Islam edia - Pro kontra tentang demokrasi dan Islam terus bergulir ditengah umat, apalagi menjelang pemilu. Bagaimana Islam mensikapi De...
Islamedia - Pro kontra tentang demokrasi dan Islam terus bergulir ditengah umat, apalagi menjelang pemilu. Bagaimana Islam mensikapi Demokrasi ? Sejauhmana demokrasi bisa dijadikan alat perjuangan untuk penegakan syariah Islam ? Masalah ini akan dijelaskan Ustadz Muhammad Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini yang dikutip dari situs hti.or.id :
Menurut Ustadz, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap Demokrasi?
Harus diakui, demokrasi kini telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Ini karena hampir semua negara, termasuk negeri – negeri muslim semenjak runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Tapi penerimaan dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila kita ringkas, kiranya ada tiga kelompok sikap. Pertama, yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima ajaran demokrasi, bahkan mereka mengatakan Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua, pandangan yang menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sementara kelompok ketiga mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tapi Islam bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang Islami. Perbedaan ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam menyikapi demokrasi mestinya kita harus kembali kepada inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat dimana makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat hukum. Dari sini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat.
Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Bila kita telaah sungguh-sungguh nyata sekali bahwa musyawarah bukanlah satu-satunya jalan pengambilan keputusan. Dalam masalah tasyri’ (penetapan hukum), keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al Quran dan As Sunnah atau ijtihad. Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan suatu perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang dimana mereka harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau di luar kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib atau tidak.
Salah satu unsur penting dari demokrasi adalah pemilu. Bagaimana sikap HT sendiri terhadap pemilu, Ustadz?
Memang di dalam Islam juga ada pemilu, yakni untuk pemilihan kepala negara atau khalifah dan pemilihan wakil rakyat dalam majelis ummat. Sesuai dengan prinsip bahwa kekuasaan di tangan rakyat (al-sultotu lil ummah), maka khalifah dipilih umat. Tidak seorang pun bisa menjadi seorang khalifah kecuali jika dipilih dan dibaiat oleh umat. Baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan (thariqah in’iqadz) dalam sistem khilafah. Adapun metode pemilihan (uslub intikhab) khalifah bisa dilakukan melalui pemilihan langsung (one man one vote), bisa juga melalui ahl al-halli wa al-aqd atau majelis umat yang menjadi perwakilan dari umat.
Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan (wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariat Islam adalah mubah. Sementara keabsahan wakalah itu tergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna, maka wakalah tersebut juga sah, dan jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi, maka tidak sah. Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul, dua orang yang melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan (al umuur al muawakkal biha), serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam Bila semua rukun terpenuhi, maka yang akan menentukan kemudian apakah wakalah ini Islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila yang dilakukan oleh wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam, maka ini adalah wakalah Islami. Tapi bila sebaliknya, tentu tidak Islam dan harus ditolak.
Bila pandangan Islam terhadap Demokrasi seperti itu, menurut Ustadz, apakah Demokrasi bisa dijadikan jalan perjuangan menegakkan syariah Islam? Seperti apa peluang dan gambarannya?
Bisa, asal seseorang yang berjuang untuk tegaknya syariah melalui jalan itu memenuhi syarat dan ketentuan, yaitu, a). Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang akan berjuang untuk menjalankan fungsi muhasabah. Bukan legislasi. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler; b) Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam, dan membebaskan negeri ini dari pengaruh dan dominasi negara asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, c) Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam. d) Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.
Kalau Demokrasi dijadikan jalan perjuangan penegakan syariah, adakah bahaya yang bisa muncul? Kalau ada seperti apa bahaya itu?
Masuknya seorang muslim yang bertaqwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekuler ini akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketikat mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyiir), menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan kebobrokan sistem sekuler itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan menjadi bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen justru akan digunakan pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekuler sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyiir), bahwa mereka juga muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut; c) Mereka akan menimpakan tanggungjawab kerusakan dan kedzaliman yang lahir dari sistem sekuler itu kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggungjawab adalah kaum sekuler saja. d) Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak, dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?
Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suaranya dalam pemilu lalu jauh di bawah partai sekuler. Sehingga kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariat Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup matinya tergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Juga, wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan dzalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.
Ada anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat atau strategi untuk perjuangan penegakan syariah, bagaimana Ustadz menilai anggapan ini?
Jika yang dimaksud dengan penerapan syariat itu adalah penerapan syariat secara parsial, hal itu sudah bisa diwujudkan. Misalnya adanya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya. Tapi bila yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam secara kaffah tentu ini belum terwujud. Mengapa? Karena partai politik yang mengikuti pemilu harus mengakui, tunduk, dan terikat dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagian orang beranggapan, bila sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, di mana pemenang pemilu selain berhak membentuk pemerintahan juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariat Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis, tapi faktanya pemerintahan sekuler yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina membuktikan hal itu.
Selama ini HT selalu mengkritisi dan menolak demokrasi, tapi ada sebagian orang yang menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi. Karena dengan demokrasi HT leluasa mengkampanyekan ide-idenya. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Pertama, harus dipahami bahwa sebagai bagian dari warga negara ini, anggota HT mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan. Karenanya, bila sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekuler, termasuk demokrasi itu sendiri.
Ada anggapan, karena Demokrasi sudah mendunia dan diadopsi oleh hampir semua negara, maka perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan Demokrasi itu. Muncul pertanyaan, kalau tidak dengan Demokrasi lalu dengan apa? Bagaimana Ustadz menanggapi anggapan dan pertanyaan itu?
Memang ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham tapi sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi. Persis seperti pertanyaan tadi, bila tidak melalui cara demokrasi lantas menggunakan apa?
Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah. Ini metode perjuangan yang Islami, dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.
Ustadz, sebagian orang memandang bahwa perjuangan melalui Demokrasi akan lebih cepat mencapai hasil, sementara perjuangan penerapan syariah melalui penegakan Khilafah jelas membutuhkan waktu yang panjang, bagaimana tanggapan Ustadz?
Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya beberapa bulan. Tapi karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Maka tak heran, bila upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50 tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu sepanjang ini.
Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Tapi fase ini tidak mungkin terjadi, bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Dan setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Bila perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan metode atau thariqah yang dicontohkan oleh Rasulullah sejak negeri ini merdeka, Insha Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang ini.
Ada pandangan, dengan tidak ikutnya HTI dalam pemilu itu merupakan penggembosan (tikaman) terhadap perjuangan politik umat?
HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalu kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah terlahir ribuan kader dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu memungkinkan adanya tuntutan dari umat untuk terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi bagaimana bisa HTI dituduh melakukan penggembosan perjuangan politik umat?
Juga ada pandangan bahwa kalau HTI tidak terlibat dalam pemilu, berarti hanya menjadi penonton?
Salah besar. Tudingan semacam ini baru benar bila HTI memang tidak melakukan apa-apa. Padahal, faktanya HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan umat melalui berbagai cara (uslub) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru tanah air. Ribuan forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang dikeluarkan oleh HTI baik berupa buletin jumat al Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar, al Waie, Media Umat, makalah dan sebagainya yang tersebar dibaca dan dikaji oleh umat. Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan tanggungjawabnya sebagai muslim. Dan kesadaran itu berpengaruh besar pada aspek ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran mereka dalam perjuangan ini. Disamping itu, HTI juga sangat aktif melakukan kritik dan koreksi terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’, serta mengungkap konspirasi asing —yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah— di negeri ini dan negeri di dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu, bagaimana bisa HTI disebut hanya sebagai penonton?
Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam pemilu?
HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak didukung. HTI hanya menyebut kriteria dan syarat-syarat, yang kalau dipenuhi oleh calon legislatif, maka dia boleh dipilih, yakni: a) Pencalonannya didasarkan pada ajaran Islam yang dilakukan melalui partai politik berasas Islam di mana asas itu harus tercermin dalam fikrah yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan pendidikan. Semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan mudah bisa mempelajarinya. Juga harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam kehidupan berpartainya sehari-hari, dalam konteks hubungannya dengan anggota dan dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan. b) Tujuannya adalah untuk melakukan fungsi fungsi muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah. c) Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu.
