Islam edia - LCGC atau kependekan dari Low Cost Green Car adalah proyek pemerintah dalam pengadaan mobil murah. Target proyek ini dikat...
Islamedia - LCGC atau kependekan dari Low Cost Green Car adalah proyek pemerintah
dalam pengadaan mobil murah. Target proyek ini dikatakan adalah sebagai
langkah preventif sebelum dimulainya era pasar bebas ASEAN tahun 2014.
Dikhawatirkan jika era tersebut terjadi, maka akan mengalir deras
mobil-mobil murah dari luar negeri. Pada kondisi itu, maka devisa akan
mengucur ke luar negeri mengingat di seluruh dunia mobil tipe ini sangat
laku di pasaran.
Dalam pengamatan saya, proyek aslinya adalah “proyek mobil murah”. Konsep “green” muncul belakangan sebagai feature yang ditambahkan kepada proyek mobil ini sehingga memiliki nilai tambah lain ketimbang sekedar jualan mobil. Jadi inti dari proyek ini sebetulnya adalah pencegahan larinya devisa ke luar negeri sebagai akibat serbuan impor mobil murah yang diperkirakan akan terjadi ketika AFTA mulai diberlakukan.
Karena ini adalah proyek penguasaan pasar mobil murah, maka dalam prosesnya sangat berbeda dengan konsep mobil nasional. LCGC ini adalah inisiatif pemerintah kepada pabrikan (manufaktur) lokal untuk memproduksi mobil jenis low-green dan menjualnya di dalam negeri, dilengkapi paket kebijakan tertentu.
Saya belum membaca apa saja yang masuk dalam insentif pemerintah terhadap proyek ini. Tapi saya menduga, salah satu di antaranya adalah keringanan pajak. Baik itu pajak importasi komponen (bea dan cukai), maupun pajak kendaraan (PPNBM/PPN Barang Mewah). Paket kebijakan seperti ini mutlak harus diberikan, untuk menjamin ke-low cost-an serta ke-green-an produk tersebut. Tanpa pengurangan pajak, belum tentu harga bisa ditekan. Tanpa pengurangan pajak, belum tentu skala produksi dapat mencapai nilai keekonomian sebelum kesalip produk impor.
Kabar baik bagi keluarga muda
Sebetulnya program mobil murah ini bisa menjadi kabar baik bagi keluarga-keluarga muda di Indonesia yang ingin memiliki mobil. Jika sebelumnya rata-rata harga mobil termurah berada di kisaran 150an juta (harga loan) dengan proyek ini menjadi hanya di kisaran 100an juta saja.
Dalam beberapa segi, kepemilikan kendaraan adalah parameter kualitas hidup masyarakat. Memiliki kendaraan berarti memiliki keuangan (pendapatan per bulan) yang mencukupi untuk membayar harga kendaraan tersebut. Setidaknya membayar cicilan loan-nya. Memiliki kendaraan berarti juga dapat bepergian dengan nyaman tanpa harus sakit karena angin, panas, maupun hujan. Hal seperti ini sangat krusial bagi keluarga yang memiliki anak kecil. Dengan demikian meningkatnya kepemilikan kendaraan (atau keinginan untuk memiliki kendaraan) sebetulnya adalah parameter yang baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Merupakan kabar yang baik jika di negara kita penjualan dan produksi kendaraan meningkat.
Masalah kemacetan
Pada dasarnya kepemilikan kendaraan bukanlah sebuah masalah. Yang membuat hal ini dilihat sebagai masalah adalah ketika setiap pengguna kendaraan menggunakan kendaraannya masing-masing untuk setiap perjalanannya sehari-hari. Pergi ke tempat kerja, belanja ke pasar, berangkat sekolah, semuanya menggunakan kendaraannya sendiri-sendiri. Akibatnya sebesar apapun akses jalan raya yang dibuat, tidak akan pernah cukup. Ini disebabkan tidak adanya sistem transportasi massal yang baik.
