Islamedia - Ramadhan lalu, ada iklan yang saya lihat ‘berbeda’. iklan itu sangat
mengusik nurani saya. Seorang pembantu diiming-imingi majikannya dengan
gaji 2 kali lipat dengan syarat tidak pulang kampung untuk menjaga ibu
si majikan, tapi dengan tegas, pembantu itu berkata, “Maaf ini bukan
soal uang, saya harus pulang. Mau merawat ibu saya yang sudah tua”.
Sangat mengusik nurani, karena alasan kesibukan, biaya, dan segala macam, kadang menahan kita untuk sekedar pulang menengok orang tua. Padahal, orang tua mana yang tak rindu dengan kedatangan anak cucunya? Apalagi di saat momen-momen istimewa dimana banyak saudara berkumpul, seperti saat lebaran.
Lalu, saat pulang kampung, saya bertemu dengan teman masa kecil, sebut saja Arif, yang sekarang sudah menjadi pengusaha cukup sukses di luar Jawa. Ternyata di kampung dia sedang membangun sebuah rumah tinggal. Terjadilah dialog singkat dengannya, “Rumah itu buat siapa, Rif?”
“Iya, aku lagi bangun gubug ini karena mau tinggal di sini, Ning. Mau nemenin Ibu, kasihan ibu sendirian” (ibunya memang sudah janda dan selama ini 3 anaknya memang merantau ke luar kota).
“Lho, terus bisnismu di Batam, bagaimana ntar?”
“Halah, Batam-Purworejo itu kan cuma 3 jam, lebih cepet dari pada kamu mudik Jakarta-Purworejo. Haha,” jawabnya diplomatis sambil bercanda.
Percakapan singkat itu, sangat membekas di hati saya. Jarang ada seorang anak, apalagi memiliki networking bisnis yang sudah mapan di suatu tempat, lalu mau mengalah untuk tinggal mendekati orang tuanya dalam rangka menemani hari tua mereka. Saya tahu, tentu karena di jaman canggih seperti saat ini, bisnis dapat dikendalikan dari mana saja. Ada sarana email, chatting, bahkan virtual conference. Tapi, meski begitu, toh tak semua orang mau dan berani mengambil keputusan yang Arif lakukan. Untuk itu, saya sangat salut padanya. Salut, sekaligus iri.
Terputar kembali ingatan dengan kondisi Bapak Ibu saya dulu, saat mereka masih ada, dan lalu semua anak setelah menikah merantau ke luar kota. Beruntung ada satu kakak yang lalu merelakan diri untuk ‘memindahkan’ kantornya dari Semarang ke Purworejo, dalam rangka bisa menemani Bapak dan Ibu. Sungguh saya sangat berterima kasih pada apa yang telah kakak lakukan ini, dan tentu pahala baginya dan keluarga mengalir deras. Terbayang jika semua anak Bapak-Ibu tidak ada yang mencoba mengalah, menemani orang tua di hari-hari tua mereka yang tentu mulai sering sakit-sakitan, apa jadinya? Sementara saya, juga anak-anak yang lain hanya bisa datang menjenguk secara berkala.
Ah, masygul dengan diri sendiri. Sering sekali kita ini bilang sayang pada ayah dan ibu. Tapi sayang yang bagaimana? Sayang yang lalu justru banyak merepotkan ayah dan ibu dengan permintaan atau keluhan ini itu dari kita? Meminta dimasakkan makanan kesukaan, meminta ayah atau ibu untuk pergi kesana-kemari mengurus urusan kita, bahkan mungkin meminta uang? Memang, orang tua, terutama ibu, tak pernah kuasa untuk menolak permintaan anak. Tapi apakah itu ekspresi sayang yang benar? Apakah itu ekspresi birrul walidain (berbakti pada orang tua) yang disarankan agama? Bukankah sayang itu mestinya terekspresikan dengan membantu kesulitannya baik materi maupun non materi, memasakkan makanannya, menemani hari-harinya, merawat di masa tuanya, dan seterusnya?Bukankah lekat dalam ingatan, seorang sahabat Nabi yang telah menggendong ibunya sejak dari rumah ke tanah suci untuk berhaji, hingga pulang lagi ke rumahnya, namun saat dia bertanya pada Rasul, “Apakah aku telah membalas jasa ibuku selama ini?” Maka tegas jawab Rasul, “Bahkan untuk satu helaan nafas saat sakitnya melahirkanmu pun, kamu belum mampu membalasnya”.
Jadi, masih pantaskah saya berkata, sayang pada ayah dan ibu sementara terlalu banyak yang saya minta dari mereka dulu, dan terlalu sedikit yang mampu saya baktikan pada mereka?
