Ibu Bintang Beribu Bintang -->

Ibu Bintang Beribu Bintang

Kamis, 27 Februari 2014

Islamedia - Di sejuk alam Bukittinggi yang indah berbinar, pernah hidup seorang ibu muda bernama Zainatun Nahar. Ia mendidik anak-anaknya dengan ketabahan namun penuh senyuman. Tak hanya itu, pandang tulusnya pun penuh dengan cahaya tegar dan sabar. Cerdas membina suasana, hingga segala kesulitan hidup pun pasti malu melewati hatinya.

Bila hujan menjenguk datang melewati atap bocor rumah misalnya, ia tak pernah panik dan risau. Ia ajak anak-anaknya mengambil ember dan kertas. Jadilah tawa gembira bermain kapal-kapalan dengan ember kecil sebagai danaunya meski tak luas. Kepiawaian mengolah kata dan suasana, kelak menghantarkan seorang anaknya menuruni bakatnya. Ialah H. Agus Salim Sang Diplomat Indonesia. Founding Fathers kita yang menguasai  9 bahasa, ternama karena kepiawaiannya dalam mendialogkan berbagai rupa suasana demi kemerdekaan Indonesia.

Dalam belai lembut Zainatun Nahar, Agus Salim kecil merindu dunia damai nan tenteram. Tiap dzarah cinta ibunda, terekam dalam rindu. Zainatun Nahar adalah tauladan bagi hidupnya. Jadilah ia diplomat internasional ulung nan bijaksana, mewakili bangsanya berbicara di panggung dunia. Zainatun Nahar, telah mempersembahkan bintang peradaban dari ketekunannya menyulam belaian. Haji Agus Salim anaknya, telah ia persembahakan menjadi bintang peradaban dalam perjuangan kemerdekaan.

Di sisi lain Tanah Minang adapula Saleha. Seorang ibu pemberani yang pernah hidup di jaman kolonial. Masyarakatnya menjadi saksi, konon bila ia temukan ada perlakuan pemerintah penjajah kolonial yang tak menyenangkan, maka ia akan bereaksi. Dia datangi Kantor Asisten Residen Belanda untuk menyatakan protes. Bila keluar rumah, di pinggangnya pun selalu terselip pistol kecil. Tak terkecuali, ketika ia mengantar anaknya pergi mengaji ke surau Syekh Djamil Djambek di tiap sore hari yang rindang. Meski berjalan berjarak satu kilometer dari rumahnya, tak pernah lelah ia menghantar buah hatinya.

Kelak, anak yang ia hantarkan pergi mengaji itu akan menjadi pemimpin negeri. Mewarisi segala keberanian ibundanya menentang kesewenang-wenangan para kolonial yang menjajah negeri tercintanya. Ialah Mohammad Hatta namanya.  Ialah anak dari Saleha yang aktif berpolitik sejak muda  hingga mendapat resiko diasingkan ke Boven Digul tanah sepi Papua.

Bung Hatta tiap hari meihat serdadu Belanda menista secara fisik dan mental setiap orang kampung yang melewati pos tentara. Pos yang terletak persis di depan rumahnya itu punjadi saksi, Bung Hatta adalah anak bangsa yang berani melawan, meski ia harus berhadapan dengan senapan .

Desah nafas Saleha saat menimangnya, jiwa berani ibunda yang dilihatnya, menyentuh relung hati Hatta untuk gagah bersikap. Kasih sayang Saleha, meracik jiwa muda perkasa Hatta membela bangsa.

Saleha yang tulus ikhlas, rela melepas anak kesayangannya. Ia persembahkan bintang muda baru untuk menyusun Indonesia masa depan. Ia menyumbang sebuah bintang; Bung Hatta Sang Pejuang Pergerakan dan Proklamator Kemerdekaan.

Di Ujung dunia yang lain, senyum Himmah Khatun menyinar keyakinan penuh kelembutan. Saat sang anak di dalam kandungan, ia sering mengelus perutnya seraya menghadapkannya ke arah Konstatinopel dan berkata, “Nak, kelak engkaulah yang akan menjadi penakluk kota itu seperti yang telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW.” Subahanallah..., doa seorang Ibu yang luar biasa. Mewujudkan wasiat Nabi telah menjadi citanya yang sejati. Ialah Himmah Khatun, Sang Ibunda dari Muhammad Al Fatih yang melegenda dunia.

