Islamedia - Wuih...
Sesampainya di rumah banyak nuansa yang berubah. Berbeda dari kepulangan sebelumnya yang terbilang berbulan lalu. Termasuk perubahan tinggi badan pada adik-adik yang terang membuat jealous berton-ton beratnya, hehe. Bayangpun, adik yang masih SMP sudah mengalahkanku dalam hal tinggi badannya. Jangan ditanyakan bagaimana sakit hatinya (haha, lebai).
Nah, termasuk perubahan mendasar ada di kamar sang adik yang tengah meremaja. Di sekeliling dinding kamarnya tertempel wajah-wajah pria yang tak bisa tidak bukannya ganteng tapi malah cantik (ups). Itu loh, mereka mereka para bintang Korea yang tergabung dalam boyband entah Exo, Suju, Shinee, dkk. Cantik karena mukanya halus, kulitnya mulus, klimis dan rapi rambutnya, putih pula. Cewek-cewek bahkan kalah jauh dari mereka, hehe. Di sebelah kiri terpampang lengkap personel Exxo per orangnya. Jika dulu di zaman saya SD gambar di dinding adalah gambar pahlawan, maka sekarang di dinding adik gambar Exo yang total ada 12 kepala.
Polah adik satu ini terang membuat ibu geleng-geleng kepala. Hari-hari adik tak lepas dari Hape yang digunakannya untuk bertwit ria tentang boyband itu. Benar saja, akun Twitter adik full dari nama, foto profil, hingga backgroundnya gambar boyband idolanya. Si Ready pun kena imbas menjadi media dia untuk menonton video hingga pernik acara lainnya dari Exo via Youtube. Lagu, nama dan karakter personel, semua dihapalnya lengkap. Gaya gerak tari mereka pun sering adik praktikkan.
Ya, zaman telah berubah. Dengan teknologi yang melesat perkembangannya sedemikian rupa, bagi saya wajar jika adik atau bahkan kita sendiri mengalami demam yang sama, demam Korea. Namun, taraf ngefans adik masih saya kategorikan sebagai lumrah. Jika level akut yang saya deskripsikan dari demam Korea seperti halnya penggemar yang menjadikan aksi mengumpulkan segala macam baik info, pernik, dll si boyband favorit, hingga membeli tiket konser yang harganya lumayan. Atau ciri akut yang lain seperti rela menonton film Korea yang puanjangnya berseri-seri dalam waktu satu hari satu malam non stop. Hem, itu sudah tak wajar, berlebihan.
Langsung menyuruhnya untuk menghentikan kesukaannya pada hal itu bisa dan mungkin saja dilakukan oleh kita, orang dewasa di sekitarnya. Namun, hal itu tidak akan berdampak baik baginya maupun kita. Berontak, jelas. Bisa saja menurut, tapi efek pembelajarannya tidak ada. Yang bisa dilakukan salah satunya adalah dengan berdiskusi dengan sang adik. Memahamkan kenapa kita kerap melarang dan menceritakan manfaat dan kemudharatan aksi demamnya itu bisa menjadi hal yang baik dilakukan.
Esensinya, aktivitas demamnya tidak baik jika mengganggu aktivitas ibadahnya, itu hal pertama yang mesti dilandaskan. Solat terlambat, tilawah kian menyurut, hapalan semakin sedikit, waktu belajar terpotong, hingga membantu ibu menjadi jarang. Nah, hal-hal esensial itu bisa menjadi ajang adik untuk memikirkan dan mengomparasikannya. Di samping itu, sensitifitas akan dunia selain dunia Koreanya perlu juga distimulus. Misal, tentang Mesir, dll. Juga, salah satu yang menjadikan demam adik mengarah ke Korea adalah karena input yang dia dapat mengenai tokoh dan pahlawan Islam itu kurang. Walhasil, memang benar media mengalahkan kita dalam hal ini. Tak heran, muda-mudi tanah air bahkan dunia berpaling kepada tren media termasuk dalam hal tokoh idola.
Selain itu, saya mengajak adik untuk juga memikirkan apa yang membuat boyband ataupun Korea itu sekarang sedemikian tenar. Kehebatan mereka dalam menghegemoni dunia melalui musik dan filmnya memang layak kita acungi jempol, kita akui. Akan tetapi, bukan hal itu menjadikan kita penggemar pasif mereka yang hanya menonton. Namun kita mesti mengambil apa-apa pembelajaran dari kecemerlangan mereka dalam hal itu. Saya bahkan menantang adik untuk juga menguasai bahasa Korea. Ya, setidaknya itu menjadi langkah awal agar dia tak hanya menjadi penggemar pasif belaka.
Demikianlah. Mengkomunikasikan dan mencoba mengarahkan hingga merubah sesuatu atau seseorang memang tidak mudah. Di situlah tantangannya. Saya tidak sedikitpun menyalahkan adik yang tengah demam demikian. Saya lebih memilih berdiskusi dengannya, menyelami dunia yang disukainya sembari memberikan beberapa pertimbangan dan arahan. Bukan ketakutan yang ingin dimilikinya hingga ia berhenti demam akan tetapi kesadaran yang lebih diutamakan muncul dari adik tersayang.
