Islamedia - Dia
perempuan sederhana, tak pernah kulihat polesan bedak dipipinya, wajahnya
teduh, sesekali tampak cerewet, ketika urusan bantu-membantu keluarga dia
mungkin orang yang paling ngotot menjadi yang pertama.
Dia seakan selalu menjadi inspirasi untuk saya selalu berprinsip Apapun Yang Terjadi Kami Tetap Melayani.
Pada kesempatan ini ingin kusampaikan surat cinta kepadanya.
Surat Untuk Istriku : Epi Puji setiawati yang sesekali ku panggil Mei.
Untuk
Mei, yang senantiasa ku rindu…
Mei, tak terasa kita sudah mendarat lagi di
pelataran Desember, tepatnya beberapa jam yang lalu setelah kita saling
bertukar senyum dan kenangan.
Kenangan tentang perjalanan kita yang mengulang
pada putaran yang sama dan sekedarnya.
Aku melamarmu di bulan Mei, menikahimu, dan
sampai lahirnya ke dua anak kita juga di pelataran Mei, betapa bulan selalu
mengelabui kita dengan dongeng kusam yang sepatutnya kita kuburkan.
Duduklah sejenak, biar kupandangi saja kau
hingga fajar, aku ingin membaca tiap ruas rusukmu yang aku patahkan, juga tiap
senyummu yang menjadi kabur, keriput pipimu yang menggenang laksana bukit nan
ngarai.
Bahkan aku lupa foto terakhir yang kau abadikan,
tentang sebuah kedigdayaaan perempuan ; dan Aku mengagumimu.
Mei, ingatkah kita menikah waktu itu usia kita
masih belasan, lalu kita bermimpi tentang jendela yang kita beri tirai
bunga-bunga, dan kita terbang laksana merpati, aku menikahimu dalam derai
tangisan yang lugu. Apakah kau menyadari itu?
Lelakimu yang periang tiba-tiba berpugak-pugak
membanting tulang, juga lelakimu yang kau ikuti kemanapun pergi, hanya sekedar
meninggalkan mendung pada langitmu.
Aku berterimakasih karena kau telah mengajariku
terbang dengan sepasang sayap, mengajariku menyenyumi bara, dan berkelahi
dengan ketakutan.
Lihatlah tubuhmu, tak ada sisa-sisa periode
kegembiraan pada masa mudamu yang kau tinggalkan.
Kita menghabiskan sore dengan drama keluarga,
yang terlahir dari Mei.
Mei, yang semoga Alloh senantiasa menyayangimu…
Aku ingin mencoba mereka-reka bait senyummu di
pertemuan kita yang terakhir nanti.
Jika tiba-tiba kelak malam gelap dan hilanglah semua,
ku ingin kau menuliskan namaku dalam sejarahmu yang bertinta emas, bahwa aku
adalah lelakimu yang bertanggung jawab.
Yang merelakan mengubur dalam-dalam bangku
kuliah, dan belajar banyak hal padamu tentang kehidupan, tentang kupu-kupu yang
terbang rendah di halaman.
Wahai Mei, Bersabarlah!
Jika
kelak aku mendahuluimu :
Anggaplah
tak ada apa-apa, kecuali retak-retak kecil yang mengelupas ditubuhmu.
Biar
orang-orang tahu bahwa pertemuan-pertemuan kita adalah hanya deretan langkah
kaki yang mengilu beku.
Yang
Illahi putuskan pada setiap perjalanan kita.
Lalu
kabarkan pada orang-orang ;
Bahwa engkau hanya menemaniku di sini, sambil
bercakap dan sambil menunggu,
Dia menjemputku, menjemputmu, menuju suatu
tempat yang didalamnya mengalir sungai-sungai susu.
Katakan juga : betapa aku mengagumimu.
Mei, aku senantiasa merindukanmu.
Semoga Alloh menjagamu….
Apapun yang terjadi tetaplah menjadi pribadi
yang senantiasa melayani dengan tulus.
Dari suamimu
Achmad Miladi
Achmad Miladi
Biodata Penulis :
Achmad Miladi adalah penulis asal Tegal yang
aktif di FLP Tegal, pernah belajar di PP. DARUT TAUHID BANDUNG, sekarang
bekerja di SPBU.44.524.01 Prupuk Kaligayam Margasari Tegal, bisa dihubungi di
nomor hp : 085727148656, karya-karyanya ada di Buku kumpulan Puisi DARAH DI
BUMI SYUHADA, Fam Publishing. Buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Bulan Tuhan,
Sembilan Mutiara Publishing.
[Lomba #AYTKTM]