Islam edia - Istriku, mengarungi bahtera rumah tangga yang indah dan penuh barakah bersamamu, membuatku ingin mengenang saat-saat meny...
Islamedia - Istriku, mengarungi bahtera rumah
tangga yang indah dan penuh barakah bersamamu, membuatku ingin mengenang
saat-saat menyenangkan puluhan tahun silam. Saat kita di kota Bogor menuntut
ilmu. Saat aku jatuh hati kepadamu. Aku tahu, kau masih menyimpan surat
cintaku, yang kutulis dengan penuh perasaan, usai shalat hajat, di ujung senyap
malam. Surat yang sangat sederhana, namun sarat makna:
Dan aku memberitahu ibunda untuk memohon
doanya. Doa seorang ibu kepada anaknya amatlah mustajabah. Takada hijab dengan Tuhannya. Apalagi ibunda
menginginkan aku menikah dengan gadis sekota. Dan aku menaatinya. Kau pasti
tahu, ketaatan anak laki -sebelum dan sesudah menikah, adalah kepada
ibunya.
Setelah tiga bulan menunggu, kau menjawabnya. Tepat sepekan usai hari raya Idhul Adha, sepulangku dari Samarinda. Surat jawaban yang juga amat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari yang kuduga:
“Aku bersedia dikhitbah..”
Akhirnya kita menikah dengan sederhana. Disaksikan keluarga dan tetangga dekat. Ada yang tidak biasa. Kita tidak membuat surat undangan seperti kebanyakan orang, namun cukup membuat surat pemberitahuan bahwa diantara kita telah terikat tali pernikahan suci. Aneh memang. Dan kita menikmati keanehan itu.
Istriku, lima tahun usia perkawinan, kita dianugerahi tiga anak yang shalih dan shaliha. Lahir di tiga kota yang berbeda: Rembang, Surabaya dan Ponorogo. Kau memang luar biasa. Saat melahirkan Calon Profesor, anak pertama, aku sedang pendidikan di Pusdik Kehutanan Cepu. Aku tidak bisa menungguimu. Kau biasa saja. Tetap ceria. Saat melahirkan Calon Direktur, anak kedua, aku sedang gila kerja, hingga meninggalkanmu sendirian di RSU Pacar Keling, Surabaya. Kau tidak kecewa. Tetap gembira. Maka ketika kau hamil Calon Psikolog, aku berjanji kepada diriku sendiri, akan membersamaimu saat melahirkan anak ketiga. Kau tentu ingat, saat mengantarkanmu ke Klinik Bersalin di kota Ponorogo, dua belas kilo meter jaraknya, kita naik motor Suzuki AX 100, jam 23.00 malam! Namun kau tetap biasa saja. Tetap suka cita.
Istriku, kau inspirasiku. Ini adalah puisiku ketika kita di Ponorogo. Aku bersyukur melihatmu selalu penuh syukur. Syukurmu menginspirasiku:
Istriku, sungguh aku amat berterima kasih
kepadamu. Berterima kasih atas segala pengorbananmu. Di Ngawi, kau menabungkan
hampir semua uang gaji, sisa uang SPPD, honor mengajar, hasil bisnis penjualan
madu, benih dan bibit Jati, dan lainnya, untuk tabungan hajiku, agar aku bisa menemani
ibunda. Maka ketika aku berhaji, aku berdoa di Tanah Haram, di Masjidil Haram, di depan Multazam di Baitullah, di hari Jumat, di antara dua khutbah, kepada
Yang Maha Kaya lagi Mahakuasa. Aku berdoa di tempat yang mulia, di waktu
yang mulia, dengan cara yang mulia, dan hanya kepada Yang Mahamulia, agar kita
bisa berziarah di Makkah al-Mukarramah,
setiap tahun. Ya, setiap tahun. Aku memohon bisa membawamu menghadap-Nya.
Sungguh, aku amat bersyukur bisa mengajakmu ziarah setahun kemudian:
Istriku, sungguh aku beruntung mempunyai
istri sepertimu. Cantik, pintar, shaliha dan gemar bederma. Kau mudah
terinspirasi, aku juga. Kau mudah tersentuh, aku juga. Kau berani
bermimpi dan berdoa, aku juga. Kita satu frekuensi, satu chemistry, satu hati. Hingga
kita bisa terharu bersama, setiap Jumat siang, saat teringat pasangan
muda itu di Mal Sri Ratu Kediri kota. "Sajak Jumat Siang" ini kubuat
karena terinspirasi mereka:
Istriku, di hari ulang tahun pernikahan
kita yang kedua puluh dua, kau dengan suka cita menemaniku "Berbagi
Inspirasi Lewat Profesi" di Kelas Inspirasi Indonesia Mengajar, Jawa Timur.
Dengan segala pengorbananmu, sungguh, aku ingin memohon maaf kepadamu. Aku
hanya bisa menjadikanmu wanita yang ketiga dalam hidupku. Aku tidak bisa
menjadikanmu sebagai wanita yang kedua, apalagi yang pertama. Wanita pertama
sudah menjadi jatah ibunda, dan wanita kedua ada sejak kelahiran anak kita yang
shaliha. Namun, aku berjanji kepadamu, tak akan menjadikanmu wanita keempat,
apalagi yang kelima. Tidak akan pernah.
Istriku, kekasih hatiku. Aminkan puisiku, aminkan kidungku, aminkan doaku. Agar aku bisa hidup sukses dan mulia di dunia. Dan mati masuk syurga. Kau juga:
YAHYA AMIN
Ngawi, Jatim
“Bismillaah
aku
mengkhitbah
shalat
istikharahlah
Faidzaa
‘azamta fatawakkal ‘alallaah..”