Dalam pangkuan hangat Himmah Khatun, Al Fatih tumbuh menjadi manusia luar biasa. Ia tak pernah meninggalkan sholat fardlu dan sholat tahajud sejak mulai baligh usianya. Ia pun berkembang sebagai manusia yang memiliki banyak kemampuan.

Dibersamai oleh Himmah Khatun, Al Fatih  cerdas mempelajari berbagai ilmu dari para cendikiawan. Ia belajar ilmu memanah dari Mahmud Bek Qushab Zadah, ilmu militer dari Syahin Basyah, ilmu sastra dari Hamiduddin bin Mulla Afdhal, dan mempelajari musik dan sejarah dari Syukrullah Jalaby. Ia belajar pula bahasa Yunani klasik dari Yurigus Emiratutazs, lalu bahasa Itali, Latin, sejarah klasik geografi dan arkeologi dari Siryaco Anconitato.

Demi doa yang ia panjatkan saat Fatih masih berada dalam kandungan, Himmah Khatun tekun menemaninya belajar. Sungguh, benar-benar ia telah mempersiapkan Al Fatih menjadi bintang peradaban.

Suatu hari, tibalah saatnya Sang Ayahnda Baginda Raja ingin beruzlah meninggalkan negeri. Itulah saat Al Fatih dilatihnya untuk memimpin negeri. Meski masih terbilang muda, Fatih fasih berbijaksana dalam segala tugasnya.

Pun ketika negerinya mulai membutuhkan kekuatan kempimpinan karena keadaan genting mulai melanda. Singa muda inipun tegas berkata dalam suratnya pada Sultan Murad II sang Baginda Raja;
“Siapakah sebenarnya yang memimpin negeri ini? Ayahnda ataukah saya? Jika pemimpinnya adalah ayahnda, mana ada pemimpin yang malah pergi ketika rakyatnya sedang susah? Jika pemimpinnya adalah saya, maka saya perintahkan ayahnda untuk segera pulang!.”

Ialah Himmah Khatun, sang Ibu yang tekun. Sertai anak kesayangannya di segala suasana, mencari bekal ilmu untuk memimpin diri dan dunianya. Hingga tiba saat penaklukan, akhirnya Konstatinopel pun jatuh ke tangan pasukan Muslim di bawah panji kepemimpinan anaknya, Al Fatih.

800 tahun berjarak, ramalan Baginda Nabi Muhammad kita terlaksana oleh azzam kuatnya yang menggelora jiwa. Ia berikan buah hatinya untuk da’wah dan peradaban. Himmah Khatun Sang Ibunda, telah  sumbangkan lagi seorang bintang peradaban.

Bait-bait kisah buah cinta 3 wanita, hanyalah beberapa lembar cerita dari buku tebal bintang-bintang peradaban. Merekalah Tiga wanita yang biidznillah mampu goncangkan dunia sebagai perannya sebagai ibunda. Kisah Himmah Khatun, Saleha dan Zainatun Nahar, adalah bait hidup tentang tiga orang ibu yang menjadi bintang pada hati anak-anaknya tersayang. Menjadi kayu bakar yang menyala saat mereka muda remaja dan terus berkembang. Itulah annak mereka. Anak-anak mereka yang kelak menjadi bintang peradaban.

Merekalah ibu bintang beribu bintang. Tulus amal kasih sayang, mereka hembuskan  demi kebaikan zaman. Belai lembut saat anak-anaknya kecil, berpadu doa khusyuknya merayu Pencipta, mampu membentuk jiwa pahlawan di ujung zaman.

Seperti semua wanita yang menjadi ibunda, mereka hanya ingin cita sederhana; menjadi ibu bintang beribu bintang!

(Salam hangat kami untuk para ibunda kader da’wah dan para isteri kader da’wah; terima kasih telah menjadi ummahat-ummahat hebat demi ummat!).

http://islamediaonline.files.wordpress.com/2014/02/rosnendya.jpg
Rosnendya Yudha Wiguna
Kadiv Pendidikan dan Kebudayaan-Remaja Masjid Agung Surakarta
Mahsiswa Pascasarjana Magister Pemikiran Islam UMS


-