Rabbi, maafkan kealfaan hamba-Mu ini. Kasihilah mereka di sana, lapangkanlah alam kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu yang abadi…. seperti mereka telah mengasihiku, melapangkan dadaku, dan menerangi cahaya hatiku, sepanjang hidupku.
Muktia Farid
Sangat mengusik nurani, karena alasan kesibukan, biaya, dan segala macam, kadang menahan kita untuk sekedar pulang menengok orang tua. Padahal, orang tua mana yang tak rindu dengan kedatangan anak cucunya? Apalagi di saat momen-momen istimewa dimana banyak saudara berkumpul, seperti saat lebaran.
Lalu, saat pulang kampung, saya bertemu dengan teman masa kecil, sebut saja Arif, yang sekarang sudah menjadi pengusaha cukup sukses di luar Jawa. Ternyata di kampung dia sedang membangun sebuah rumah tinggal. Terjadilah dialog singkat dengannya, “Rumah itu buat siapa, Rif?”
“Iya, aku lagi bangun gubug ini karena mau tinggal di sini, Ning. Mau nemenin Ibu, kasihan ibu sendirian” (ibunya memang sudah janda dan selama ini 3 anaknya memang merantau ke luar kota).
“Lho, terus bisnismu di Batam, bagaimana ntar?”
“Halah, Batam-Purworejo itu kan cuma 3 jam, lebih cepet dari pada kamu mudik Jakarta-Purworejo. Haha,” jawabnya diplomatis sambil bercanda.
Percakapan singkat itu, sangat membekas di hati saya. Jarang ada seorang anak, apalagi memiliki networking bisnis yang sudah mapan di suatu tempat, lalu mau mengalah untuk tinggal mendekati orang tuanya dalam rangka menemani hari tua mereka. Saya tahu, tentu karena di jaman canggih seperti saat ini, bisnis dapat dikendalikan dari mana saja. Ada sarana email, chatting, bahkan virtual conference. Tapi, meski begitu, toh tak semua orang mau dan berani mengambil keputusan yang Arif lakukan. Untuk itu, saya sangat salut padanya. Salut, sekaligus iri.
Terputar kembali ingatan dengan kondisi Bapak Ibu saya dulu, saat mereka masih ada, dan lalu semua anak setelah menikah merantau ke luar kota. Beruntung ada satu kakak yang lalu merelakan diri untuk ‘memindahkan’ kantornya dari Semarang ke Purworejo, dalam rangka bisa menemani Bapak dan Ibu. Sungguh saya sangat berterima kasih pada apa yang telah kakak lakukan ini, dan tentu pahala baginya dan keluarga mengalir deras. Terbayang jika semua anak Bapak-Ibu tidak ada yang mencoba mengalah, menemani orang tua di hari-hari tua mereka yang tentu mulai sering sakit-sakitan, apa jadinya? Sementara saya, juga anak-anak yang lain hanya bisa datang menjenguk secara berkala.
Ah, masygul dengan diri sendiri. Sering sekali kita ini bilang sayang pada ayah dan ibu. Tapi sayang yang bagaimana? Sayang yang lalu justru banyak merepotkan ayah dan ibu dengan permintaan atau keluhan ini itu dari kita? Meminta dimasakkan makanan kesukaan, meminta ayah atau ibu untuk pergi kesana-kemari mengurus urusan kita, bahkan mungkin meminta uang? Memang, orang tua, terutama ibu, tak pernah kuasa untuk menolak permintaan anak. Tapi apakah itu ekspresi sayang yang benar? Apakah itu ekspresi birrul walidain (berbakti pada orang tua) yang disarankan agama? Bukankah sayang itu mestinya terekspresikan dengan membantu kesulitannya baik materi maupun non materi, memasakkan makanannya, menemani hari-harinya, merawat di masa tuanya, dan seterusnya?Bukankah lekat dalam ingatan, seorang sahabat Nabi yang telah menggendong ibunya sejak dari rumah ke tanah suci untuk berhaji, hingga pulang lagi ke rumahnya, namun saat dia bertanya pada Rasul, “Apakah aku telah membalas jasa ibuku selama ini?” Maka tegas jawab Rasul, “Bahkan untuk satu helaan nafas saat sakitnya melahirkanmu pun, kamu belum mampu membalasnya”.
Jadi, masih pantaskah saya berkata, sayang pada ayah dan ibu sementara terlalu banyak yang saya minta dari mereka dulu, dan terlalu sedikit yang mampu saya baktikan pada mereka?
Rabbi, maafkan kealfaan hamba-Mu ini. Kasihilah mereka di sana, lapangkanlah alam kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu yang abadi…. seperti mereka telah mengasihiku, melapangkan dadaku, dan menerangi cahaya hatiku, sepanjang hidupku.
Muktia Farid