Transportasi massal mutlak diperlukan oleh setiap kota yang memiliki ratusan ribu hingga jutaan komuter setiap harinya. Komuter adalah aktivitas yang terprediksi segala sisinya, mulai dari jumlahnya, waktu-waktu peak-nya, rutenya, dsb. Mengimplementasi sistem komuter akan mengatasi banyak sekali problem kemacetan. Bagaimanapun membawa kendaraan sendiri membutuhkan perhatian khusus, mulai dari konsentrasi ketika menyetir, memikirkan ketersediaan bahan bakar, problem panas-banjir, hingga mencari lahan parkir. Jika ditambah dengan problem kemacetan, maka sesungguhnya aktivitas komuter (bolak-balik rutin) sangat tidak efisien jika membawa kendaraan sendiri.
Jika memang tersedia jaringan transportasi massal yang dapat diandalkan, maka semua orang akan meninggalkan kendaraannya di rumah dan berangkat dengan transportasi umum. Adalah tidak bijak jika kita menolak LCGC karena diprediksi menambah kemacetan. Apakah mobil selain LCGC tidak membuat kemacetan? Apakah hanya mobil mahal yang dibolehkan turun di jalanan?
Membengkakkan subsidi BBM?
Sebagian kalangan ada yang membidik pembengkakan subsidi BBM sebagai akibat peluncuran mobil-mobil LCGC. Barangkali kita perlu pertanyakan kembali, sebetulnya buat siapa sih subsidi BBM itu? Apakah hanya untuk mobil-mobil yang lebih mahal dari LCGC? Bahkan kita bisa mundur selangkah, benarkah BBM disubsidi pemerintah? Banyak yang menyangkal bahwa pemerintah mensubsidi BBM. Sebab istilah “subsidi BBM” ini ternyata mengacu kepada “kehilangan keuntungan dari penjualan BBM” ketimbang “nombok kelebihan harga BBM”. Katakanlah subsidi BBM itu memang ada, bukankah memang sudah kewajiban negara untuk menyediakan energi bagi rakyatnya? Oke kita percaya bahwa minyak kita sudah menipis. Lantas langkah apa yang harus diambil? Mengekang laju pergerakan rakyat dengan mengurangi peredaran BBM?
Kontroversi sesungguhnya
Dalam pandangan saya, masalah kemacetan dan pembengkakan subsidi BBM bukanlah kontroversi sesungguhnya dalam proyek LCGC ini. Kontroversi utamanya adalah, mengapa inisiatif proyek ini muncul ketika banyak industriawan lokal bergiat menciptakan mobil nasional (baik mobil BBM maupun mobil listrik)? Kompetensi lokal dalam memanufaktur mobil sudah tidak dipertanyakan lagi. ASTRA sudah puluhan tahun terjun dalam perakitan mobil berbagai merek. Industri karoseri mulai dari mobil biasa hingga bis sudah mampu merakit kendaraan dalam skala besar. Anak-anak bangsa berkemampuan reka-cipta mobil sudah banyak bertebaran di negara ini. Bahkan berbagai macam prototip siap produksi sudah banyak yang dihasilkan. Mengapa dalam kondisi seperti ini tiba-tiba muncul inisiatif LCGC yang (nyaris) keseluruhannya hanya mampu diproduksi oleh raksasa-raksasa Jepang?
Kondisi ini ibarat menelikung di tikungan. Anak-anak bangsa sedang bergerak maju, tiba-tiba ada raksasa dengan resources nyaris tak terbatas datang menghadang. Dengan konstelasi yang ada sekarang, saya sangat tidak yakin inisiatif LCGC betul-betul datang murni dari pemerintah. AFTA bisa direnegosiasi, bahkan produk lokal bisa diberi proteksi. Alasan serbuan produk impor jelas bisa dicegah. Secara vulgar ini nampak seperti ada orang-orang rakus yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Jangan-jangan ini aksi dari lobby industri otomotif Jepang yang telah menguasai pasar Indonesia puluhan tahun?
