Islamedia - Militer dan polisi Mesir membakar berbagai tempat di mana jenazah berada, baik itu di masjid, rumah sakit, rumah jenazah.
Keluarga yang hendak mengenali dan mengambil jenazah kerabatnya juga dikepung dan diserang tembakan. Mereka diintimidasi untuk mau menandatangani sertifikat yang menyatakan jenazah korban pembantaian itu ialah korban "bunuh diri". Prosesi pemakaman pun tidak aman karena mendapat serangan. Terbaru, aparat rezim junta militer membunuh sebanyak 38 tahanan dengan gas beracun di dalam mobil. Tindakan-tindakan yang jauh dari peri kemanusiaan tadi, menurut Ganjar Widhiyoga, Kandidat Doktor Bidang Politik di University of Newcastle, termasuk tindakan dehumanisasi.
"Status sebagai anggota IM, pro-Mursi, anti-kudeta, anti-militer adalah status yang mengalami de-humanisasi di Mesir sekarang," kata Ganjar sebagaimana termuat dalam akun Facebooknya pada Senin (19/8).
Pria yang juga Dosen Hubungan Internasional UNS Solo tersebut menjelaskan de-humanisasi sebagai proses menggambarkan pihak lawan sebagai sesuatu yang bukan manusia.
"Sehingga apa yang tidak pantas dilakukan kepada manusia, seperti menghinakan, melukai, dan membunuh, jadi dianggap sah dilakukan kepada pihak lawan, 'karena mereka bukan manusia'," urai Ganjar.
Lebih lanjut Ganjar menerangkan bahwa de-humanisasi kadang tidak secara eksplisit menyebut lawan ebagai "bukan manusia", tapi sering menempelkan status yang identik dengan "bukan manusia."
Terlibat intens dalam mengamati perkembangan mutakhir di Mesir, ia menyimpulkan bahwa bukan hanya militer dan polisi yang berperilaku rendah, karena mereka yang mengklaim liberal pun merendahkan anggota IM, pro-Mursi, anti-kudeta, anti-militer.
"Wacana de-humanisasi ini disebarkan tiap hari oleh media lokal Mesir. Juga via Facebook dan Twitter," tulisnya.
"Orang boleh berdebat tentang kebijakan Mursi; sepakat atau tidak dengan pemerintahannya. Tapi melakukan de-humanisasi merupakan perbuatan biadab," lanjut Ganjar.
Penggiat organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena itu juga mengingatkan bahwa tragedi di Mesir setara dengan tragedi Tiananmen.
"Di saat seperti ini, harusnya rasa kemanusiaan yang bicara. bukan menampik tragedi. Apalagi jika menampik tragedi karena merasa berbeda haluan politik dengan korban. Yang demikian itu kemanusiaannya tidak utuh, kemanusiaanya telah terbelah," pungkasnya. [im]
Keluarga yang hendak mengenali dan mengambil jenazah kerabatnya juga dikepung dan diserang tembakan. Mereka diintimidasi untuk mau menandatangani sertifikat yang menyatakan jenazah korban pembantaian itu ialah korban "bunuh diri". Prosesi pemakaman pun tidak aman karena mendapat serangan. Terbaru, aparat rezim junta militer membunuh sebanyak 38 tahanan dengan gas beracun di dalam mobil. Tindakan-tindakan yang jauh dari peri kemanusiaan tadi, menurut Ganjar Widhiyoga, Kandidat Doktor Bidang Politik di University of Newcastle, termasuk tindakan dehumanisasi.
"Status sebagai anggota IM, pro-Mursi, anti-kudeta, anti-militer adalah status yang mengalami de-humanisasi di Mesir sekarang," kata Ganjar sebagaimana termuat dalam akun Facebooknya pada Senin (19/8).
Pria yang juga Dosen Hubungan Internasional UNS Solo tersebut menjelaskan de-humanisasi sebagai proses menggambarkan pihak lawan sebagai sesuatu yang bukan manusia.
"Sehingga apa yang tidak pantas dilakukan kepada manusia, seperti menghinakan, melukai, dan membunuh, jadi dianggap sah dilakukan kepada pihak lawan, 'karena mereka bukan manusia'," urai Ganjar.
Lebih lanjut Ganjar menerangkan bahwa de-humanisasi kadang tidak secara eksplisit menyebut lawan ebagai "bukan manusia", tapi sering menempelkan status yang identik dengan "bukan manusia."
Terlibat intens dalam mengamati perkembangan mutakhir di Mesir, ia menyimpulkan bahwa bukan hanya militer dan polisi yang berperilaku rendah, karena mereka yang mengklaim liberal pun merendahkan anggota IM, pro-Mursi, anti-kudeta, anti-militer.
"Wacana de-humanisasi ini disebarkan tiap hari oleh media lokal Mesir. Juga via Facebook dan Twitter," tulisnya.
"Orang boleh berdebat tentang kebijakan Mursi; sepakat atau tidak dengan pemerintahannya. Tapi melakukan de-humanisasi merupakan perbuatan biadab," lanjut Ganjar.
Penggiat organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena itu juga mengingatkan bahwa tragedi di Mesir setara dengan tragedi Tiananmen.
"Di saat seperti ini, harusnya rasa kemanusiaan yang bicara. bukan menampik tragedi. Apalagi jika menampik tragedi karena merasa berbeda haluan politik dengan korban. Yang demikian itu kemanusiaannya tidak utuh, kemanusiaanya telah terbelah," pungkasnya. [im]