
Islamedia - Ramadan
selalu memberikan kesan indah, penuh pesona dan selalu menggores
kenangan. Apalagi jika dipandang dari sudut keimanan. Lihatlah
tubuh-tubuh yang secara fisik tampak lemah, namun kekuatan ruhani
ketakwaan begitu tampak memancar di balik tatapan wajahnya. Lihat pula
kaki-kaki yang mantap berjalan beriringan menuju masjid-masjid untuk
mempersembahkan ketundukannya kepada sang Khaliq. Perhatikanlah
wajah-wajah cerah dan ceria sesaat sebelum berbuka, keceriaan karena
telah menunaikan kewajibannya lebih mendahului keceriaan menghadapi
hidangan yang akan disantap.
Namun,
Ramadhan bukanlah drama satu babak yang selesai begitu saja sebagai
cerita yang patut dikenang seiring dengan kepergiannya. Memahami Ramadan
seperti ini, tak ubahnya sebuah panggung gembira di sebuah tanah lapang
yang hiruk pikuk dengan sorak sorai dan tawa riang, namun keesokan
harinya, setelah panggung itu ditutup dan dirobohkan, yang ada hanya
tanah lapang yang lengang, sunyi senyap, tak ada lagi sorak sorai dan
tawa riang.
Ramadan
–begitulah setidaknya dari pesan yang dapat kita tangkap- sesungguhnya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari episode-episode kehidupan ini
dengan kita sebagai pemeran utama di dalamnya. Bagaikan sebuah drama
seri, dia tidak menjadi lengkap dan indah sebagai sebuah cerita manakala
episode-episode berikutnya tidak nyambung dan tidak seirama.
Peran-peran yang telah ditampilkan dalam 'episode' Ramadhan sangat mudah
ditangkap dan dipraktekkan, bahkan kita telah sama-sama telah ikut
memerankannya. Kini, setelah Ramadhan berlalu, kita tinggal meneruskan
peran-peran tersebut, agar kisah ini terangkai dengan indah dan
mempesona. Berilah judul-judul indah dan menarik agar memotivasi kita
meneruskan kebajikan-kebajikan yang telah kita semai dalam 'episode'
Ramadhan. Kalau anda belum mendapatkannya, saya dapat membantu
mencarikannya berikut ini;
Ikhlash, Tangga Pertama Meraih Bahagia
Keikhlasan
menjadi salah satu fokus dari ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah
keutamaan berpuasa dan beribadah di malam hari Ramadhan, keduanya
disyaratkan dilakukan dengan iman dan semata mengharap pahala dari Allah
Ta'ala. Maka, jika puasa menjanjikan dua kebahagiaan bagi orang yang
berpuasa; bahagia saat dia berbuka, dan bahagia saat dia berjumpa dengan
Tuhannya, keikhlasan jelas menjadi tangga pertama yang harus dia
tapaki.
Di
sisi lain, keikhlasan erat kaitannya dalam upaya kita untuk mengurangi
ketergantungan terhadap dunia yang secara teoritis maupun praktis sering
menjadi sebab kegagalan meraih kebahagiaan. Karena tabi'at dunia adalah
punah, rusak, layu dan membosankan, sehingga otomatis orang yang hidup
bergantung kepadanya pun akan mendapatkan hal-hal serupa. Sedangkan
sifat Allah Ta'ala adalah kekal, kuat, kokoh dan indah. Maka orang yang
ikhlas kepada-Nya akan bahagia, karena sifat-sifat tersebut berbanding
lurus dengan kebahagiaan.
Oleh
karena itu, lanjutkanlah peran tersebut. Wujudkan keikhlasan dalam
setiap aktifitas kita, dalam shalat, puasa, mencari nafkah, mempergauli
keluarga, berteman dll. Insya Allah, kunci kebahagiaan telah kita
genggam.
"Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik" (QS. An-Nahl: 97)
Masjid Semakin Indah Jika Banyak yang Shalat Berjamaah
Mari
kita saksikan kembali 'tayangan' Ramadan yang menyorot masjid-masjid
dan surau-surau di sekitar kita. Nyaris tidak kita dapatkan masjid atau
surau yang tidak berdenyut. Langkah-langkah kaki yang terayun mantap,
percikan air wudu yang bertumpahan, suara takbir yang berkumandang serta
lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan, ditingkahi si kecil yang kadang
berlarian. Semuanya berpadu membentuk simponi indah bagi rumah Allah
dengan segala keberkahan dan nilai-nilai sosial yang mengiringinya.
