Islamedia - “Ah, saya sih tidak berorientasi ke sana karena yang terpenting adalah bekerja sebaik mungkin.” Kata Ahmad Heryawan, yang akrab disapa Kang Aher, dengan santai saat saya tanyakan apakah dia tak bosan menerima penghargaan yang berkaitan dengan amanahnya selaku eksekutif tertinggi di Jawa Barat.
Malam itu (12/9) kami berbincang dalam suasana kekeluargaan di Gedung Pakuan, Jl Otto Iskandardinata, Bandung.
Kang Aher terlihat cukup fresh padahal dia baru saja tiba di kediaman resminya itu sekitar pukul 19.00 Wib setelah melakukan perjalanan dinas sejak semalam sebelumnya termasuk juga agenda menerima penghargaan dari Pemerintah RI yang diserahkan oleh Wakil Presiden RI, Boediono, atas keberhasilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menyusun dan menyajikan Laporan keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012 dengan capaian tertinggi ‘Wajar Tanpa Pengecualian’ (WTP) dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.
Ini merupakan penghargaan ke-116 sepanjang perjalanan kepemimpinannya yang kini tengah memasuki awal periode kedua.
Namun yang menarik bagi saya adalah penghargaan ‘Si Kompak Award 2013’ yang diterima Kang Aher pada pertengahan tahun, tepatnya 18 Juni 2013, lalu dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diserahkan oleh Mendagri, Gamawan Fauzi, saat berlangsungnya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Tahun Anggaran 2013 di Jakarta.
Sebagaimana tertuang piagam No 411.31/314/SJ, yang ditandatangani Mendagri per tanggal 14 Juni 2013, Jawa Barat layak mendapat apresiasi tersebut karena berhasil dalam mengembangkan aspek kemitraan dan kerja sama. Heryawan menyabet penghargaan untuk dua kategori sekaligus yakni sebagai Pembina Terbaik Nasional PNPM Mandiri Perdesaan Kategori Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Aspek Kemitraan dan Kerja Sama, serta Kategori Perencanaan Pembangunan Desa (PPD) Aspek Partisipasi Masyarakat.
“Kenapa harus berorientasi pada pedesaan?” Tanya saya.
“Begini…” Papar Kang Aher,
”Keberhasilan pembangunan yang selama ini hanya berpusat di wilayah perkotaan telah memicu tingginya laju urbanisasi dari penduduk pendesaan yang ingin memperoleh penghasilan lebih tinggi tanpa ditunjang kecakapan kerja yang dibutuhkan.” ungkapnya sambil menghela napas panjang,
”Kawasan-kawasan kumuh akhirnya muncul di sana-sini dan saat ditanyakan kenapa mereka tidak pulang kampung saja menekuni pekerjaan lama sebagai petani, katanya mereka tidak punya lahan.”
Berangkat dari keprihatinan di atas lahirlah Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban, semacam realisasi dari impiannya agar lezatnya ‘kue’ pembangunan dapat ternikmati sampai ke pelosok-pelosok di seluruh Jawa Barat.
Yang telah diujicobakan sejak tahun 2010 untuk 100 desa dan ditambah lagi dengan 150 desa pada 2012 hingga total sudah 250 desa yang rutin menerima kucuran dana antara 100-300 juta per tahun.
Tahun 2013 ini rencananya jumlah desa penerima akan ditingkatkan lagi menjadi 300.
”Namun total jumlah desa di Jawa Barat ada sekitar 5314 desa, wajar saja kalau desa-desa yang belum tersentuh program ini jadi komplain.” Kata Kang Aher sambil tersenyum,
”Kita masih harus bekerja keras untuk meresponnya sebaik mungkin.” lanjutnya
Kriteria Desa Mandiri dalam sudut pandang planologi adalah desa yang memenuhi sejumlah parameter yakni memiliki jumlah penduduk yang memadai, fasilitas tempat ibadah, ruang terbuka hijau, pasar komunitas, tempat untuk melakukan interaksi sosial, tempat pelayanan kesehatan, dan fasilitas pendidikan minimal sampai jenjang SMP.
”Saya punya pengalaman pribadi soal SMP ini…” Kang Aher tersenyum sekilas.
”Dulu saat saya sekolah di kampung di SD Selaawi I, ada fakta menarik bahwa banyak teman seangkatan yang tergolong murid cerdas namun yang melanjutkan ke SMP cuma saya sendiri …” Ekspresinya terlihat agak gemas.
