Islamedia - Mari,
sebelum waktu kita untuk menabur kebaikan terhenti, rontok terbawa ke muara
yang tidak kita kenal. Kita hentikan ketepekuran pesimis, atau ketengadahan
angkuh. Kita adalah pahlawan, untuk apapun yang kita dedikasikan. Bukan
orientasi. Bukan nama, hanya saja agar kelak mereka teriak girang, (Rahmat
Abdullah)
Dulu dan saat ini ketika memutuskan
untuk membangun dan memasuki wilayah ranah dakwah yang bukan ‘mainstream’, ada
kesadaran akan konsekuensi pilihan ini. Bahwa menghadapi masyarakat yang
majemuk dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang kadang njomplang, tentu
dibutuhkan kesabaran yang lebih.
Di masyarakat, segala sesuatu sering
kali diukur dari sisi kontribusi kita di sana.
Tentu ini sangat kontras dengan kondisi jika kita tinggal di perumahan yang memang mendukung gaya hidup individualis, jika kita tidak mewaspadainya. Kesibukan, tingkat pendidikan maupun ekonomi yang biasanya merata membuat satu sama lain sering jarang berinteraksi. Sikap cuek dengan sekitar, sering kali menjadi ciri khas kehidupan di perumahan.
Sekali lagi ini hanya masalah pilihan. Masalah selera. Bagi seorang kader dakwah, di lingkungan manapun yang ia pilih maka begitu dia memutuskan tinggal di lingkungan itu, maka saat itu pula misi dakwah di lingkungan itu juga mulai berjalan. Tidak peduli dia memutuskan tinggal di kampung atau pun perumahan. Kondisi apa pun yang mungkin menghalangi, harus siap dihadapi dan ditaklukkan. Entah ketika ada kegiatan apapun itu seperti gotong royong atau kerja bakti jika kita tidak pernah muncul maka sangat mungkin orang akan membicarakan kita. Misalnya, di rapat-rapat di tempat kita tinggal jika jarang kelihatan tentu akan membuat orang memandang kita sebelah mata. Etika dan kesopanan masih di junjung tinggi, kepada yang lebih tua jika tidak bisa menempatkan diri bisa-bisa kita akan dikucilkan di sana.
Tentu ini sangat kontras dengan kondisi jika kita tinggal di perumahan yang memang mendukung gaya hidup individualis, jika kita tidak mewaspadainya. Kesibukan, tingkat pendidikan maupun ekonomi yang biasanya merata membuat satu sama lain sering jarang berinteraksi. Sikap cuek dengan sekitar, sering kali menjadi ciri khas kehidupan di perumahan.
Sekali lagi ini hanya masalah pilihan. Masalah selera. Bagi seorang kader dakwah, di lingkungan manapun yang ia pilih maka begitu dia memutuskan tinggal di lingkungan itu, maka saat itu pula misi dakwah di lingkungan itu juga mulai berjalan. Tidak peduli dia memutuskan tinggal di kampung atau pun perumahan. Kondisi apa pun yang mungkin menghalangi, harus siap dihadapi dan ditaklukkan. Entah ketika ada kegiatan apapun itu seperti gotong royong atau kerja bakti jika kita tidak pernah muncul maka sangat mungkin orang akan membicarakan kita. Misalnya, di rapat-rapat di tempat kita tinggal jika jarang kelihatan tentu akan membuat orang memandang kita sebelah mata. Etika dan kesopanan masih di junjung tinggi, kepada yang lebih tua jika tidak bisa menempatkan diri bisa-bisa kita akan dikucilkan di sana.
Maka saya memandang, ketika kita
mengusung dakwah di sebuah komunitas apa pun itu maka adalah sebuah keniscayaan
kita akan berhadapan dengan mereka yang beragam dalam sifat dan prilakunya. Ada
yang mapan secara ekonomi dan tidak jarang juga pandai. Punya status sosial
tinggi. Pendapat mereka hampir selalu diiyakan oleh masyarakat. Apalagi di
kampung yang tingkat primordialismenya masih kental. Atau perkumpulan yang
masih menjunjung tinggi anti kemapanan. Bukan berarti kita tidak bisa masuk
kesana juga.
