Ketika IM dan Hanya IM yang Boleh Dilecehkan -->

Ketika IM dan Hanya IM yang Boleh Dilecehkan

Zak
Senin, 16 September 2013
Islamedia - Tak ada seorangpun yang terkejut ketika penyiar TV Mesir menyela narasumbernya untuk mengumumkan dengan penuh semangat, bahwa rakyat Amerika mulai melakukan revolusi menentang Presiden Barack Obama. 

Tak seorangpun tertawa saat sebuah harian Mesir mengatakan bahwa Obama punya saudara tiri yang berperan sebagai penyandang dana Ikhwanul Muslimin Mesir. 

Tak ada seorangpun terbahak-bahak sewaktu media Mesir menyebarluaskan isu bahwa Obama sendiri ialah anggota Ikhwanul Muslimin.

Mereka yang berani menertawakan hal-hal tadi, melakukannya secara sembunyi-sembunyi, atau melalui tagar di Twitter.

Kita tidak melihat seorang penyiar mengangkat alisnya sebagai ekspresi sarkasme, ketika dia mendengar rumor bahwa saudara Obama diduga bertanggung jawab atas upaya percobaan pembunuhan terhadap Mendagri. 

Ketika sejumlah media Mesir menampilkan sosok yang mengaku-aku sebagai cucu Syaikh Sayyid Quthb dan membual soal konspirasi Ikhwanul Muslimin yang sedang dirancang, tak ada satupun yang menanggapi betul-betul dan isu itu berlalu begitu saja, padahal Sayyid Quthb itu tidak pernah menikah dan tak memiliki seorangpun anak.

Tak seorangpun tergelak tatkala Mohammed el-Baradei dituding sebagai pengkhianat negara dan mata-mata.

Di Mesir, tertawa memang tak bikin mati dan banyolan tidak dipaksakan. Tapi yang sedang terjadi ialah cuma Ikhwanul Muslimin sedang jadi bulan-bulanan pelecehan oleh media Mesir.

Lagu-lagu seperti: "Aku ingin Sisi jadi presidenku," jelas bukan bahan dari media, tapi sebuah pertanda adanya kampanye aktif untuk memasarkan syahwat-kuasa si menteri pertahanan. Ada manuver yang sedang berlangsung untuk menggubah menteri pertahanan itu menjadi seorang figur yang suci dan disucikan, yang tidak boleh dijamah siapapun, dan tak seorangpun diperbolehkan mengkritik otoritasnya, tak peduli betapapun kacaunya pelanggaran-pelanggaran yang ia perbuat.

Lompatan mundur
Pelecehan di Mesir ini agaknya cuma sah jika dilakukan terhadap Ikhwan.

Beberapa penyiar berita di-skors gara-gara mereka mengkritik pembantaian yang dilakukan rezim kudeta di Lapangan Rabia Al-Adawiya di Kairo. Sebab bagaimana mungkin mereka (penyiar yang masih bernurani itu) bersikap tidak peduli atas kampanye fitnah yang sedang berlangsung, sedangkan kebenarannya sedemikian terang benderang, bahwa sebagaian besar korban tewas ialah Ikhwan.

Ada yang menulis bahwa Sisi ibarat garis-merah (yang tidak boleh diganggu) dan atmosfir di masyarakat tidak mentoleransi adanya kritik, pelecehan, dan pelanggaran terhadap persatuan nasional. Inilah cara yang dilakukan tokoh-tokoh media dan para penulis Mesir sekarang-sekarang ini dalam tulisan-tulisan mereka. Kita membuka lembaran baru tiranisme atas nama agama (atau kita pikir begitu) dan kembali lagi membuat pernyataan bahwa tentara itu ialah sang pelindung, asal-muasal identitas kebangsaan, dan bintang terang patriotisme.

Kini di Mesir, penyensoran atas media dan kebebasan begitu merajalela, jauh lebih buruk dibanding pada masa Mursi. Ini adalah fakta yang tercermin dengan sendirinya oleh tindakan-tindakan rezim kudeta dan terdokumentasikan dalam laporan-laporan kelompok HAM internasional. Hal itu masih diperparah juga olah gelombang penghasutan, kebencian, dan kedangkalan intelektual yang mengenaskan.

Tidak ada pula Bassem Youssef yang biasanya menyoroti hal-hal tadi. Youssef, yang tak diragukan merupakan jagonya tuturan-tuturan ironi, kini tak bisa tampil lagi di layar kaca. Dan kalaupun bisa, tentunya dia segera dipenjara.

Keadaan Bassem Youssef yang lebih bebas selama era Morsi dibanding hari-hari ini, sudah merupakan pertanda nyata bahwa revolusi sedang sekarat, kalau memang belum benar-benar mati.

Diana Moukalled ialah Web Editor di Future Television berkedudukan di Libanon, dan sebelumnya pernah menjadi Manajer Program & Produksi di kanal televisi itu. Sebelum itu, dia bekerja sebagai Pemred, Produser dan Pembawa Acara 'Bilayan al Mujaradah', sebuah acara dokumenter yang meliput titik-titik 'panas' di kawasan Arab dan sekitarnya. Ia juga pernah menjadi koresponden berita perang, dan koresponden berita lokal. Kini dia mengasuh kolom tetap di AlSharq AlAwsat. Dia juga menulis untuk suratkabar Al-Hayat dan Majalah Al-Wasat, selain memproduksi liputan berita dan dokumenter bagi Reuters TV. Dia bisa dihubungi di Twitter @dianamoukalled

Terjemahan bebas dari artikel berjudul serupa di AlArabiya (11/9/2013).