Islamedia - Ada kisah kecil, yang tersisa saat mudik lalu. Saat adik ipar saya masuk angin, ibu mertua mengulurkan obat sambil berkata, “Gusti Allah sing marakke mari. iki obat mung nggo jalaran wae, upayane menungso” (gusti Allah yang akan menyembuhkan, ini obat hanya sarana, sebagai upaya manusia).
Sebagai seorang ibu juga, saya tersentak. Seharusnya kalimat seperti itu yang terus kita ucapkan, saat mengajak anak minum obat, atau saat mengajak mereka belajar, atau saat mereka meraih prestasi tertentu. Selalu yang utama, melibatkan Allah dulu. Karena, apapun, kita tak pernah lepas dari izin-Nya, karunia-Nya, dan itu memang perlu DIVERBALKAN, sesering mungkin, agar kita tak lupa daratan. Tidak adigang adigung adiguna.
Bukan hanya untuk dihayati saja, tapi juga diucapkan, yang semoga makin memperkuat penghayatan. Sama halnya ayat pertama al-fatihah, kita diminta selalu mengucapkan hamdalah minimal 17 kali dalam sehari, meski kita tahu bahwa Allah Maha Segala. Tetap harus diucapkan, bukan karena takut lupa ayat, tapi untuk memperkuat keimanan.
Peristiwa itu nampak sekilas aja, tapi sungguh menjadi pelajaran berharga.
Kisah lain. Alhamdulillah, saat ini saya sedang ditugasbelajarkan oleh kantor, mengambil jenjang doktoral. Tetapi, sudah jadi pengetahuan umum, bahwa selama sekolah lagi, secara itung-itungan nominal, pemasukan keuangan tak sebesar jika full kerja. Sementara itu, saya punya tanggungan cicilan mobil, yang jumlahnya akan melebihi dari gaji pokok saya selama sekolah. Uneg-uneg ini, suatu malam saya sampaikan ke suami-, dan dia menjawab ringan, “Tenang aja. Kan masih punya suami”
Tentu saya lega. Ah ya, saya kan masih bisa sambat sama suami. Dia kan qawwam saya, dan insya Allah bisa memecahkan masalah ini.
Tetiba, tengah malam, saya mendapatkan BBM dari suami (yang saat itu sedang mengaji di salah seorang ustadz). “Afwan, ralat yang tadi itu ada kesalahan fatal. Bukan ‘masih punya suami’, tapi ‘masih punya Allah”.
Agak lama saya mencerna kalimat di bbm tersebut (karena setengah sadar, nyawa belum ngumpul). Setelah mengingat-ingat, baru saya sadar sadar bahwa bbm tersebut menyambung ke percakapan beberapa jam sebelumnya. Astaghfirullah, berarti saya salah juga, menganggap ‘suami’ sebagai tempat sambatan yang handal. Padahal tempat kita mengadu, bagaimanapun tetap Allah, hanya pada-Nya. Kok kami seolah lupa dengan kalimat yang sehari diucapkan minimal 17 kali, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.
Alhamdulillah, suami segera mengingatkan. Meski waktu bicara-bicara itu, mungkin maksudnya juga bercanda, sama sekali bukan karena menyangsikan ke-Maha-an Allah. Tapi, dalam kehidupan keseharian, kita memang kadang terlanjur salah kaprah dalam bercanda, misalnya dengan berkata, “Tenang aja, kan ada saya” atau “Wah, kalau Bu ini ada, semua beres deh”
Padahal, siapa yang bisa menjamin demikian, selain Allah?
Lain hari, masih tentang pemasukan nominal yang terasa berkurang, cukup banyak pula, tercetus spontan dari lisan saya, “Cilaka nih!”.
Suami segera mengingatkan, “Berkah, insya Allah. Jangan disebut cilaka. Berapa pun akan jadi berkah, amiin”.