Mari kaji sisi logisnya
Jika pemerintah betul-betul menginisiasi proyek LCGC, mengapa seolah tutup mata dengan kemacetan yang ada di seluruh kota besar di Indonesia? LCGC memang jelas akan memperparah kemacetan yang saat ini merajai jalanan kita setiap harinya. Kalau mau logis, seharusnya masalah transportasi massal diselesaikan dulu dengan segera. Membuat moda transportasi massal seperti monorail atau light rail transit secara teori bisa diselesaikan dalam 2 hingga 5 tahun. Perusahaan yang memiliki kapasitas ini sudah banyak di dunia. Tanpa biaya APBN pun proyek seperti ini sangat menarik di mata investor. Jadi dalam kondisi tidak adanya kemauan pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah kemacetan, proyek LCGC ini nampak hanya akal-akalan pabrikan saja dalam menggenjot penjualannya.
Kemudian selama ini pemerintah selalu mengkampanyekan penghematan serta pengurangan subsidi BBM. Apakah LCGC harus ditenagai dengan bahan bakar mahal? Lantas kemana konsep “low cost”-nya? Kalau begitu mobil-mobil LCGC juga akan mengkonsumsi BBM bersubsidi. Lantas bagaimana relevansinya dengan kampanye penghematan BBM serta pengurangan subsidi yang dilakukan selama ini? Bukankah ini paradoks namanya?
Melihat konstelasi pasar dan kondisi perkotaan yang ada, jelas pabrikan lah yang paling diuntungkan. Indonesia pasar yang besar, apapun produknya akan terserap oleh pasar. Jika pasaran otomotif kita diguyur dengan suplai mobil LCGC, maka pabrikanlah yang akan menuai keuntungan paling besar. Apalagi LCGC ini dilengkapi dengan insentif dari pemerintah.
Kasarnya: mereka menjual barang yang tidak bisa dipakai kepada pasar yang sangat besar dengan fasilitas negara berupa pengurangan pajak.
Barang tidak bisa dipakai karena kemacetan yang luar biasa. Pasar tetap besar meskipun kemacetannya parah (itulah uniknya pasar kita). Dan yang paling penting adalah adanya pengurangan pajak, padahal harusnya pajak itu untuk rakyat juga. Artinya, kita sebagai pasar benar-benar dikibuli oleh pabrikan itu.
Bagaimana sebaiknya?
Menurut saya, kita tidak mungkin melarang pabrikan untuk tidak menjual produknya. Namun kita bisa meminta pemerintah untuk merevisi inisiatifnya dalam LCGC ini. Setidaknya menunda dulu hingga jalanan di kota-kota kita siap untuk menerimanya, hingga masyarakat memiliki alternatif dalam berkomuter setiap harinya. Sebab ini bukan sekedar jualan kendaraan biasa, tapi kendaraan yang proses pengadaannya melibatkan insentif-insentif istimewa untuk pabrikannya.
Selain itu pemerintah juga harus mengeluarkan insentif lainnya untuk memacu pabrikan lokal agar dapat bersaing di pasar. Industri otomotif sekarang tidak memungkinkan pemain muda masuk dan bersaing dengan posisi setara. Sebab pemain lama memiliki akar yang kokoh, terutama dari sisi resources. Tanpa pemicu dari pemerintah, maka pasar kita hanya akan menjadi perahan vendor-vendor luar negeri saja. Dan itu artinya devisa kita juga akan tetap banyak yang mengalir ke luar.