Sofistika Carevy Ediwindra
Sesampainya di rumah banyak nuansa yang berubah. Berbeda dari kepulangan sebelumnya yang terbilang berbulan lalu. Termasuk perubahan tinggi badan pada adik-adik yang terang membuat jealous berton-ton beratnya, hehe. Bayangpun, adik yang masih SMP sudah mengalahkanku dalam hal tinggi badannya. Jangan ditanyakan bagaimana sakit hatinya (haha, lebai).
Nah, termasuk perubahan mendasar ada di kamar sang adik yang tengah meremaja. Di sekeliling dinding kamarnya tertempel wajah-wajah pria yang tak bisa tidak bukannya ganteng tapi malah cantik (ups). Itu loh, mereka mereka para bintang Korea yang tergabung dalam boyband entah Exo, Suju, Shinee, dkk. Cantik karena mukanya halus, kulitnya mulus, klimis dan rapi rambutnya, putih pula. Cewek-cewek bahkan kalah jauh dari mereka, hehe. Di sebelah kiri terpampang lengkap personel Exxo per orangnya. Jika dulu di zaman saya SD gambar di dinding adalah gambar pahlawan, maka sekarang di dinding adik gambar Exo yang total ada 12 kepala.
Polah adik satu ini terang membuat ibu geleng-geleng kepala. Hari-hari adik tak lepas dari Hape yang digunakannya untuk bertwit ria tentang boyband itu. Benar saja, akun Twitter adik full dari nama, foto profil, hingga backgroundnya gambar boyband idolanya. Si Ready pun kena imbas menjadi media dia untuk menonton video hingga pernik acara lainnya dari Exo via Youtube. Lagu, nama dan karakter personel, semua dihapalnya lengkap. Gaya gerak tari mereka pun sering adik praktikkan.
Ya, zaman telah berubah. Dengan teknologi yang melesat perkembangannya sedemikian rupa, bagi saya wajar jika adik atau bahkan kita sendiri mengalami demam yang sama, demam Korea. Namun, taraf ngefans adik masih saya kategorikan sebagai lumrah. Jika level akut yang saya deskripsikan dari demam Korea seperti halnya penggemar yang menjadikan aksi mengumpulkan segala macam baik info, pernik, dll si boyband favorit, hingga membeli tiket konser yang harganya lumayan. Atau ciri akut yang lain seperti rela menonton film Korea yang puanjangnya berseri-seri dalam waktu satu hari satu malam non stop. Hem, itu sudah tak wajar, berlebihan.
Langsung menyuruhnya untuk menghentikan kesukaannya pada hal itu bisa dan mungkin saja dilakukan oleh kita, orang dewasa di sekitarnya. Namun, hal itu tidak akan berdampak baik baginya maupun kita. Berontak, jelas. Bisa saja menurut, tapi efek pembelajarannya tidak ada. Yang bisa dilakukan salah satunya adalah dengan berdiskusi dengan sang adik. Memahamkan kenapa kita kerap melarang dan menceritakan manfaat dan kemudharatan aksi demamnya itu bisa menjadi hal yang baik dilakukan.
Esensinya, aktivitas demamnya tidak baik jika mengganggu aktivitas ibadahnya, itu hal pertama yang mesti dilandaskan. Solat terlambat, tilawah kian menyurut, hapalan semakin sedikit, waktu belajar terpotong, hingga membantu ibu menjadi jarang. Nah, hal-hal esensial itu bisa menjadi ajang adik untuk memikirkan dan mengomparasikannya. Di samping itu, sensitifitas akan dunia selain dunia Koreanya perlu juga distimulus. Misal, tentang Mesir, dll. Juga, salah satu yang menjadikan demam adik mengarah ke Korea adalah karena input yang dia dapat mengenai tokoh dan pahlawan Islam itu kurang. Walhasil, memang benar media mengalahkan kita dalam hal ini. Tak heran, muda-mudi tanah air bahkan dunia berpaling kepada tren media termasuk dalam hal tokoh idola.
Selain itu, saya mengajak adik untuk juga memikirkan apa yang membuat boyband ataupun Korea itu sekarang sedemikian tenar. Kehebatan mereka dalam menghegemoni dunia melalui musik dan filmnya memang layak kita acungi jempol, kita akui. Akan tetapi, bukan hal itu menjadikan kita penggemar pasif mereka yang hanya menonton. Namun kita mesti mengambil apa-apa pembelajaran dari kecemerlangan mereka dalam hal itu. Saya bahkan menantang adik untuk juga menguasai bahasa Korea. Ya, setidaknya itu menjadi langkah awal agar dia tak hanya menjadi penggemar pasif belaka.
Demikianlah. Mengkomunikasikan dan mencoba mengarahkan hingga merubah sesuatu atau seseorang memang tidak mudah. Di situlah tantangannya. Saya tidak sedikitpun menyalahkan adik yang tengah demam demikian. Saya lebih memilih berdiskusi dengannya, menyelami dunia yang disukainya sembari memberikan beberapa pertimbangan dan arahan. Bukan ketakutan yang ingin dimilikinya hingga ia berhenti demam akan tetapi kesadaran yang lebih diutamakan muncul dari adik tersayang.
Sofistika Carevy Ediwindra