Sungguh, jadi malu hati tiba-tiba. Alhamdulillah, memang salah satu sendi utama pernikahan yang akan terus menguatkan ikatan adalah jika mekanisme saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran dapat terus ditegakkan. Semoga.
Muktia Farid
Sebagai seorang ibu juga, saya tersentak. Seharusnya kalimat seperti itu yang terus kita ucapkan, saat mengajak anak minum obat, atau saat mengajak mereka belajar, atau saat mereka meraih prestasi tertentu. Selalu yang utama, melibatkan Allah dulu. Karena, apapun, kita tak pernah lepas dari izin-Nya, karunia-Nya, dan itu memang perlu DIVERBALKAN, sesering mungkin, agar kita tak lupa daratan. Tidak adigang adigung adiguna.
Bukan hanya untuk dihayati saja, tapi juga diucapkan, yang semoga makin memperkuat penghayatan. Sama halnya ayat pertama al-fatihah, kita diminta selalu mengucapkan hamdalah minimal 17 kali dalam sehari, meski kita tahu bahwa Allah Maha Segala. Tetap harus diucapkan, bukan karena takut lupa ayat, tapi untuk memperkuat keimanan.
Peristiwa itu nampak sekilas aja, tapi sungguh menjadi pelajaran berharga.
Kisah lain. Alhamdulillah, saat ini saya sedang ditugasbelajarkan oleh kantor, mengambil jenjang doktoral. Tetapi, sudah jadi pengetahuan umum, bahwa selama sekolah lagi, secara itung-itungan nominal, pemasukan keuangan tak sebesar jika full kerja. Sementara itu, saya punya tanggungan cicilan mobil, yang jumlahnya akan melebihi dari gaji pokok saya selama sekolah. Uneg-uneg ini, suatu malam saya sampaikan ke suami-, dan dia menjawab ringan, “Tenang aja. Kan masih punya suami”
Tentu saya lega. Ah ya, saya kan masih bisa sambat sama suami. Dia kan qawwam saya, dan insya Allah bisa memecahkan masalah ini.
Tetiba, tengah malam, saya mendapatkan BBM dari suami (yang saat itu sedang mengaji di salah seorang ustadz). “Afwan, ralat yang tadi itu ada kesalahan fatal. Bukan ‘masih punya suami’, tapi ‘masih punya Allah”.
Agak lama saya mencerna kalimat di bbm tersebut (karena setengah sadar, nyawa belum ngumpul). Setelah mengingat-ingat, baru saya sadar sadar bahwa bbm tersebut menyambung ke percakapan beberapa jam sebelumnya. Astaghfirullah, berarti saya salah juga, menganggap ‘suami’ sebagai tempat sambatan yang handal. Padahal tempat kita mengadu, bagaimanapun tetap Allah, hanya pada-Nya. Kok kami seolah lupa dengan kalimat yang sehari diucapkan minimal 17 kali, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.
Alhamdulillah, suami segera mengingatkan. Meski waktu bicara-bicara itu, mungkin maksudnya juga bercanda, sama sekali bukan karena menyangsikan ke-Maha-an Allah. Tapi, dalam kehidupan keseharian, kita memang kadang terlanjur salah kaprah dalam bercanda, misalnya dengan berkata, “Tenang aja, kan ada saya” atau “Wah, kalau Bu ini ada, semua beres deh”
Padahal, siapa yang bisa menjamin demikian, selain Allah?
Lain hari, masih tentang pemasukan nominal yang terasa berkurang, cukup banyak pula, tercetus spontan dari lisan saya, “Cilaka nih!”.
Suami segera mengingatkan, “Berkah, insya Allah. Jangan disebut cilaka. Berapa pun akan jadi berkah, amiin”.
Sungguh, jadi malu hati tiba-tiba. Alhamdulillah, memang salah satu sendi utama pernikahan yang akan terus menguatkan ikatan adalah jika mekanisme saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran dapat terus ditegakkan. Semoga.
Muktia Farid