Kita tidak perlu anti dengan produk luar seperti mobil-mobil Jepang. Kebanyakan dari mobil tersebut diproduksi dan dirakit di dalam negeri, meskipun sebagian dari keuntungan lari ke pusatnya di Jepang sana. Begitulah bisnis berjalan. Siapa yang menanam, maka dialah yang akan menuai hasilnya. Jika belum bisa bersaing dengan setara, setidaknya kita harus tetap kritis. Jangan sampai kondisi kita dimanfaatkan oleh para industriawan rakus yang bekerja sama dengan para birokrat korup, sehingga rakyat yang akhirnya dieksploitasi.
Fathi
Dalam pengamatan saya, proyek aslinya adalah “proyek mobil murah”. Konsep “green” muncul belakangan sebagai feature yang ditambahkan kepada proyek mobil ini sehingga memiliki nilai tambah lain ketimbang sekedar jualan mobil. Jadi inti dari proyek ini sebetulnya adalah pencegahan larinya devisa ke luar negeri sebagai akibat serbuan impor mobil murah yang diperkirakan akan terjadi ketika AFTA mulai diberlakukan.
Karena ini adalah proyek penguasaan pasar mobil murah, maka dalam prosesnya sangat berbeda dengan konsep mobil nasional. LCGC ini adalah inisiatif pemerintah kepada pabrikan (manufaktur) lokal untuk memproduksi mobil jenis low-green dan menjualnya di dalam negeri, dilengkapi paket kebijakan tertentu.
Saya belum membaca apa saja yang masuk dalam insentif pemerintah terhadap proyek ini. Tapi saya menduga, salah satu di antaranya adalah keringanan pajak. Baik itu pajak importasi komponen (bea dan cukai), maupun pajak kendaraan (PPNBM/PPN Barang Mewah). Paket kebijakan seperti ini mutlak harus diberikan, untuk menjamin ke-low cost-an serta ke-green-an produk tersebut. Tanpa pengurangan pajak, belum tentu harga bisa ditekan. Tanpa pengurangan pajak, belum tentu skala produksi dapat mencapai nilai keekonomian sebelum kesalip produk impor.
Kabar baik bagi keluarga muda
Sebetulnya program mobil murah ini bisa menjadi kabar baik bagi keluarga-keluarga muda di Indonesia yang ingin memiliki mobil. Jika sebelumnya rata-rata harga mobil termurah berada di kisaran 150an juta (harga loan) dengan proyek ini menjadi hanya di kisaran 100an juta saja.
Dalam beberapa segi, kepemilikan kendaraan adalah parameter kualitas hidup masyarakat. Memiliki kendaraan berarti memiliki keuangan (pendapatan per bulan) yang mencukupi untuk membayar harga kendaraan tersebut. Setidaknya membayar cicilan loan-nya. Memiliki kendaraan berarti juga dapat bepergian dengan nyaman tanpa harus sakit karena angin, panas, maupun hujan. Hal seperti ini sangat krusial bagi keluarga yang memiliki anak kecil. Dengan demikian meningkatnya kepemilikan kendaraan (atau keinginan untuk memiliki kendaraan) sebetulnya adalah parameter yang baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Merupakan kabar yang baik jika di negara kita penjualan dan produksi kendaraan meningkat.
Masalah kemacetan
Pada dasarnya kepemilikan kendaraan bukanlah sebuah masalah. Yang membuat hal ini dilihat sebagai masalah adalah ketika setiap pengguna kendaraan menggunakan kendaraannya masing-masing untuk setiap perjalanannya sehari-hari. Pergi ke tempat kerja, belanja ke pasar, berangkat sekolah, semuanya menggunakan kendaraannya sendiri-sendiri. Akibatnya sebesar apapun akses jalan raya yang dibuat, tidak akan pernah cukup. Ini disebabkan tidak adanya sistem transportasi massal yang baik.
