Islam edia - Sekitar dua bulan lagi, Indonesia akan diramaikan oleh pesta demokrasi. Persiapan-persiapan para parpol peserta PEMILU un...
Islamedia - Sekitar dua bulan
lagi, Indonesia akan diramaikan oleh pesta demokrasi. Persiapan-persiapan para
parpol peserta PEMILU untuk mengambil hati rakyat agar memenangkan mereka sudah
mulai terlihat. Bahkan, jauh sebelum perhelatan pesta demokrasi dimulai. Diantaranya, memasifkan peran media
dalam membangun popularitas, sisi-sisi jalan raya ramai dengan foto-foto
bintang parpol, dan peredaran kalender hampir di tiap-tiap rumah.
Ambisi menjadi penguasa memang tidak terlepas
dari sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dengan pencapaian. Apalagi
dengan orang-orang yang berkonsep purpose is the journey. Meski rezim orde baru runtuh pada tahun 1998, para
elit negeri yang memiliki akumulasi finansial dan jaringan yang sudah terbangun
sejak 32 tahun, tidak membuat peluang pengejawantahan ambisi berkuasa menjadi
surut. Karena kekuatan yang terbangun dalam kurun waktu tersebut, sudah
layaknya raksasa yang tak akan bisa hapus sekejap dengan hanya ganti kepala
negara. Sehingga bagi rakyat yang mulai apatis, sampai pada titik jenuh
menghadapi sajian klasik para orator kampanye yang menyatakan keinginan
berkuasanya para calon pemimpin, semata-mata demi melakukan perubahan dan
membawa Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera. Karena, pengalaman memang
seharusnya cukup untuk membuat rakyat Indonesia mengerti, bagaimana pola-pola
lama telah terbentuk melalui goresan-goresan politik yang kian tajam. Sehingga
penyesalanpun pernah diungkapkan oleh Amien Rais, penggagas reformasi,
bahwa tujuan mendasar dari reformasi adalah suksesi kepemimpinan. Tidak hanya
sekedar ganti penguasa tentunya.
Kini periode demi
periode berlalu meninggalkan masa-masa orde baru, memberikan peluang pada
kelompok-kelompok tertentu dalam ranah perpolitikan Indonesia, yang para masa
transisi kebangkitan reformasi seolah tak mungkin. Rakyat memang sudah mampu
menggunakan hak suara dalam PEMILU. Terbukti dengan suksesnya pilpres 2004 dan
2009 yang langsung dipilih oleh rakyat. Sehingga menghasilkan pola-pola bentukan
kmpanye dalam rangka meraih suara, jika dilihat dari brain stoarming ala
partai demi memenangkan hati rakyat.
Terlepas dari
bagaimana prosedur yang ditempuh oleh berbagai partai untuk mendongkrak
popularitas para caleg dan capres, adahal yang harus masyarakat Indonesia
pahami tentang persoalan-persoalan yang siap dijadikan warisan para calon
pemimpin itu. Dalam Islam, muslim akan akrab dengan dinamika istilah dosa yang
berbuah dosa. Namun, hal itu ternyata tidak berlaku global dalam setiap dosa,
jika keinginan untuk merubah takdir diupayakan dengan penuh kesadaran. Begitu
halnya, dengan dosa-dosa para pemimpin terdahulu yang senantiasa diwarisi oleh
generasi selanjutnya, dengan seabrek akibat yang harus diterima, namun konsep
dosa tidak berlaku untuk orang yang berbeda. Jika, seabrek akibat tersebut
diupayakan penyelesaiannya dengan kesiapan moriil yang begitu mendasar dan
penuh kesadaran.
Dosa-dosa warisan
yang semakin hari semakin nyata mencekik rakyat diantaranya adalah obligasi
ekonomi. Dalam bukunya catatan hitam lima presiden, Ishak Rafick mengatakan,
obligasi ekonomi yang terjadi di Indonesia memungkinkan Indonesia akan beralih
sistem dari demokrasi menjadi sistem korporatokrasi. Dimana kedaulatan berada
ditangan para pengusaha. Sedangkan demokrasi hanya dibutuhkan ketika pemilu
legislatif dan presiden. Kalau sudah begitu, tentunya, para pengusaha harus
bertanggung jawab dengan mengadakan dana untuk sidang, rapat, dan pembangunan
gedung DPR, tentunya juga termasuk dana untuk mengadakan study banding di luar
negeri.
Para calon pemimpin
dengan segenap janji kesejahteraan melalui kampanye politiknya, bisa dinilai
oleh rakyat, betapa mereka tidak akan setega itu. Membiarkan ideologi
korporatokrasi menggerus habis kedaulatan rakyat. Karena, sebagaiman yang
mereka akui, bahwa mereka adalah orang-orang yang nasionalis, sangat mencintai
bangsa dan rakyatnya. Oleh karenanya, dngan permasalahan obligasi yang akhirnya
kini menggantungkan penerekonomian Indonesia kedalam sub ordinasi perekonomian
global adalah permasalahan yang akan segera berakhir kisahnya.
