Islamedia - “Ketika yang dimiliki seorang anak bukan hanya
pengetahuan melainkan iman maka hal tersebut akan menjadi sensor, ketika yang
dimiliki hanya pengetahuan maka ia mampu menjelaskan banyak hal tetapi kurang
peka apabila ada hal yang menyimpang dan merisaukan dari lingkungan sekitar,
namun ketika ia memiliki iman maka ia akan berusaha untuk berbenah dan
membenahi diri.” (Ustadz Mohammad Fauzil Adhim).
Berkah atau tidaknya segala sesuatu yang dapat
menjawabnya adalah iman. Ketika dalam hati seseorang masih bersemayam iman maka
segala hal yang mereka kerjakan akan berporos pada pencapaian keridhoan Allah. Iman
yang ada dalam hati seorang anak adalah mutlak pemberian Allah, akan tetapi
penanggung jawab utama sebagai penyuplai nutrisi iman mereka tidak lain adalah
kedua orang tuanya.
Pembicaraan mengenai dunia anak nampaknya tidak
akan pernah selesai dibahas, bahkan oleh "profesor" parenting
sekalipun. Mengapa demikian? Karena amanah untuk mendidik anak sungguh tidak
semudah menjalankan profesi yang lain, terutama tugas seorang ibu untuk
membimbing anak dan menjaga nama baik keluarga sangat utama dibanding berbagai
amanah lain yang memang tidak kalah penting.
Kita dapat memetik hikmah dari sebuah kisah
persahabatan antara seorang anak bernama Mohammad Husein dan Azzam Abdul
Salam hingga beriak menjadi persahabatan kedua orang tua mereka yakni Ustadz
Mohammad Fauzil Adzim dan Dr. Subhan Afifi. Husein dan Azzam adalah dua orang
sahabat yang sama-sama mengenyam pendidikan di sebuah pesantren. Azzam adalah
anak yang cukup pendiam sedangkan Husein cukup bersemangat, meski mempunyai
karakter yang berbeda namun keduanya saling melengkapi. Suatu ketika saat di
dalam mobil mereka mendiskusikan masalah hukum status gambar makhluk hidup yang
tertuang dalam cover buku ayahnya, pembicaraan mereka merembet sampai
masalah iltizam terhadap sunnah. Saat itu ayahnya yang tengah
menyetir mobil hanya bisa berpura mengalihkan perhatian sambil terharu, lalu
Husein hanya menjawab dengan dialog bahasa Arab mereka, yang intinya:
"Abah ana hanya menulis, bukan mengemasnya", kholas -
selesai.
Kisah kedua masih tentang persahabatan, suatu
ketika Azzam dan Husein kecil yang masih duduk di kelas 1 tersebut tengah
berada dalam sebuah angkot, saat itu Husein berkata suatu hal yang kurang baik,
lalu ummu Azzam mengirimkan sms pada suaminya agar ia menyampaikan
kejadian tadi kepada ayah Azzam sehingga putranya dapat diberikan nasihat.
Sejak saat itu terjalinlah komitmen mendidik anak yang saling menyokong antara
kedua orang tua Azzam dan Husein. Dari kedua potongan kisah tadi kiranya
terdapat sebuah ibroh yang dapat kita petik akan pentingnya
peran orang tua dalam pengetahuan yang berlandaskan iman.
Ustadz Fauzil Adhim menyampaikan, “Menyiapkan
pendidikan anak itu tidak bisa instan, kalau semua serba instan bisa jadi
hasilnya pun akan serba instan juga. Menyiapkan pendidikan anak justru sejak
kita mencari pasangan, setelah menikah sampai telah dikaruniai anak-anak”.
Bagaimana memilih sahabat untuk anak rupanya perlu diperhatikan dalam ikhtiar
persiapan nutrisi iman bagi mereka, sahabat seorang anak mempunyai pengaruh
yang luar biasa, terlebih bila kedua orang tua mereka juga ikut bersahabat,
"itu akan sangat dahsyat", papar Ustadz Dr. Subhan Afifi.
Karena harapan kita persahabatan bukan hanya terukir di dunia melainkan sampai
di akhirat.
Mengutip Pesan nabi: “Jika seseorang
meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah
jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholih” (HR. Muslim no.
1631)
Poin ketiga dari hadist tersebut adalah do'a anak
sholih. Catatannya adalah setiap anak harus menjadi sholih dahulu agar mau
mendoakan kedua orang tuanya. Tentunya untuk menjadikan anak sholih bukanlah
hal yang mudah, terlebih kita sendiri masih tertatih mensholihkan diri, meski
begitu bukan tidak mungkin untuk mewujudkan harapan tersebut, karena bukankah
kesholihan seorang anak mutlak ketentuan Allah? Sebagai pembina atau orang tua
kita bertugas memberikan peringatan dan pola pengasuhan serta pendidikan yang
terbaik. Hal ini dapat diwujudkan dengan proses yang tidak cepat, belajar
parenting sejak dini bukan secara instan, sehingga layaklah disebut sebagai
tipe orang tua pejuang.
Mudahnya ciri orang tua pejuang antara lain
ketika seorang ibu memilih melahirkan dengan normal dan sepenuh hati merawat
kandungannya, mulai dari telaten menjaga jabang bayi, menjaga kesehatan diri,
hingga proses melahirkan. Dalam proses ini seorang ibu pejuang tidak takut
untuk merasakan rasa sakit, bahkan bisa jadi sakit yang luar biasa. Meski
begitu di luar sana bukankah jutaan ibu tetap tersenyum selepas melihat bayinya
lahir. Di sisi lain salah satu ciri ayah pejuang adalah dengan keberanian
memilih budaya belajar anak dengan sebuah proses panjang hingga tertuang pengetahuan
dan iman pada anak, bukan semata mengejar prestasi dan nilai, dalam hal ini
seorang ayah akan senantiasa memberikan siraman pendidikan agama bagi anak,
karena tidak ada kedewasaan dan kemampuan disertai iman yang terbentuk secara
instan tanpa persiapan, begitu petuah yang Ustadz Faudzil dan Dr. Subhan
paparkan.
Sedikit renungan, apalah yang kita harapkan kala
usia kita sudah senja nanti? ketika tubuh kita sudah tak leluasa untuk
digerakkan selain kehadiran dan do'a mereka. Nampaknya pertanyaan itu dapat
terjawab ketika kita sebagai orang tua nanti sungguh ikhlas memperhatikan dan
membimbung anak-anak kita, bukan justru pembantu atau asisten yang lebih
dita’ati oleh anak tersebab kealpaan kita dalam menyeduhkan perhatian kepada
mereka. Terakhir, ada sebuah pertanyaan yang patut untuk kita renungkan:
Siapakah yang akan mereka sembah setelah orang tuanya tiada? Membekalkan iman?
iman kita teramat kerdil, membekalkan ilmu agama? miskin sekali pengetahuan
agama kita. Di sisi lain, di luar sana banyak tawaran-tawaran menarik terkait
trik membentuk diri agar anak menjadi seorang yang pintar dan hebat secara
cepat. Bismillah, sebagai seorang anak yang peduli dengan perjuangan para orang
tua, mari bersama terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik di mata
Allah.
Allahu a'lam Bishawab.
Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah]
sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman
[31]:13)
Penulis : Asni Ramdani (Mahasiswi dan
Pemerhati Anak)
Rujukan (maraji’): Buku Segenggam Iman Anak
Kita