Setelah tiga bulan menunggu, kau menjawabnya. Tepat sepekan usai hari raya Idhul Adha, sepulangku dari Samarinda. Surat jawaban yang juga amat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari yang kuduga:
“Aku bersedia dikhitbah..”
Akhirnya kita menikah dengan sederhana. Disaksikan keluarga dan tetangga dekat. Ada yang tidak biasa. Kita tidak membuat surat undangan seperti kebanyakan orang, namun cukup membuat surat pemberitahuan bahwa diantara kita telah terikat tali pernikahan suci. Aneh memang. Dan kita menikmati keanehan itu.
Istriku, lima tahun usia perkawinan, kita dianugerahi tiga anak yang shalih dan shaliha. Lahir di tiga kota yang berbeda: Rembang, Surabaya dan Ponorogo. Kau memang luar biasa. Saat melahirkan Calon Profesor, anak pertama, aku sedang pendidikan di Pusdik Kehutanan Cepu. Aku tidak bisa menungguimu. Kau biasa saja. Tetap ceria. Saat melahirkan Calon Direktur, anak kedua, aku sedang gila kerja, hingga meninggalkanmu sendirian di RSU Pacar Keling, Surabaya. Kau tidak kecewa. Tetap gembira. Maka ketika kau hamil Calon Psikolog, aku berjanji kepada diriku sendiri, akan membersamaimu saat melahirkan anak ketiga. Kau tentu ingat, saat mengantarkanmu ke Klinik Bersalin di kota Ponorogo, dua belas kilo meter jaraknya, kita naik motor Suzuki AX 100, jam 23.00 malam! Namun kau tetap biasa saja. Tetap suka cita.
Istriku, kau inspirasiku. Ini adalah puisiku ketika kita di Ponorogo. Aku bersyukur melihatmu selalu penuh syukur. Syukurmu menginspirasiku:
Kita
memang kaya, Di
punya
motor Suzuki
belanja
ke Pasar Legi tiap pagi
tak
harus jalan kaki
Kita
memang kaya, Di
punya
meja kursi
lihatlah
Mbah Radi
takada
dingklik walau sebiji
hingga
tamu pun harus berdiri
Kita
memang kaya, Di
punya
ranjang besi
Yu
Siti tak punya dipan
bed
apalagi
usai
tidur tikar pun membekas di pipi
Kita
memang kaya, Di
punya
Ilman, Bila dan Haqi
kasihan
Pakde Budi
belasan
tahun menikah tak juga dianugerahi
maka,
ingatlah selalu wasiat Nabi:
"Wahai
bestari, tentang duniawi
lihatlah
selalu ke bawah sisi
niscaya
kau akan mengerti"
Ya,
kita memang kaya, Di
sejak
bisa syukuri nikmat Ilahi Rabbi..
Tuhanku,
kubawa
istriku kepada-Mu
berkahilah
ia seperti Engkau telah memberkahiku..
Kita
umrah berdua ketika tinggal di Banyuwangi. Dan, insya Allah, akan selalu
berdua. Istriku, tahukah kau, dimana kubuat kidung cinta ini? Benar! Aku
membuatnya waktu kita berhaji bersama, dua hari usai Thawaf Ifadhah, tanggal 15 Dzulhijjah, pas bulan purnama.
Waktu itu kita sudah pindah di Pati, Jawa Tengah.
Di
Multazam
kudengar
cerita semilir angin Masjidil Haram:
istriku
suka
bersuamikan
aku
Oo,
purnama Makkah
katakan
kepadanya:
aku
cinta
dia..
Seorang
pemuda necis
tampilan
eksekutif perusahaan establis
bergandeng
riang bersama istri tersayang
mengarak
belasan anak yatim di restoran ternama
dibiarkannya
mereka pesan apa saja
mereka
lahap hidangan lezat itu tanpa ba bi bu
lalu
diajaknya anak-anak itu masuk supermarket waralaba:
“Anakku
sayang, ambillah apapun yang kau suka
susu,
buku atau gula-gula..”
mereka
ceria serasa anak orang kaya
usai
acara diantarnya mereka ke rumahnya satu satu
istrinya
selipkan amplop putih di saku baju satu-satu
sungguh
tak pernah kulihat wajah anak segembira itu
Tuhanku,
gembirakanlah dia selalu
sebagaimana
dia telah menggembirakan anak-anak yatim-Mu
dan
anugerahkanlah kepadaku
kemudahan
untuk meniru kebaikan itu..
Istriku,
dua puluh dua tahun sudah kita menikah. Tuhan sungguh Maha Pemurah, berkenan memberi
anugerah indah. Keluarga barakah,
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Berhiaskan anak yang shalih dan shaliha.
Istriku, kekasih hatiku. Aminkan puisiku, aminkan kidungku, aminkan doaku. Agar aku bisa hidup sukses dan mulia di dunia. Dan mati masuk syurga. Kau juga:
Tuhanku,
puluhan tahun lalu
aku
berdoa kepada-Mu:
“Berilah
aku istri yang shaliha
yang
bisa membantuku masuk syurga”
sungguh
syukurku tak berhingga kepada-Mu
hari
ini duapuluh dua tahun sudah Engkau hadirkan bagiku sebuah karunia
seorang
istri yang cantik dan shaliha
yang
sudah memberiku syurga dunia
dan
aku tak akan pernah lupa
untuk
tetap memohon syurga akhirat-Mu senantiasa.. ***
YAHYA AMIN
Ngawi, Jatim