[#AYTKTM] Nenek tetangga, bagiku kembang desa -->

[#AYTKTM] Nenek tetangga, bagiku kembang desa

Admin
Jumat, 27 Desember 2013
Islamedia - 14 OkTOBER 2013, Tak lama seusai sholat subuh aku keluar rumah, menikmati udara pagi, masih dengan mukenaku, duduk di kursi teras rumah. Kemudian disusul nenek tetangga yang ikut keluar. Nenek yang berusia sekitar 80 tahun ini menyunggingkan senyum.

“Nyai udah solat?” tanya sekaligus sapaku.
“Udah dong, tapi ngga sahur, aku kesiangan, tau-tau udah ada suara burung.”
Astagfirullah, merasa kurang berguna sebagai tetangga. Biasanya beliau bisa bangun sendiri. Nenek ini, di usianya yang semakin senja, semakin rajin melakukan ibadah sunnah seperti sholat dan puasa. Memberikan motivasi para kaum muda sepertiku.
Wanita tua ini tinggal di rumah yang berdempetan dengan rumahku, ia membuatku kagum. Di usianya yang sudah sangat lanjut, ia masih menunjukkan semangat hidupnya. Wanita tua yang hidup sendirian sepanjang hari, suami yang sudah kembali ke sisiNya, anak-anak yang telah menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing. Ada yang tinggal berdekatan dengan rumahnya, tetapi sangat sibuk sehingga hampir tidak punya waktu untuknya. Pun aku hampir tidak pernah bertemu anak, menantu dan cucunya kecuali hari libur. Tubuhnya yang kian renta tak memungkinkan ia berpergian jauh hanya untuk berlibur. Ia lebih sering ditinggal di rumah. Namun, semua itu tidak membuatnya terpuruk dalam kesendirian.

Dari ceritanya, aku tahu ia merupakan wanita yang aktif di masa mudanya, berjuang untuk keluarga, berjuang untuk kesuksesan anak-anaknya. Bahkan hingga sekarang, tubuh yang renta tak dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Ia masih aktif dalam kesehariannya, walaupun hanya rutinitas biasa yang dilakukan seorang ibu rumah tangga. Namun, ia sanggup melakukan semuanya sendirian tanpa keluar keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tak pernah ada kata buruk keluar dari mulutnya.
“Jalan-jalan yuk Nyai.”
“Yuk.” Sautnya, menerima ajakanku.
Mencoba mengalihkan pembicaraan, aku mengajaknya berjalan beberapa meter dari rumah, melihat pohon-pohon kamboja. Suasana sekitar rumah sudah seperti pemakaman karena harumnya, tetapi menenangkan. Warnanya pun cantik, kuning cerah keemasan. Aku petik dua bunga kamboja, aku sematkan satu ke belakang telinga Nyai, dan satu lainnya ke belakang telingaku yang masih ditutupi mukena.
“Wah Nyai cantik, kaya kembang desa,” gombalku.
“Hahahaha. Dasar lo.” Ketawa lepas khasnya inilah yang membuatnya selalu terlihat ceria.
Aku suka sekali mengajak bicara nenek yang satu ini. Mengajaknya bercanda, setidaknya ini yang dapat aku lakukan untuk menghiburnya. Baru kemarin terjadi keributan dalam keluarganya yang disebabkan oleh anak perempuannya. Dan Nyai  tidak pernah menyalahkan anaknya. Masih berusaha menasehati dengan lemah lembut, walaupun jarang didengar.
Dari keributan itu aku jadi tahu, ternyata ada dua orang putrinya yang menikah dengan seorang pria yang sama. Awalnya menikah dengan putri pertamanya yang sekarang sudah kembali ke sisiNya. Saking cintanya ia pada sang menantu, ia tak rela melepaskannya. Ia menikahkan lagi dengan anak perempuannya yang merupakan adik ipar dari menantunya.
Aku tidak tahu persis bagaimana kronologisnya yang pasti keributan itu membuat Nyai sedih. Beberapa kali ia menceritakan pada Ibu, menangis, kembali bercerita, menangis kembali. Ibu berusaha menenangkan Nyai yang selalu menyalahkan diri sendiri ketimbang orang lain. Ia masih menjadi sosok nenek yang aku kagumi.

15 OkTOBER 2013, Hari perdana aku Sholat Ied tidak bersama teman-teman Ayah. Ibuku di ajak Nyai untuk sholat bersama di masjid dekat rumah. Sebagai tetangga baru, sungkan untuk menolak ajakannya.
Sekitar 400 meter, jarak yang harus ditempuh untuk menuju masjid yang akan menjadi tempat kami sholat. Dengan kakinya yang sudah tak lincah, ia masih tetap ingin berjalan walaupun sudah kutawarkan untuk diantar menggunakan sepeda motor. Apa boleh buat, aku, Ibu dan adikku ikut menemaninya berjalan menuju masjid. Sedangkan Ayah bersama adik laki-lakiku Sholat Ied di tempat biasa kami sholat. 

Kami memang selalu rutin untuk sholat bersama di sana tiap tahunnya, tetapi aku lebih menerima ajakan Nyai. Melihat wajah sendunya itu, tak kuat rasanya untuk menolak. Dan dengan bujuk rayu, akhirnya adik perempuanku mau ikut berjalan bersama kami menuju masjid. Hingga pulang, Nyai tetap ingin berjalan, aku masih setia menemani berjalan membuntuti. Ibu dan adikku sudah pulang lebih dulu karena adikku merengek minta pulang.
Di jalan, dengan langkah kecilnya yang terkadang tersusul olehku secara tidak sengaja. Ia masih terus berjalan meski wajahnya sudah penuh keringat. Sungguh tangguh. Semangatnya mengalahkanku. Nenek ini terlalu mandiri, andai saja nenek kandungku, aku pasti akan memaksanya untuk aku antar. Terlalu tidak tega tetapi membuatku makin salut. Bagiku, Nyai seperti kembang desa.

Marhamah Zahara
Karang Mulya - Karang Tengah, Tangerang


[Lomba #AYTKTM]