Komunitas
di tengah masyarakat bisa menjadi alat berdakwah syiar Islam. Sejalan dengan
arus modernitas dan kompleksitas permasalahan dakwah, untuk mengembangkan
dakwah berbasis komunitas,
Basis komunitas dimanfaatkan atas dasar berbagai latar belakang para penyuluh agama Islam serta dai di lapangan. Program ini, jelas dan sangat tepat menggali potensi-potensi komunitas lokal.
Dakwah merupakan gerakan perubahan yang telah dicontohkan Rasulullah. Oleh karena itu, dakwah harus digerakkan menuju sebuah perubahan yang lebih baik, tidak sekedar formalistik,
Basis komunitas dimanfaatkan atas dasar berbagai latar belakang para penyuluh agama Islam serta dai di lapangan. Program ini, jelas dan sangat tepat menggali potensi-potensi komunitas lokal.
Dakwah merupakan gerakan perubahan yang telah dicontohkan Rasulullah. Oleh karena itu, dakwah harus digerakkan menuju sebuah perubahan yang lebih baik, tidak sekedar formalistik,
Sebagai respon atas tujuan dakwah, unsur manajemen menjadi sebuah kebutuhan mendasar di tengah arus modernitas. Manajemen dakwah perlu terus dkembangkan secara berkala sesuai kebutuhan.
Peran tokoh agama dan para dai dinilainya menjadi pilar pembangunan. Pasalnya, mereka diharapkan mampu menjadi filter terhadap berbagai isu dan berita berpotensi pemicu konflik.
Kita perlu membangun situasi kondusif di masyarakat. Ini penting untuk memastikan pembangunan dan roda-roda kehidupan berjalan dengan baik.
Dan inilah dakwah. Kita akan
bersinggungan dengan pemuda, karang taruna, remaja masjid, Pak ustadz, Ketua
DKM, Pak RT, Pak RW, Pak Dukuh, Ketua Tahlilan, Majelis Taklim dan
jabatan-jabatan informal lainnya. Arus dakwah ini seringkali harus
bersinggungan dengan mainstream yang berlaku di masyarakat itu. Sering kali
melawan arus utama. Siap tidak siap, kita harus menunjukkan prinsip-prinsip
yang kita yakini kebenarannya itu. Dan kadang itu akan berbenturan dengan
keyakinan-keyakinan di sana.
Adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan semua itu. Dan seni dakwah di sinilah menjadi hal yang harus selalu kita mainkan. Tidak ada yang baku di sini, karena tiap komunitas tentu membutuhkan pendekatan yang khusus. Boleh jadi satu pendekatan cocok dengan gaya hidup orang kampung, tapi di sisi lain dia tidak pas untuk gaya hidup di komplek perkotaan.
Yang perlu kita perjuangkan pertama kali adalah akseptabilitas kita di masyarakat. Ya, penerimaan mereka terhadap kita. Maka upaya yang harus kita lakukan adalah mendekati mereka, merangkulnya, dan membuat mereka percaya dengan dakwah ini. Bukan malah sebaliknya karena sikap yang kita salah, alih-alih membuat mereka dekat dengan dakwah ini, malah mereka akan lari dan alergi dengan dakwah.
Atau bahkan kita akan mendekat
mereka tiba-tiba menjauh, ‘mungkin’ kita saat datang dengan pakaian kokoh rapih
dll. Tidak salah juga tapi kita juga bisa melihat terlebih dahulu apa yang
mereka harapan dan apa yang bisa kita dekat dengan mereka.
