Islamedia - Di sejuk alam Bukittinggi
yang indah berbinar, pernah hidup seorang ibu muda bernama Zainatun Nahar. Ia
mendidik anak-anaknya dengan ketabahan namun penuh senyuman. Tak hanya itu, pandang
tulusnya pun penuh dengan cahaya tegar dan sabar. Cerdas membina suasana,
hingga segala kesulitan hidup pun pasti malu melewati hatinya.
Bila hujan
menjenguk datang melewati atap bocor rumah misalnya, ia tak pernah panik dan
risau. Ia ajak anak-anaknya mengambil ember dan kertas. Jadilah tawa gembira
bermain kapal-kapalan dengan ember kecil sebagai danaunya meski tak luas.
Kepiawaian mengolah kata dan suasana, kelak menghantarkan seorang anaknya
menuruni bakatnya. Ialah H. Agus Salim Sang Diplomat Indonesia. Founding Fathers kita yang
menguasai 9 bahasa, ternama karena
kepiawaiannya dalam mendialogkan berbagai rupa suasana demi kemerdekaan
Indonesia.
Dalam belai lembut
Zainatun Nahar, Agus Salim kecil merindu dunia damai nan tenteram. Tiap dzarah cinta ibunda, terekam dalam rindu.
Zainatun Nahar adalah tauladan bagi hidupnya. Jadilah ia diplomat internasional
ulung nan bijaksana, mewakili bangsanya berbicara di panggung dunia. Zainatun
Nahar, telah mempersembahkan bintang peradaban dari ketekunannya menyulam
belaian. Haji Agus Salim anaknya, telah ia persembahakan menjadi bintang
peradaban dalam perjuangan kemerdekaan.
Di sisi lain Tanah
Minang adapula Saleha. Seorang ibu
pemberani yang pernah hidup di jaman kolonial. Masyarakatnya menjadi saksi,
konon bila ia temukan ada perlakuan pemerintah penjajah kolonial yang tak
menyenangkan, maka ia akan bereaksi. Dia datangi Kantor Asisten Residen Belanda
untuk menyatakan protes. Bila keluar rumah, di pinggangnya pun selalu terselip
pistol kecil. Tak terkecuali, ketika ia mengantar anaknya pergi mengaji ke
surau Syekh Djamil Djambek di tiap
sore hari yang rindang. Meski berjalan berjarak satu kilometer dari rumahnya,
tak pernah lelah ia menghantar buah hatinya.
Kelak, anak yang ia
hantarkan pergi mengaji itu akan menjadi pemimpin negeri. Mewarisi segala
keberanian ibundanya menentang kesewenang-wenangan para kolonial yang menjajah
negeri tercintanya. Ialah Mohammad Hatta namanya. Ialah anak dari Saleha yang aktif berpolitik
sejak muda hingga mendapat resiko
diasingkan ke Boven Digul tanah sepi Papua.
Bung Hatta tiap
hari meihat serdadu Belanda menista secara fisik dan mental setiap orang
kampung yang melewati pos tentara. Pos yang terletak persis di depan rumahnya
itu punjadi saksi, Bung Hatta adalah anak bangsa yang berani melawan, meski ia
harus berhadapan dengan senapan .
Desah nafas Saleha
saat menimangnya, jiwa berani ibunda yang dilihatnya, menyentuh relung hati
Hatta untuk gagah bersikap. Kasih sayang Saleha, meracik jiwa muda perkasa
Hatta membela bangsa.
Saleha yang tulus
ikhlas, rela melepas anak kesayangannya. Ia persembahkan bintang muda baru
untuk menyusun Indonesia masa depan. Ia menyumbang sebuah bintang; Bung Hatta
Sang Pejuang Pergerakan dan Proklamator Kemerdekaan.
Di Ujung dunia yang
lain, senyum Himmah Khatun menyinar
keyakinan penuh kelembutan. Saat sang anak di dalam kandungan, ia sering
mengelus perutnya seraya menghadapkannya ke arah Konstatinopel dan berkata, “Nak, kelak engkaulah yang akan menjadi
penakluk kota itu seperti yang telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW.” Subahanallah..., doa seorang Ibu yang
luar biasa. Mewujudkan wasiat Nabi telah menjadi citanya yang sejati. Ialah
Himmah Khatun, Sang Ibunda dari Muhammad Al Fatih yang melegenda dunia.
