Islamedia - Saat
ini kita dihebohkan dengan agenda Miss World yang akan dilaksanakan di
Indonesia dan salah satu Propinsi tempat penyelenggaraan acara tersebut
adalah Jawa Barat walau pada akhirnya acara tersebut dibatalkan untuk diselenggarakan di Jawa Barat.
Sikap Ahmad Heryawan jelas menolak diadakannya kegiatan ini karena memiliki mudhorot yang lebih besar, hal ini bisa di lihat dibeberapa media islam yang telah merilis sikap beliau.
Yang kemudian menjadi sorotan adalah beberapa orang yang mengaku aktivis islam justru menyorot Ahmad Heryawan dengan menghukumi beliau sebagai seorang bathil, karena memiliki kekuasaan tapi justru tak bertindak dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Ahmad Heryawan.
Sikap beberapa orang yang mengaku aktivis islam ini dikuatkan dengan hujjah mereka yang katanya berdasarkan pada Al Quran dan Al Hadist ini mengatakan Ahmad Haryawan jelas telah melakukan kebatilan.
Tapi kemudian ketika ditanya, apakah kemarin ikut pemilihan atau tidak ? justru mengatakan tidak, karena mereka menghukumi bahwa demokrasi adalah haram.
Logika yang cukup membingungkan memang, disatu sisi meyakini bahwa produk demokrasi dengan keberhasilan Ahmad Heryawan memimpin bisa mencegah kemungkaran tapi di sisi lain justru tak mau memilih karena demokrasi adalah haram. Tapi justru mau menghakimi ketika hasil demokrasi tak mampu mencegah kemungkaran.
Di satu sisi Ahmad Heryawan diagungkan karena memiliki kekuasaan dan dengan itu dia bisa mencegah kemungkaran tapi di sisi lain justru menjatuhkan ketika Ahmad Heryawan tak mampu melakukan.
Dari sini berarti orang yang mengaku aktivis islam tersebut memahami bahwa pentingnya kepemimpinan dari kaum muslimin, karena dengannya kemungkaran, kemaksiatan, dan kejahilan akan dapat dimusnahkan.
Tapi kemudian kefahaman ini justru tak dibarengi dengan sikap diwaktu pemilihan yang malah bersikap golput. Tentunya hal ini membuat logika kita dibolak-balik, tak mau berjuang mendapatkan kekuasaan yang mampu mencegah kemungkaran, tapi justru mau menikmati ketika kekuasaan itu telah berada ditangan.
Sikap-sikap seperti ini telah membolak balik logika kita. Bagaimana mungkin bisa berharap banyak pada seorang pemimpin, sementara kita tidak berjuang menjadikannya seorang pemimpin tapi kemudian keinginan kita harus dituruti oleh pemimpin tersebut.
Wallahu' alam
Faguza Abdullah
Sikap Ahmad Heryawan jelas menolak diadakannya kegiatan ini karena memiliki mudhorot yang lebih besar, hal ini bisa di lihat dibeberapa media islam yang telah merilis sikap beliau.
Yang kemudian menjadi sorotan adalah beberapa orang yang mengaku aktivis islam justru menyorot Ahmad Heryawan dengan menghukumi beliau sebagai seorang bathil, karena memiliki kekuasaan tapi justru tak bertindak dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Ahmad Heryawan.
Sikap beberapa orang yang mengaku aktivis islam ini dikuatkan dengan hujjah mereka yang katanya berdasarkan pada Al Quran dan Al Hadist ini mengatakan Ahmad Haryawan jelas telah melakukan kebatilan.
Tapi kemudian ketika ditanya, apakah kemarin ikut pemilihan atau tidak ? justru mengatakan tidak, karena mereka menghukumi bahwa demokrasi adalah haram.
Logika yang cukup membingungkan memang, disatu sisi meyakini bahwa produk demokrasi dengan keberhasilan Ahmad Heryawan memimpin bisa mencegah kemungkaran tapi di sisi lain justru tak mau memilih karena demokrasi adalah haram. Tapi justru mau menghakimi ketika hasil demokrasi tak mampu mencegah kemungkaran.
Di satu sisi Ahmad Heryawan diagungkan karena memiliki kekuasaan dan dengan itu dia bisa mencegah kemungkaran tapi di sisi lain justru menjatuhkan ketika Ahmad Heryawan tak mampu melakukan.
Dari sini berarti orang yang mengaku aktivis islam tersebut memahami bahwa pentingnya kepemimpinan dari kaum muslimin, karena dengannya kemungkaran, kemaksiatan, dan kejahilan akan dapat dimusnahkan.
Tapi kemudian kefahaman ini justru tak dibarengi dengan sikap diwaktu pemilihan yang malah bersikap golput. Tentunya hal ini membuat logika kita dibolak-balik, tak mau berjuang mendapatkan kekuasaan yang mampu mencegah kemungkaran, tapi justru mau menikmati ketika kekuasaan itu telah berada ditangan.
Sikap-sikap seperti ini telah membolak balik logika kita. Bagaimana mungkin bisa berharap banyak pada seorang pemimpin, sementara kita tidak berjuang menjadikannya seorang pemimpin tapi kemudian keinginan kita harus dituruti oleh pemimpin tersebut.
Wallahu' alam
Faguza Abdullah