Ada setidaknya 3 (tiga) hal yang harus kita bangun dalam diri kita agar akseptabilitas ini dapat kita wujudkan :
1. Integritas
Sungguh faktor integritas ini sangat
mempengaruhi penerimaan masyarakat kepada kita. Rasulullah bahkan sebelum
beliau diangkat menjadi rasul, telah dikenal dengan gelar al-amin nya. Tentu
kita ingat dengan kesusahan yang terjadi saat peletakan hajar aswad ketika
renovasi ka’bah. Hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Maka ketika
Rasulullah memberikan penyelesaiannya, semua menerima dengan lapang dada.
Memang membangun intregitas bukan perkara yang mudah. Butuh banyak amal dan kerja nyata yang harus dilakukan. Selalu jujur. Dapat dipercaya. Senantiasa membantu kepada yang membutuhkan pertolongan. Ringan tangan. Tidak mengingkari janji. Selalu berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Perhatian dan peduli kepada tetangga. Ikut memakmurkan masjid/mushola. Ini hanya sebagian contoh untuk membangun intregitas kita.
2. Kapabilitas
Masyarakat akan menghargai jika kita
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu yang (mungkin) dibutuhkan masyarakat.
Selalu asah kemampuan yang kita punyai. Jangan pernah alergi untuk mencoba
mengambil sebuah peran yang akan mengasah kemampuan kita.
Burn yourself.
Burn yourself.
3. Konsistensi
Selalu dibutuhkan nafas panjang
dalam setiap etape dakwah ini. Karena dakwah tidak pernah selesai hanya dalam
satu atau dua generasi. Karenanya agar dakwah ini menghunjam kuat di
masyarakat, dibutuhkan konsistensi.
Konsisten dalam segala aspek.
Ucapan. Perilaku. Gerak dakwah. Dalam segala kondisi dan waktu. Tidak musiman.
Tidak sesaat. Pun tidak hanya di waktu-waktu tertentu maupun untuk orang-orang
tertentu.
Maka setelah kita mengupayakan ketiga hal di atas, dimana pun kita memutuskan untuk meretas sebuah komunitas dan basis dakwah bagi keluarga kita, maka yakinkan kita bahwa kita memang mampu menjadi agen dakwah di sana. Berusaha untuk berguna bagi orang lain. Sebagaimana ucapan Sayyid Qutb rahimahullah : “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar dan tidak akan pernah mati.”
Ini beberapa Komunitas yang pernah
saya masuki bersama teman-teman yang saya anggap bisa kita kerja bareng untuk
merangkul mereka:
1 - Jakmania
Garis Keras
. - Punk
Muslim Indonesia
- Komunitas
Anak Jalanan
- Kampung
Jalanan
- Komunitas
Pecinta Alam
Demikian beginilah Jalan ini mengajarkan kami, lihatlah sisi yang menyenangkan dari setiap hal,
Senyumlah
pada setiap orang, gunakanlah waktumu sebanyak mungkin untuk meningkatkan
kemampuanmu sehingga kau tak punya waktu lagi untuk mengkritik orang lain, jadilah
kamu terlalu besar untuk khawatir dan terlalu mulia untuk meluapkan kemarahan Satu-satunya
tempat dimana kita dapat memperoleh keberhasilan tanpa kerja keras adalah hanya
dalam kamus.
"Jika
mereka bertanya kepadamu tentang SEMANGAT, jawablah
Bahwa
BARA itu masih TERSEMAT dalam dadamu!
Bahwa
API itu masih TERSENYUM dalam dirimu!
Bahwa
MATAHARI itu masih TERBIT dari hatimu!
Bahwa
LETUPAN itu dalam DUNIAmu!
Katakan
itu pada mereka, orang-orang yang RAGU akan KEMAMPUAN dirimu!
Karena
MIMIPImu saat ini, adalah KENYATAAN untuk hari esok!!"
#Al-Banna
Yuda al Durra
Wasekjend KAMMI Pusat