Islamedia - 14 OkTOBER 2013, Tak lama seusai sholat subuh aku keluar rumah, menikmati udara
pagi, masih dengan mukenaku, duduk di kursi teras rumah. Kemudian disusul nenek
tetangga yang ikut keluar. Nenek yang berusia sekitar 80 tahun ini
menyunggingkan senyum.
“Nyai udah solat?” tanya
sekaligus sapaku.
“Udah dong, tapi ngga sahur, aku
kesiangan, tau-tau udah ada suara burung.”
Astagfirullah, merasa kurang
berguna sebagai tetangga. Biasanya beliau bisa bangun sendiri. Nenek ini, di
usianya yang semakin senja, semakin rajin melakukan ibadah sunnah seperti
sholat dan puasa. Memberikan motivasi para kaum muda sepertiku.
Wanita tua ini tinggal di rumah yang
berdempetan dengan rumahku, ia membuatku kagum. Di usianya yang sudah sangat
lanjut, ia masih menunjukkan semangat hidupnya. Wanita tua yang hidup sendirian
sepanjang hari, suami yang sudah kembali ke sisiNya, anak-anak yang telah
menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing. Ada yang tinggal berdekatan
dengan rumahnya, tetapi sangat sibuk sehingga hampir tidak punya waktu
untuknya. Pun aku hampir tidak pernah bertemu anak, menantu dan cucunya kecuali
hari libur. Tubuhnya yang kian renta tak memungkinkan ia berpergian jauh hanya
untuk berlibur. Ia lebih sering ditinggal di rumah. Namun, semua itu tidak
membuatnya terpuruk dalam kesendirian.
Dari ceritanya, aku tahu ia merupakan
wanita yang aktif di masa mudanya, berjuang untuk keluarga, berjuang untuk
kesuksesan anak-anaknya. Bahkan hingga sekarang, tubuh yang renta tak dijadikan
alasan untuk bermalas-malasan. Ia masih aktif dalam kesehariannya, walaupun
hanya rutinitas biasa yang dilakukan seorang ibu rumah tangga. Namun, ia
sanggup melakukan semuanya sendirian tanpa keluar keluhan sedikit pun dari
mulutnya. Tak pernah ada kata buruk keluar dari mulutnya.
“Jalan-jalan yuk Nyai.”
“Yuk.” Sautnya, menerima
ajakanku.
Mencoba mengalihkan
pembicaraan, aku mengajaknya berjalan beberapa meter dari rumah, melihat
pohon-pohon kamboja. Suasana sekitar rumah sudah seperti pemakaman karena
harumnya, tetapi menenangkan. Warnanya pun cantik, kuning cerah keemasan. Aku
petik dua bunga kamboja, aku sematkan satu ke belakang telinga Nyai, dan satu
lainnya ke belakang telingaku yang masih ditutupi mukena.
“Wah Nyai cantik, kaya
kembang desa,” gombalku.
“Hahahaha. Dasar lo.” Ketawa
lepas khasnya inilah yang membuatnya selalu terlihat ceria.
Aku suka sekali mengajak
bicara nenek yang satu ini. Mengajaknya bercanda, setidaknya ini yang dapat aku
lakukan untuk menghiburnya. Baru kemarin terjadi keributan dalam keluarganya
yang disebabkan oleh anak perempuannya. Dan Nyai tidak pernah menyalahkan
anaknya. Masih berusaha menasehati dengan lemah lembut, walaupun jarang
didengar.
Dari keributan itu aku jadi
tahu, ternyata ada dua orang putrinya yang menikah dengan seorang pria yang
sama. Awalnya menikah dengan putri pertamanya yang sekarang sudah kembali ke
sisiNya. Saking cintanya ia pada sang menantu, ia tak rela melepaskannya. Ia
menikahkan lagi dengan anak perempuannya yang merupakan adik ipar dari
menantunya.
Aku tidak tahu persis
bagaimana kronologisnya yang pasti keributan itu membuat Nyai sedih. Beberapa
kali ia menceritakan pada Ibu, menangis, kembali bercerita, menangis kembali.
Ibu berusaha menenangkan Nyai yang selalu menyalahkan diri sendiri ketimbang
orang lain. Ia masih menjadi sosok nenek yang aku kagumi.
15 OkTOBER 2013, Hari perdana aku Sholat
Ied tidak bersama teman-teman Ayah. Ibuku di ajak Nyai untuk sholat bersama di
masjid dekat rumah. Sebagai tetangga baru, sungkan untuk menolak ajakannya.
Sekitar 400 meter, jarak yang
harus ditempuh untuk menuju masjid yang akan menjadi tempat kami sholat. Dengan
kakinya yang sudah tak lincah, ia masih tetap ingin berjalan walaupun sudah
kutawarkan untuk diantar menggunakan sepeda motor. Apa boleh buat, aku, Ibu dan
adikku ikut menemaninya berjalan menuju masjid. Sedangkan Ayah bersama adik
laki-lakiku Sholat Ied di tempat biasa kami sholat.
Kami memang selalu rutin untuk sholat bersama di sana tiap tahunnya, tetapi aku lebih menerima ajakan Nyai. Melihat wajah sendunya itu, tak kuat rasanya untuk menolak. Dan dengan bujuk rayu, akhirnya adik perempuanku mau ikut berjalan bersama kami menuju masjid. Hingga pulang, Nyai tetap ingin berjalan, aku masih setia menemani berjalan membuntuti. Ibu dan adikku sudah pulang lebih dulu karena adikku merengek minta pulang.
Kami memang selalu rutin untuk sholat bersama di sana tiap tahunnya, tetapi aku lebih menerima ajakan Nyai. Melihat wajah sendunya itu, tak kuat rasanya untuk menolak. Dan dengan bujuk rayu, akhirnya adik perempuanku mau ikut berjalan bersama kami menuju masjid. Hingga pulang, Nyai tetap ingin berjalan, aku masih setia menemani berjalan membuntuti. Ibu dan adikku sudah pulang lebih dulu karena adikku merengek minta pulang.
Di jalan, dengan langkah
kecilnya yang terkadang tersusul olehku secara tidak sengaja. Ia masih terus
berjalan meski wajahnya sudah penuh keringat. Sungguh tangguh. Semangatnya
mengalahkanku. Nenek ini terlalu mandiri, andai saja nenek kandungku, aku pasti
akan memaksanya untuk aku antar. Terlalu tidak tega tetapi membuatku makin
salut. Bagiku, Nyai seperti kembang desa.
Marhamah Zahara
Karang Mulya - Karang Tengah, Tangerang
[Lomba #AYTKTM]