Ahmad Heryawan kecil saat itu sempat bertanya-tanya kenapa sampai hal itu bisa terjadi.
”Padahal soal kecerdasan sih anak-anak kampung takkan kalah dengan teman-teman mereka yang tinggal di kota hanya masalahnya terletak pada rasa percaya diri…”Tutur Kang Aher.
”Mereka kurang pede untuk masuk sekolah yang berada di luar desa sendiri apalagi sekolah-sekolah unggulan…” Karena itulah dia berusaha memastikan bahwa semua desa di Jawa Barat memiliki fasilitas pendidikan minimal sampai SMP.
Program Desa Mandiri menuju Perwujudan Desa Peradaban Jawa Barat ini telah dijadikan semacam percontohan bagi propinsi-propinsi lain.
”Ada delegasi-delegasi dari Luar Jawa yang datang untuk melakukan semacam studi kelayakan untuk menerapkan konsep ini di wilayah mereka.” Ungkap Kang Aher.
Program-program yang digulirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk masyarakat, menurut Kang Aher, tidak akan berdampak apa-apa tanpa keterlibatan pemerintah desa.
Karena itu, ketika dirinya diundang mewakili sejumlah gubernur di Indonesia untuk memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang (RUU) pemerintah desa, maka usulan pertama Kang Aher adalah membangun kemandirian desa dengan cara penguatan keuangan desa itu sendiri.
Ujung tombak keberhasilan program sangat tergantung pada kualitas para mentor yang menjadi pendamping masyarakat desa dan figur kuwu alias kepala desa sebagai sosok pimpinan yang diharapkan bisa menjadi motivator warganya untuk bersedia melakukan perubahan-perubahan ke arah peningkatan kualitas hidup.
“Dana 100-300 juta per tahun untuk setiap desa sebenarnya masih jauh dari mencukupi…”Lanjut Kang Aher.
”Namun dengan penggerak yang tepat, umumnya mereka memiliki semangat dan mampu berswadaya membiayai proyek-proyek skala desa yang mereka butuhkan.”
Dia bersyukur karena telah bertemu dengan kuwu-kuwu handal dari berbagai pelosok Jawa Barat yang lahir dari seleksi alam Tanah Pasundan ini.
Wahyuni Susilowati
Kompasianer
Malam itu (12/9) kami berbincang dalam suasana kekeluargaan di Gedung Pakuan, Jl Otto Iskandardinata, Bandung.
Kang Aher terlihat cukup fresh padahal dia baru saja tiba di kediaman resminya itu sekitar pukul 19.00 Wib setelah melakukan perjalanan dinas sejak semalam sebelumnya termasuk juga agenda menerima penghargaan dari Pemerintah RI yang diserahkan oleh Wakil Presiden RI, Boediono, atas keberhasilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menyusun dan menyajikan Laporan keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012 dengan capaian tertinggi ‘Wajar Tanpa Pengecualian’ (WTP) dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.
Ini merupakan penghargaan ke-116 sepanjang perjalanan kepemimpinannya yang kini tengah memasuki awal periode kedua.
Namun yang menarik bagi saya adalah penghargaan ‘Si Kompak Award 2013’ yang diterima Kang Aher pada pertengahan tahun, tepatnya 18 Juni 2013, lalu dari Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diserahkan oleh Mendagri, Gamawan Fauzi, saat berlangsungnya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Tahun Anggaran 2013 di Jakarta.
Sebagaimana tertuang piagam No 411.31/314/SJ, yang ditandatangani Mendagri per tanggal 14 Juni 2013, Jawa Barat layak mendapat apresiasi tersebut karena berhasil dalam mengembangkan aspek kemitraan dan kerja sama. Heryawan menyabet penghargaan untuk dua kategori sekaligus yakni sebagai Pembina Terbaik Nasional PNPM Mandiri Perdesaan Kategori Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Aspek Kemitraan dan Kerja Sama, serta Kategori Perencanaan Pembangunan Desa (PPD) Aspek Partisipasi Masyarakat.
“Kenapa harus berorientasi pada pedesaan?” Tanya saya.