Transportasi massal mutlak diperlukan oleh setiap kota yang memiliki ratusan ribu hingga jutaan komuter setiap harinya. Komuter adalah aktivitas yang terprediksi segala sisinya, mulai dari jumlahnya, waktu-waktu peak-nya, rutenya, dsb. Mengimplementasi sistem komuter akan mengatasi banyak sekali problem kemacetan. Bagaimanapun membawa kendaraan sendiri membutuhkan perhatian khusus, mulai dari konsentrasi ketika menyetir, memikirkan ketersediaan bahan bakar, problem panas-banjir, hingga mencari lahan parkir. Jika ditambah dengan problem kemacetan, maka sesungguhnya aktivitas komuter (bolak-balik rutin) sangat tidak efisien jika membawa kendaraan sendiri.
Jika memang tersedia jaringan transportasi massal yang dapat diandalkan, maka semua orang akan meninggalkan kendaraannya di rumah dan berangkat dengan transportasi umum. Adalah tidak bijak jika kita menolak LCGC karena diprediksi menambah kemacetan. Apakah mobil selain LCGC tidak membuat kemacetan? Apakah hanya mobil mahal yang dibolehkan turun di jalanan?
Membengkakkan subsidi BBM?
Sebagian kalangan ada yang membidik pembengkakan subsidi BBM sebagai akibat peluncuran mobil-mobil LCGC. Barangkali kita perlu pertanyakan kembali, sebetulnya buat siapa sih subsidi BBM itu? Apakah hanya untuk mobil-mobil yang lebih mahal dari LCGC? Bahkan kita bisa mundur selangkah, benarkah BBM disubsidi pemerintah? Banyak yang menyangkal bahwa pemerintah mensubsidi BBM. Sebab istilah “subsidi BBM” ini ternyata mengacu kepada “kehilangan keuntungan dari penjualan BBM” ketimbang “nombok kelebihan harga BBM”. Katakanlah subsidi BBM itu memang ada, bukankah memang sudah kewajiban negara untuk menyediakan energi bagi rakyatnya? Oke kita percaya bahwa minyak kita sudah menipis. Lantas langkah apa yang harus diambil? Mengekang laju pergerakan rakyat dengan mengurangi peredaran BBM?
Kontroversi sesungguhnya
Dalam pandangan saya, masalah kemacetan dan pembengkakan subsidi BBM bukanlah kontroversi sesungguhnya dalam proyek LCGC ini. Kontroversi utamanya adalah, mengapa inisiatif proyek ini muncul ketika banyak industriawan lokal bergiat menciptakan mobil nasional (baik mobil BBM maupun mobil listrik)? Kompetensi lokal dalam memanufaktur mobil sudah tidak dipertanyakan lagi. ASTRA sudah puluhan tahun terjun dalam perakitan mobil berbagai merek. Industri karoseri mulai dari mobil biasa hingga bis sudah mampu merakit kendaraan dalam skala besar. Anak-anak bangsa berkemampuan reka-cipta mobil sudah banyak bertebaran di negara ini. Bahkan berbagai macam prototip siap produksi sudah banyak yang dihasilkan. Mengapa dalam kondisi seperti ini tiba-tiba muncul inisiatif LCGC yang (nyaris) keseluruhannya hanya mampu diproduksi oleh raksasa-raksasa Jepang?
Kondisi ini ibarat menelikung di tikungan. Anak-anak bangsa sedang bergerak maju, tiba-tiba ada raksasa dengan resources nyaris tak terbatas datang menghadang. Dengan konstelasi yang ada sekarang, saya sangat tidak yakin inisiatif LCGC betul-betul datang murni dari pemerintah. AFTA bisa direnegosiasi, bahkan produk lokal bisa diberi proteksi. Alasan serbuan produk impor jelas bisa dicegah. Secara vulgar ini nampak seperti ada orang-orang rakus yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Jangan-jangan ini aksi dari lobby industri otomotif Jepang yang telah menguasai pasar Indonesia puluhan tahun?
