Islamedia - Suatu siang, daripada melewatkan waktu begitu saja
maka aku memutuskan untuk berkunjung ke Perpustakaan Dar al-Hikmah kampus
International Islamic University Malaysia (IIUM), Selangor Malaysia.
Perpustakaan ini boleh dikatakan sebagai Perpustakaan terlengkap dalam kajian
keislaman untuk kawasan Asia Tenggara. Karena itu, ia menjadi tempat favoritku
dalam menghabiskan waktu luang.
Awalnya aku mengunjungi rak-rak buku tasawwuf, maka
di sana aku jumpai sebuah kitab yang cukup tebal karya Imām Zakariyā al-Anshārī.
Kemudian rak-rak buku ini aku tinggalkan, lalu menuju rak-rak buku Fiqh. Di
rak-rak buku Fiqhpun aku jumpai kitab yang cukup tebal, juga karya Imam Zakariya
al-Anshari dalam bidang Fiqh dengan judul al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh
al-Bahjah al-Wardiyyah. Ada rasa penasaran, siapa dia? Maka kitab yang
tebalnya sebelas jilid itu aku ambil dan ditumpukkan diatas meja baca, lalu
menuju ke rak-rak buku tasawwuf untuk mencari kitab yang aku jumpai
diawal tadi. Namun sayang, karena pertemuan yang tidak disengaja dan
ditambahkan dengan banyaknya kitab-kitab disana maka kitab itupun tidak
berhasil ditemui lagi.
Nama lengkapnya adalah Zakariya bin Muhammad al-Anshari.
Beliau merupakan seorang Qadhi (hakim), Mufassir, penghafal Hadis, Faqih
dan ahli tasawwuf serta penganut mazhab Syafi’ī. Tak ada kepastian tahun
kelahirannya. Menurut Imam al-Sayuthi, ulama yang hidup
semasa yang juga kawannya memprediksi, tahun kelahiran Al-Anshari adalah 824 H,
di Sunaikah, desa kecil yang terletak antara kota Bilbis dan Al-Abbasiyah,
timur Mesir.
Dari kecil beliau sudah hafal al-Qur’an. Dan
semenjak balita beliau ditinggal wafat oleh ayahnya, sehingga hidup menjadi
anak yatim. “Beliau tumbuh dalam keadaan fakir miskin”, begitulah
catatan muhaqqiq (editor) kitab al-Ghurar al-Bahiyyah dalam bab
pengantar. “Selama belajar di al-Azhar, aku sering kelaparan karena tidak
punya uang untuk membeli makanan”, kata Syeikh Abdul Wahab dalam mengulangi
ungkapan Imām Zakariya Al-Anshari.
Kitab al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah
al-Wardiyyah ini merupakan syarahan atau penjelasan beliau atas
kitab al-Bahjah karya ‘Umar Bin Mazfur Bin ‘Umar Bin
Muhammad Bin Abi al-Faris Abu Hafd Zainuddin Bin al-Wardi al-Mu’arri al-Kindi
atau lebih dikenal dengan al-Imam al-Wardi yang hidup antara 1292-1349
M/691-749 H. Dalam terbitan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut – Libanon, kitab al-Ghurar
al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah ini terdiri dari 11 jilid yang berisikan
seputar permasalah fikih dalam mazhab Syafi’i.
Di Indonesia, kitab ini merupakan salah satu rujukan
penting bagi para ulama, peneliti hukum dan guru-guru pesantren dalam memahami
masalah fiqh. Sementara di lingkungan pesantren sendiri beliau terkenal melalui
karyanya Fath al-Wahhab: bi Syarh Manhaj al-Thullab yang
dikaji oleh para santri dalam masalah fiqh.
Hikmah
Meskipun beliau berasal dari keluarga yang serba
kekurangan, akan tetapi hari-hari beliau dihabiskan untuk belajar, membaca,
menelaah dan menulis kitab-kitab dan mengajar hingga mengantarkan beliau
menjadi orang yang alim di Mesir pada penghujung abad ke 14 Masehi dan awal
abad 15 Masehi.
Jika karya-karya beliau disusun rapi, barangkali
tingginya hampir separuh tinggi orang dewasa atau lebih. Apa pelajaran yang
dapat diambil? Cinta, semangat dan berkarya. Ya, itulah kata tepat. Meskipun
beliau berasal dari keluarga miskin, namun semangatnya tidaklah miskin.
Sikap kecintaan kepada ilmu seperti beliau jarang
kita temui pada diri pemuda sekarang ini. Amat menyedihkan ada diantara
keluarga, teman, atau masyarakat kita yang diberikan kelebihan, baik itu harta
maupun kemampaun, namun kelebihan itu tidak digunakan dengan semestinya.
Ilmu agama dikesampingkan. Orang-orang lebih bangga
memasukkan anak-anaknya pada Perguruan Tinggi umum dari pada Perguruan Tinggi
Agama. Orang-orang lebih rela membayar tinggi les-les bahasa Inggris, sementara
peran guru ngaji dikesampingkan. Kebanyakan para pelajar sudah salah niatnya,
belajar sebagai perantara untuk mendapatkan pekerjaan. Alhasil,
terciptalah generasi hedonisme yang lupa pada agamanya.
Siapa membaca akan mengetahui. Siapa menulis tak
akan mati. Demikianlah inskripsi-inskripsi kuno dalam piramid, di
dinding-dinding gua, atau batu-batu cadas peninggalan ribuan tahun dahulu kala.
Juga karya-karya ulama dalam manuskrip-manuskrip atau kitab-kitab. Para
penulisnya telah lama tiada, namun apa yang telah ditulis seakan kekal abadi.
Imam Zakariya al-Anshari adalah salah satu dari banyak ulama yang wajib kita
teladani. “Demi huruf nun dan demi pena serta apa yang mereka goreskan”,
firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an (QS. 68:1).

Penulis: Edi Kurniawan
Mahasiswa Master di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia Kuala Lumpur
Sumber
bacaan:
Zakariya
bin Muhammad al-Anshari, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah
al-Wardiyyah. (Beirut – Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), jilid I, hlm.
3-6.