“Begini…” Papar Kang Aher,
”Keberhasilan pembangunan yang selama ini hanya berpusat di wilayah perkotaan telah memicu tingginya laju urbanisasi dari penduduk pendesaan yang ingin memperoleh penghasilan lebih tinggi tanpa ditunjang kecakapan kerja yang dibutuhkan.” ungkapnya sambil menghela napas panjang,
”Kawasan-kawasan kumuh akhirnya muncul di sana-sini dan saat ditanyakan kenapa mereka tidak pulang kampung saja menekuni pekerjaan lama sebagai petani, katanya mereka tidak punya lahan.”
Berangkat dari keprihatinan di atas lahirlah Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban, semacam realisasi dari impiannya agar lezatnya ‘kue’ pembangunan dapat ternikmati sampai ke pelosok-pelosok di seluruh Jawa Barat.
Yang telah diujicobakan sejak tahun 2010 untuk 100 desa dan ditambah lagi dengan 150 desa pada 2012 hingga total sudah 250 desa yang rutin menerima kucuran dana antara 100-300 juta per tahun.
Tahun 2013 ini rencananya jumlah desa penerima akan ditingkatkan lagi menjadi 300.
”Namun total jumlah desa di Jawa Barat ada sekitar 5314 desa, wajar saja kalau desa-desa yang belum tersentuh program ini jadi komplain.” Kata Kang Aher sambil tersenyum,
”Kita masih harus bekerja keras untuk meresponnya sebaik mungkin.” lanjutnya
Kriteria Desa Mandiri dalam sudut pandang planologi adalah desa yang memenuhi sejumlah parameter yakni memiliki jumlah penduduk yang memadai, fasilitas tempat ibadah, ruang terbuka hijau, pasar komunitas, tempat untuk melakukan interaksi sosial, tempat pelayanan kesehatan, dan fasilitas pendidikan minimal sampai jenjang SMP.
”Saya punya pengalaman pribadi soal SMP ini…” Kang Aher tersenyum sekilas.
”Dulu saat saya sekolah di kampung di SD Selaawi I, ada fakta menarik bahwa banyak teman seangkatan yang tergolong murid cerdas namun yang melanjutkan ke SMP cuma saya sendiri …” Ekspresinya terlihat agak gemas.
Ahmad Heryawan kecil saat itu sempat bertanya-tanya kenapa sampai hal itu bisa terjadi.
”Padahal soal kecerdasan sih anak-anak kampung takkan kalah dengan teman-teman mereka yang tinggal di kota hanya masalahnya terletak pada rasa percaya diri…”Tutur Kang Aher.
”Mereka kurang pede untuk masuk sekolah yang berada di luar desa sendiri apalagi sekolah-sekolah unggulan…” Karena itulah dia berusaha memastikan bahwa semua desa di Jawa Barat memiliki fasilitas pendidikan minimal sampai SMP.
Program Desa Mandiri menuju Perwujudan Desa Peradaban Jawa Barat ini telah dijadikan semacam percontohan bagi propinsi-propinsi lain.
”Ada delegasi-delegasi dari Luar Jawa yang datang untuk melakukan semacam studi kelayakan untuk menerapkan konsep ini di wilayah mereka.” Ungkap Kang Aher.
Program-program yang digulirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk masyarakat, menurut Kang Aher, tidak akan berdampak apa-apa tanpa keterlibatan pemerintah desa.
Karena itu, ketika dirinya diundang mewakili sejumlah gubernur di Indonesia untuk memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang (RUU) pemerintah desa, maka usulan pertama Kang Aher adalah membangun kemandirian desa dengan cara penguatan keuangan desa itu sendiri.
Ujung tombak keberhasilan program sangat tergantung pada kualitas para mentor yang menjadi pendamping masyarakat desa dan figur kuwu alias kepala desa sebagai sosok pimpinan yang diharapkan bisa menjadi motivator warganya untuk bersedia melakukan perubahan-perubahan ke arah peningkatan kualitas hidup.
“Dana 100-300 juta per tahun untuk setiap desa sebenarnya masih jauh dari mencukupi…”Lanjut Kang Aher.
”Namun dengan penggerak yang tepat, umumnya mereka memiliki semangat dan mampu berswadaya membiayai proyek-proyek skala desa yang mereka butuhkan.”
Dia bersyukur karena telah bertemu dengan kuwu-kuwu handal dari berbagai pelosok Jawa Barat yang lahir dari seleksi alam Tanah Pasundan ini.
Wahyuni Susilowati
Kompasianer