Mari kaji sisi logisnya
Jika pemerintah betul-betul menginisiasi proyek LCGC, mengapa seolah tutup mata dengan kemacetan yang ada di seluruh kota besar di Indonesia? LCGC memang jelas akan memperparah kemacetan yang saat ini merajai jalanan kita setiap harinya. Kalau mau logis, seharusnya masalah transportasi massal diselesaikan dulu dengan segera. Membuat moda transportasi massal seperti monorail atau light rail transit secara teori bisa diselesaikan dalam 2 hingga 5 tahun. Perusahaan yang memiliki kapasitas ini sudah banyak di dunia. Tanpa biaya APBN pun proyek seperti ini sangat menarik di mata investor. Jadi dalam kondisi tidak adanya kemauan pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah kemacetan, proyek LCGC ini nampak hanya akal-akalan pabrikan saja dalam menggenjot penjualannya.
Kemudian selama ini pemerintah selalu mengkampanyekan penghematan serta pengurangan subsidi BBM. Apakah LCGC harus ditenagai dengan bahan bakar mahal? Lantas kemana konsep “low cost”-nya? Kalau begitu mobil-mobil LCGC juga akan mengkonsumsi BBM bersubsidi. Lantas bagaimana relevansinya dengan kampanye penghematan BBM serta pengurangan subsidi yang dilakukan selama ini? Bukankah ini paradoks namanya?
Melihat konstelasi pasar dan kondisi perkotaan yang ada, jelas pabrikan lah yang paling diuntungkan. Indonesia pasar yang besar, apapun produknya akan terserap oleh pasar. Jika pasaran otomotif kita diguyur dengan suplai mobil LCGC, maka pabrikanlah yang akan menuai keuntungan paling besar. Apalagi LCGC ini dilengkapi dengan insentif dari pemerintah.
Kasarnya: mereka menjual barang yang tidak bisa dipakai kepada pasar yang sangat besar dengan fasilitas negara berupa pengurangan pajak.
Barang tidak bisa dipakai karena kemacetan yang luar biasa. Pasar tetap besar meskipun kemacetannya parah (itulah uniknya pasar kita). Dan yang paling penting adalah adanya pengurangan pajak, padahal harusnya pajak itu untuk rakyat juga. Artinya, kita sebagai pasar benar-benar dikibuli oleh pabrikan itu.
Bagaimana sebaiknya?
Menurut saya, kita tidak mungkin melarang pabrikan untuk tidak menjual produknya. Namun kita bisa meminta pemerintah untuk merevisi inisiatifnya dalam LCGC ini. Setidaknya menunda dulu hingga jalanan di kota-kota kita siap untuk menerimanya, hingga masyarakat memiliki alternatif dalam berkomuter setiap harinya. Sebab ini bukan sekedar jualan kendaraan biasa, tapi kendaraan yang proses pengadaannya melibatkan insentif-insentif istimewa untuk pabrikannya.
Selain itu pemerintah juga harus mengeluarkan insentif lainnya untuk memacu pabrikan lokal agar dapat bersaing di pasar. Industri otomotif sekarang tidak memungkinkan pemain muda masuk dan bersaing dengan posisi setara. Sebab pemain lama memiliki akar yang kokoh, terutama dari sisi resources. Tanpa pemicu dari pemerintah, maka pasar kita hanya akan menjadi perahan vendor-vendor luar negeri saja. Dan itu artinya devisa kita juga akan tetap banyak yang mengalir ke luar.
Kita tidak perlu anti dengan produk luar seperti mobil-mobil Jepang. Kebanyakan dari mobil tersebut diproduksi dan dirakit di dalam negeri, meskipun sebagian dari keuntungan lari ke pusatnya di Jepang sana. Begitulah bisnis berjalan. Siapa yang menanam, maka dialah yang akan menuai hasilnya. Jika belum bisa bersaing dengan setara, setidaknya kita harus tetap kritis. Jangan sampai kondisi kita dimanfaatkan oleh para industriawan rakus yang bekerja sama dengan para birokrat korup, sehingga rakyat yang akhirnya dieksploitasi.
Fathi