[hti.or.id]
Menurut Ustadz, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap Demokrasi?
Harus diakui, demokrasi kini telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Ini karena hampir semua negara, termasuk negeri – negeri muslim semenjak runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Tapi penerimaan dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila kita ringkas, kiranya ada tiga kelompok sikap. Pertama, yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima ajaran demokrasi, bahkan mereka mengatakan Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua, pandangan yang menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sementara kelompok ketiga mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tapi Islam bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang Islami. Perbedaan ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam menyikapi demokrasi mestinya kita harus kembali kepada inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat dimana makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat hukum. Dari sini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat.
Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Bila kita telaah sungguh-sungguh nyata sekali bahwa musyawarah bukanlah satu-satunya jalan pengambilan keputusan. Dalam masalah tasyri’ (penetapan hukum), keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al Quran dan As Sunnah atau ijtihad. Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan suatu perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang dimana mereka harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau di luar kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib atau tidak.
Salah satu unsur penting dari demokrasi adalah pemilu. Bagaimana sikap HT sendiri terhadap pemilu, Ustadz?
Memang di dalam Islam juga ada pemilu, yakni untuk pemilihan kepala negara atau khalifah dan pemilihan wakil rakyat dalam majelis ummat. Sesuai dengan prinsip bahwa kekuasaan di tangan rakyat (al-sultotu lil ummah), maka khalifah dipilih umat. Tidak seorang pun bisa menjadi seorang khalifah kecuali jika dipilih dan dibaiat oleh umat. Baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan (thariqah in’iqadz) dalam sistem khilafah. Adapun metode pemilihan (uslub intikhab) khalifah bisa dilakukan melalui pemilihan langsung (one man one vote), bisa juga melalui ahl al-halli wa al-aqd atau majelis umat yang menjadi perwakilan dari umat.
Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan (wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariat Islam adalah mubah. Sementara keabsahan wakalah itu tergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna, maka wakalah tersebut juga sah, dan jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi, maka tidak sah. Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul, dua orang yang melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan (al umuur al muawakkal biha), serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam Bila semua rukun terpenuhi, maka yang akan menentukan kemudian apakah wakalah ini Islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila yang dilakukan oleh wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam, maka ini adalah wakalah Islami. Tapi bila sebaliknya, tentu tidak Islam dan harus ditolak.
Bila pandangan Islam terhadap Demokrasi seperti itu, menurut Ustadz, apakah Demokrasi bisa dijadikan jalan perjuangan menegakkan syariah Islam? Seperti apa peluang dan gambarannya?
Bisa, asal seseorang yang berjuang untuk tegaknya syariah melalui jalan itu memenuhi syarat dan ketentuan, yaitu, a). Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang akan berjuang untuk menjalankan fungsi muhasabah. Bukan legislasi. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler; b) Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam, dan membebaskan negeri ini dari pengaruh dan dominasi negara asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, c) Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam. d) Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.
Kalau Demokrasi dijadikan jalan perjuangan penegakan syariah, adakah bahaya yang bisa muncul? Kalau ada seperti apa bahaya itu?
Masuknya seorang muslim yang bertaqwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekuler ini akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketikat mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyiir), menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan kebobrokan sistem sekuler itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan menjadi bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen justru akan digunakan pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekuler sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyiir), bahwa mereka juga muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut; c) Mereka akan menimpakan tanggungjawab kerusakan dan kedzaliman yang lahir dari sistem sekuler itu kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggungjawab adalah kaum sekuler saja. d) Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak, dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?
Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suaranya dalam pemilu lalu jauh di bawah partai sekuler. Sehingga kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariat Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup matinya tergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Juga, wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan dzalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.
Ada anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat atau strategi untuk perjuangan penegakan syariah, bagaimana Ustadz menilai anggapan ini?