Akankah
simponi yang indah tersebut segera sirna seiring dengan kepergian
Ramadan? Majid-masjid kembali terkunci rapat kecuali untuk satu dua kali
shalat, atau ramai hanya untuk seremoni sesaat. Di sini kita dituntut
untuk meneruskan peran kita untuk meramaikan masjid dalam ta'at.
Keindahan
masjid bukan terletak pada ketinggian seni arsiteknya, juga bukan pada
indahnya ornamen-ornamen yang menghiasinya, tetapi justeru pada
banyaknya hamba-hamba Allah yang mendatanginya untuk menyatakan
ketundukan kepada sang Khalik, meskipun bangunannya hanya terbuat dari
tanah liat dan beratap rumbia. Sebagaimana peran kita bukan hanya
membangunnya, tetapi juga meramaikannya dengan ibadah dan ketaatan,
minimal dengan shalat berjamaah lima waktu, sekaligus sebagai bukti
keimanan kita kepada Allah Ta'ala.
"Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian." (QS. At-Taubah: 18)
Dan,
raihlah naungan Allah di hari kiamat yang –berdasarkan sabda Rasulullah
saw- hanya Allah berikan kepada delapan golongan, salah satunya adalah;
'Seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid' (Muttafaq alaih).
Indahnya Hidup Saling Berbagi
Ramadan,
di sisi lain, juga menayangkan sebuah fragmen kehidupan yang sering
terabaikan, yaitu bahwa hidup saling berbagi itu sangat indah. Anjuran
banyak bersedekah di bulan mulia ini tidak hanya sebatas pentingnya si
kaya memberi kepada si miskin, tetapi lebih jauh dari itu adalah
bagaimana sebuah masyarakat terbentuk dalam susunan yang saling mengisi
dan melengkapi, saling memberi dan berbagi. Pilar-pilar kehidupan
bermasyarakat akan sangat rapuh dan tinggal menunggu waktu keruntuhannya
saja, apabila ada kesenjangan di dalamnya, yang kaya sombong dengan apa
yang dimilikinya sedang si miskin acuh dengan kegetiran hidupnya.
Selesai
bulan Ramadan, peran ini masih harus kita teruskan dan kita budayakan.
Bahkan kehidupan berbagi ini tidak hanya terbatas pada aspek materi.
Kita dapat berbagi nasehat, doa, semangat dan motivasi, bahkan
sesungging senyuman pun Rasulullah saw menamakannya sebagai shodaqah.
Dan hendaknya hal itu dilakukan apa adanya, tanpa dibuat-buat, murni
karena keinginan kita meraih ridha Allah Ta'ala dan menciptakan hubungan
harmonis di tengah masyarakat. Meskipun tak ada kamera wartawan yang
menjepretnya, meskipun tidak ada surat kabar yang memuat beritanya.
Kalau
pernah kita dapatkan pihak-pihak tertentu yang ingin menampakkan rasa
berbaginya kepada masyarakat, karena namanya tercatat dalam daftar urut
caleg sebuah partai, atau karena dirinya sedang digadang-gadang
menduduki posisi-posisi ekskutif, mudah-mudahan mereka menyadari bahwa
terwujudnya masyarakat yang saling berbagi tanpa pamrih dan hilangnya
kesenjangan sosial di tengah masyarakat, jauh lebih berharga dari
sejumput jabatan yang mereka kejar. Sehingga kalaupun jabatan tersebut
tak juga dapat mereka raih, sikap berbagi tersebut tetap ditampilkan apa
adanya tanpa kurang sedikit pun.
Demikianlah
contoh dari peran-peran yang dapat kita teruskan dalam episode-episode
berikutnya. Dan masih banyak lagi tema-tema yang dapat kita ambil. Kita
dapat menulis skenarionya dan bahkan langsung menjadi pemeran utamanya.
Yang penting dia harus seirama dan senafas dengan Episode Ramadan yang
sangat mempesona itu.
Semoga
Allah memberikan kita kekuatan lahir dan batin agar dapat melanjutkan
kisah ini sehingga menjadi kisah utuh tentang anak manusia yang sedang
menjalani fungsi penghambaannya, hingga akhirnya kisah ini dapat ditutup
dengan 'happy ending' berupa husnul khotimah, akhir kehidupan yang
baik. Dan jika pada saatnya nanti Allah Ta'ala membentangkan kembali
kisah tersebut di hari pembalasan, kita dapat tersenyum bahagia karena
'acting' kita yang menawan dan mendapat pujian.
Sesungguhnya
orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar
(syurga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu
dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh
kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak
(tempatnya), Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba. (QS. Al-Muthaffifin: 22-26)
Wallohu 'alam,
Abu Rumaisha