Obligasi kini
sedang benar-benar mencekik rakyat, dengan upaya komersialisasi dalam berbagai
lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Baru-baru ini, media diributkan oleh
aksi mahasiswa dari berbagai kampus sebagai bentuk penolakan terhadap penerapan
kebijakan UKT. Rakyat Indonesia, yang dihadapkan dengan harga BBM yang
menjulang tinggi, ditambah kebijakan mengimpor beras dari vietnam yang semakin
membuat para petani miskin kalang kabut, adalah segenap keadaan yang dihadirkan
dari kebijakan-kebijakan yang berpijak pada obligasi. Layaknya rakyat miskin
yang sedang dihadapkan dengan perekonomian neo kapitalis, akan sangat sulit
bagi mereka menghadapi kenaikan biaya kuliah anak-anak mereka serta berbagai
bentuk penyunatan subsidi. Sedangkan sudah menjadi public knowledge jika
pendidikan adalah harapan untuk permasalahan-permasalahan Indonesia secara
umum. Dengan minimnya anggaran pendidikan, menggenapkan rakyat jelata pada
kesimpulan tidak akan mampu bangkit dari kemiskinan. Akankah kondisi ini bisa
selesai pasca pemilu?
Terselesainya semua
permasalahn rakyat terutama dari lumbung kehidupan mereka yang semakin menipis,
adalah hampir tak mungkin diserahkan dengan kebijakan yang berjalan dalam satu
periode kepemimpinan presiden, maupun dengan retorika legislasi. Ini lagi-lagi
tentang waktu yang sedikit tidak bersinergis dengan banyaknya dosa yang
terwarisi. Namun, pilihan-pilihan itu tetap ada. Kekacauan kondisi ekonomi
indonesia, terlepas dari semakin maraknya para koruptor yang menjilati
tulang-tulang rakyat miskin, ini sangat berintegrasi dengan pusaran kebijakan
sub ordinasi ekonomi global. Mengingat dan menimbang, sejauh ini penyelesaian
dan upaya memperbaiki ekonomi yang justru membesarkan peruk-perut para politisi
yg korupsi, dilakukan dengan masuk ke dalam lingkaran setan jeratan IMF.
Kondisi perekonomian Amerika Serikat yang kacau dalam beberapa dekade ini,
tentunya juga memberikan dampak pada Indonesia. Tapi, dawal sudah dikatakan
bahwa, Indonesia bisa memngambil pilihan-pilihan. Untuk kemudian diwariskan
jika takk sampai rampung dalam satu periode kepemimpinan.
Tawaran Ishak
Rafick dalam bukunya Catatan Hitam Lima Presiden seharusnya patut
dipertimbangkan para capres, mengenai keberanian Indonesia kedepan dalam rangka
meniru langkah-langkah beberapa negara seperti nigeria, pakistan, dan argentina
dalam mengatasi obligasi ekonomi. Dengan beranjak dari pemikiran pakar ekonomi,
Rizal Ramli, Indonesia harus lebih memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi tekanan
dunia luar, diantaranya IMF. Secara kompetensi, Indonesia tentu tidak diragukan
memiliki pengacara-pengacara ulung untuk melakukan diplomasi, seperti yang
sudah ditempuh oleh ketiga negara tersebut diatas. Minimal dengan konsep
penundaan pembayaran hutang dan bunganya yang dilakukan oleh negara Argentina.
Seandainya, Indonesia memiliki langkah berani untuk itu, asal uang yang
terakumulasi untuk penundaan pembayaran hutang tidak digelapkan para penjilat
maka bisa dibayangkan kondisi Indonesia akan jauh lebih baik.
Misalnya, dengan
mengalurkan dana tersebut untuk melakukan pemerataan pembangunan, dengan
benar-benar menerapkan desentralisasi yang menguntungkan rakyta secara
menyeluruh dan penuh. Sejak pemenuhan keberadaan undang-undang yang mengatur
desentralisasi oleh presiden B.J Habibie waktu itu, sebagai salah satu tuntutan
mahasiswa, pemerintah tetap tak mampu mendongkrak spektrum pusat dan daerah
antara Jakarta dan provinsi lain. Merekonstruksi kembali bangunan budaya yang
akan dibentuk untuk menghilangkan istilah superior dan inferior adalah big
home work bagi para capres. Ini penting untuk sekaligus mengatasi
permasalah Jakarta yang tentunya menjadi permasalahn global mengingat
sentralitasnya adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara secara
menyeluruh.
Sehingga dalam
tatanan praktis ini akan memakan waktu yang akan berintegrasi dengan jenis
operasi apa yang pemerintah lakukan dan bagaimana mengorganisir kebijakan untuk
segera digulirkan. Yang jelas janji membawa perubahan harus berpijak pada
keberanian melakukan penyelamatan, bukan dengan terus-terusan berhutang pada
IMF yang akan menghasilkan dosa-dosa baru. Wallaahu’alam
Delia Sati
Aktivis KAMMI