Jika yang dimaksud dengan penerapan syariat itu adalah penerapan syariat secara parsial, hal itu sudah bisa diwujudkan. Misalnya adanya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya. Tapi bila yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam secara kaffah tentu ini belum terwujud. Mengapa? Karena partai politik yang mengikuti pemilu harus mengakui, tunduk, dan terikat dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagian orang beranggapan, bila sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, di mana pemenang pemilu selain berhak membentuk pemerintahan juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariat Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis, tapi faktanya pemerintahan sekuler yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina membuktikan hal itu.
Selama ini HT selalu mengkritisi dan menolak demokrasi, tapi ada sebagian orang yang menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi. Karena dengan demokrasi HT leluasa mengkampanyekan ide-idenya. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Pertama, harus dipahami bahwa sebagai bagian dari warga negara ini, anggota HT mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan. Karenanya, bila sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekuler, termasuk demokrasi itu sendiri.
Ada anggapan, karena Demokrasi sudah mendunia dan diadopsi oleh hampir semua negara, maka perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan Demokrasi itu. Muncul pertanyaan, kalau tidak dengan Demokrasi lalu dengan apa? Bagaimana Ustadz menanggapi anggapan dan pertanyaan itu?
Memang ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham tapi sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi. Persis seperti pertanyaan tadi, bila tidak melalui cara demokrasi lantas menggunakan apa?
Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah. Ini metode perjuangan yang Islami, dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.
Ustadz, sebagian orang memandang bahwa perjuangan melalui Demokrasi akan lebih cepat mencapai hasil, sementara perjuangan penerapan syariah melalui penegakan Khilafah jelas membutuhkan waktu yang panjang, bagaimana tanggapan Ustadz?
Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya beberapa bulan. Tapi karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Maka tak heran, bila upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50 tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu sepanjang ini.
Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Tapi fase ini tidak mungkin terjadi, bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Dan setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Bila perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan metode atau thariqah yang dicontohkan oleh Rasulullah sejak negeri ini merdeka, Insha Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang ini.
Ada pandangan, dengan tidak ikutnya HTI dalam pemilu itu merupakan penggembosan (tikaman) terhadap perjuangan politik umat?
HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalu kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah terlahir ribuan kader dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu memungkinkan adanya tuntutan dari umat untuk terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi bagaimana bisa HTI dituduh melakukan penggembosan perjuangan politik umat?
Juga ada pandangan bahwa kalau HTI tidak terlibat dalam pemilu, berarti hanya menjadi penonton?
Salah besar. Tudingan semacam ini baru benar bila HTI memang tidak melakukan apa-apa. Padahal, faktanya HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan umat melalui berbagai cara (uslub) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru tanah air. Ribuan forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang dikeluarkan oleh HTI baik berupa buletin jumat al Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar, al Waie, Media Umat, makalah dan sebagainya yang tersebar dibaca dan dikaji oleh umat. Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan tanggungjawabnya sebagai muslim. Dan kesadaran itu berpengaruh besar pada aspek ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran mereka dalam perjuangan ini. Disamping itu, HTI juga sangat aktif melakukan kritik dan koreksi terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’, serta mengungkap konspirasi asing —yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah— di negeri ini dan negeri di dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu, bagaimana bisa HTI disebut hanya sebagai penonton?
Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam pemilu?
HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak didukung. HTI hanya menyebut kriteria dan syarat-syarat, yang kalau dipenuhi oleh calon legislatif, maka dia boleh dipilih, yakni: a) Pencalonannya didasarkan pada ajaran Islam yang dilakukan melalui partai politik berasas Islam di mana asas itu harus tercermin dalam fikrah yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan pendidikan. Semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan mudah bisa mempelajarinya. Juga harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam kehidupan berpartainya sehari-hari, dalam konteks hubungannya dengan anggota dan dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan. b) Tujuannya adalah untuk melakukan fungsi fungsi muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah. c) Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu.
[hti.or.id]