dan Ja’far bin Abi Thalib
(as-Sirjani, 1995).
Kalau sepuluh nama besar di atas
dibahas lebih detail akan ditemukan bagaimana masa muda mereka dihabiskan untuk
menuntut ilmu, menyebarkan ilmu, menegakkan Islam dengan jiwa dan harta yang
mereka miliki. Sekedar contoh, bagaimana Arqam bin Abu Arqam al-Makhzumi r.a.
begitu dikenang sebagai pahlawan ketika ia menggunakan masa mudanya untuk
menyambut dengan hangat kedatangan dakwah Islam di dalam rumahnya – padahal
resiko dan bahayanya sangatlah besar – selama tiga belas tahun di kota Mekkah,
sementara ia berasal dari Bani Makhzum yang selalu bersaing dengan Bani Hasyim.
Tidak terlupakan juga bagaimana
sosok Zaid bin Tsabit yang ditugaskan Nabi Saw untuk mempelajari bahasa Ibrani,
dan kemudian bahasa Suryani di umur 13 tahun, dan ia menjadi pakar dalam bahasa
dan penulisan serta dipercaya menjadi juru bicara politik di usia yang begitu
muda dalam pandangan kekinian. ‘Aidh Abdullah al-Qarni mewasiatkan para pemuda
untuk mencari ilmu pengetahuan dengan tekun, dan merasa rugi jika tertinggal
pelajaran, ilmu, baik dari beragam majelis atau seminar, buku-buku, dan
kaset-kaset Islam (Masyarakat Idaman, 2006).
Peradaban Islam telah melahirkan
sejarah bagaimana para pemuda terlahir untuk sibuk dengan ilmu dan amal di atas
keimanan, dan tentunya ini sangat jauh dengan realitas pemuda yang
ter-Barat-kan hari ini, dimana masa muda mereka begitu menguras energi, harta,
dan pikiran karena sibuk terlibat beragam kisah percintaan muda-mudi, NAZA
(Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif seperti rokok dan zat lain yang
menimbulkan ketergantungan), kemusyrikan dan beragam aktifitas yang hanya melahirkan
kerusakan moral, ketiadaan prestasi, gangguan jiwa dan fisik, bahkan tidak
sedikit yang kemudian mempersembahkan nyawa di atas kebatilan. Hilangnya visi
dan misi besar Islam dari semangat para pemuda membuat mereka takluk dan
mengekor kepada apapun yang datang dari peradaban Barat tanpa memiliki
kemampuan untuk melakukan filterisasi apalagi adaptasi dan asimilasi.
Internalisasi identitas dan keimanan
yang benar adalah mutlak untuk melahirkan para pemuda pemburu surga laksana
jiwa penuh pesona. Syed Muhammad Naquib al-Attas menulis dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam,
“The problem of human identity and
destiny is, to my mind, the root cause of all other problems that beset modern
society. Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout
the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than
today’s challenge posed by Western civilization (ISTAC, 2001)
Di dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin, al-Attas mengidentifikasi adanya generation gap dan identity crisis, sebagaimana diderita oleh masyarakat Barat,
dikarenakan ketidakmampuan untuk mewariskan falsafah kehidupan dari generasi ke
generasi. Sementara masyarakat Islam tidak pernah menderita penyakit yang sama,
antara pemuda, dewasa dan orang tua karena referensi makna diri dan nilai
kehidupan yang sama di antara mereka, dan ini terkait dengan Islam yang
sempurna, dan tidak memerlukan kesempurnaan lagi (ISTAC, 2001). Pemuda adalah
generasi penerus dan pewaris keimanan dan semangat dalam ilmu dan amal dari
generasi sebelumnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S. 52:21, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak
cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun pahala amal mereka.”
Penulis : https://www.facebook.com/wido.supraha