Dalam pangkuan
hangat Himmah Khatun, Al Fatih tumbuh menjadi manusia luar biasa. Ia tak pernah
meninggalkan sholat fardlu dan sholat tahajud sejak mulai baligh usianya. Ia
pun berkembang sebagai manusia yang memiliki banyak kemampuan.
Dibersamai oleh
Himmah Khatun, Al Fatih cerdas mempelajari
berbagai ilmu dari para cendikiawan. Ia belajar ilmu memanah dari Mahmud Bek
Qushab Zadah, ilmu militer dari Syahin Basyah, ilmu sastra dari Hamiduddin bin
Mulla Afdhal, dan mempelajari musik dan sejarah dari Syukrullah Jalaby. Ia
belajar pula bahasa Yunani klasik dari Yurigus Emiratutazs, lalu bahasa Itali,
Latin, sejarah klasik geografi dan arkeologi dari Siryaco Anconitato.
Demi doa yang ia
panjatkan saat Fatih masih berada dalam kandungan, Himmah Khatun tekun
menemaninya belajar. Sungguh, benar-benar ia telah mempersiapkan Al Fatih
menjadi bintang peradaban.
Suatu hari, tibalah
saatnya Sang Ayahnda Baginda Raja ingin beruzlah
meninggalkan negeri. Itulah saat Al Fatih dilatihnya untuk memimpin negeri.
Meski masih terbilang muda, Fatih fasih berbijaksana dalam segala tugasnya.
Pun ketika
negerinya mulai membutuhkan kekuatan kempimpinan karena keadaan genting mulai
melanda. Singa muda inipun tegas berkata dalam suratnya pada Sultan Murad II
sang Baginda Raja;
“Siapakah sebenarnya yang memimpin negeri ini? Ayahnda
ataukah saya? Jika pemimpinnya adalah ayahnda, mana ada pemimpin yang malah
pergi ketika rakyatnya sedang susah? Jika pemimpinnya adalah saya, maka saya
perintahkan ayahnda untuk segera pulang!.”
Ialah Himmah
Khatun, sang Ibu yang tekun. Sertai anak kesayangannya di segala suasana,
mencari bekal ilmu untuk memimpin diri dan dunianya. Hingga tiba saat
penaklukan, akhirnya Konstatinopel pun jatuh ke tangan pasukan Muslim di bawah
panji kepemimpinan anaknya, Al Fatih.
800 tahun berjarak,
ramalan Baginda Nabi Muhammad kita terlaksana oleh azzam kuatnya yang
menggelora jiwa. Ia berikan buah hatinya untuk da’wah dan peradaban. Himmah
Khatun Sang Ibunda, telah sumbangkan
lagi seorang bintang peradaban.
Bait-bait kisah
buah cinta 3 wanita, hanyalah beberapa lembar cerita dari buku tebal
bintang-bintang peradaban. Merekalah Tiga wanita yang biidznillah mampu goncangkan dunia sebagai perannya sebagai ibunda.
Kisah Himmah Khatun, Saleha dan Zainatun Nahar, adalah bait hidup tentang tiga
orang ibu yang menjadi bintang pada hati anak-anaknya tersayang. Menjadi kayu
bakar yang menyala saat mereka muda remaja dan terus berkembang. Itulah annak
mereka. Anak-anak mereka yang kelak menjadi bintang peradaban.
Merekalah ibu
bintang beribu bintang. Tulus amal kasih sayang, mereka hembuskan demi kebaikan zaman. Belai lembut saat
anak-anaknya kecil, berpadu doa khusyuknya merayu Pencipta, mampu membentuk
jiwa pahlawan di ujung zaman.
Seperti semua
wanita yang menjadi ibunda, mereka hanya ingin cita sederhana; menjadi ibu
bintang beribu bintang!
(Salam hangat
kami untuk para ibunda kader da’wah dan para isteri kader da’wah; terima kasih
telah menjadi ummahat-ummahat hebat demi ummat!).
Rosnendya Yudha Wiguna
Kadiv Pendidikan dan Kebudayaan-Remaja Masjid Agung Surakarta
Mahsiswa Pascasarjana Magister Pemikiran Islam UMS
Mahsiswa Pascasarjana Magister Pemikiran Islam UMS
-