Islamedia - Semenjak jaman saya mahasiswa hingga lulus kuliah S2,
minyak bumi selalu dipersalahkan sebagai penyebab rakyat miskin. Ketika
harga minyak naik tahun 2005, pemerintah berdalih, itulah penyebab
meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Ketika tahun 2012
harga BBM tak jadi dinaikkan, pemerintah menyalahkannya sebagai penyebab
tak sampainya subsidi ke tangan rakyat miskin. Opini serupa dihembuskan
kembali pada kenaikan BBM tahun ini. BBM naik rakyat tambah miskin, BBM
tak naik subsidi tak sampai ke rakyat miskin. Naik atau tidak naik BBM
selalu disalahkan.
Akal yang sehat tentu akan menolak jika untuk satu objek
dengan dua perlakuan berbeda hasilnya sama, dalam hal ini BBM. Akal
sehat saya mengatakan, jika demikian yang terjadi tentu BBM bukan
satu-satunya elemen yang mempengaruhi naik atau tidaknya jumlah rakyat
miskin. Ada faktor lain yang selama ini sengaja tidak dimunculkan.
Masalah BBM demikian disederhanakan dengan urusan naik dan turun, tanpa
melihat faktor lain tersebut.
Faktanya adalah minyak bumi merupakan barang yang mahal.
Nilai ekonomisnya sangat tinggi sehingga diberi julukan black gold.
Karena nilai ekonomisnya tinggi, maka tak jarang harga minyak melambung
tinggi. Bahkan karena sifatnya yang non renewable, harga minyak bumi
tentu diprediksikan akan naik terus.
Pada sisi yang lain, pemerintah republik Indonesia
memiliki kewajiban konstitusi untuk menyediakan hasil bumi yang bisa
membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Hak paling dasar yang harus
disediakan negara bagi rakyatnya apalagi jika bukan energi dari hasil
olahan bumi Indonesia sendiri. Berkali-kali termin “harga keekonomian”
ditolak oleh mahkamah konstitusi untuk masalah penyediaan olahan bumi
dalam bentuk energi bagi rakyat. Bandingkan dengan bawang, cabe dan
jengkol yang tidak dilindungi oleh konstitusi.
Di satu sisi minyak bumi mahal, di sisi yang lain
pemerintah berkewajiban menyediakan energi untuk rakyat. Bagaimana jika
rakyat tak sanggup membeli energi olahan bumi sendiri? Tidak mungkin
rakyat disuruh berhemat dan mengurangi aktivitasnya, karena mengurangi
aktivitas berarti mengurangi peluang pertumbuhan ekonomi bangsa.
Pilihannya cuma dua, pemerintah memberi subsidi untuk energi yang mahal,
atau kedua pemerintah mencari alternatif energi yang murah bagi
rakyatnya. Baca logikanya : jika pemerintah bisa mencari alternatif
energi murah tentu tak perlu ada subsidi, tapi jika pemerintah gagal
mencari alternatif energi, siapa yang harus menanggung akibatnya? Rakyat
kah?
Tahun 2008 pemerintah melakukan sebuah terobosan melakukan
konversi minyak tanah ke gas. Alhasil subsidi untuk minyak tanah
berhasil dipangkas.
Minyak tanah atau kerosin ini memang barang mahal,
tapi digunakan sebagai sumber energi bagi rakyat kecil. Warung pinggir
jalan, nasi goreng keliling rumah, penerangan di desa-desa pakai minyak
tanah. Gas alam merupakan hasil olahan bumi Indonesia yang banyak
melimpah dan lebih murah dari minyak tanah. Dengan mengganti minyak
tanah ke gas, rakyat tetap dapat beraktivitas. Ini yang saya maksud
sebagai langkah yang bertanggung jawab. Pemerintah berhasil menunaikan
kewajibannya untuk menyediakan energi murah bagi rakyatnya.
Sekarang masih banyak sektor yang bergantung pada produk
turunan minyak bumi. Sektor transportasi misalkan. Pemerintah mengklaim
bahwa kendaraan dimiliki oleh 80% orang kaya, sehingga kenaikan BBM tak
akan pengaruhi rakyat miskin. Iya bener sih, kalau parameternya
kepemilikan kendaraan roda empat. Tapi apakah rakyat miskin yang tak
punya mobil tidak nikmati juga BBM?
Mari kita lihat lebih dekat. Apakah truk sembako tak
gunakan BBM? Apakah mobil yang angkut sayur dari pasar induk tak gunakan
BBM? Apakah motor yang digunakan tukang sayur keliling rumah tak
gunakan BBM? Bahkan traktor petani dan perahu nelayan juga pakai BBM.
Hampir semua bahan makanan yang dimakan orang kaya maupun orang miskin
diangkut menggunakan kendaraan ber-BBM.
Mungkin cuma becak yang dipakai
ibu kita membeli sayur ke pasar yang tidak pakai BBM. Ketika BBM naik
tentu logikanya beban hidup orang kaya dan miskin akan bertambah.
Bedanya, orang kaya punya alternatif sedangkan orang miskin tidak punya
pilihan.
Sekarang pemerintah kita berencana mengurangi subsidi
dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya, subsidi tersebut
akan digunakan untuk membangun jalan, rumah, jembatan, rumah sakit dan
sekolah. Coba kita lihat secara teliti rencana tersebut. Jalan-jalan
yang dibangun, apalagi mega proyek jalan tol justru akan meningkatkan
jumlah konsumsi BBM.
Jembatan seperti mega proyek jembatan selat sunda
juga berpihak pada kendaraan roda empat. Rumah, sekolah dan rumah sakit
juga akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. Jika tidak dibarengi
dengan pilihan transportasi massal, rakyat tentu akan kembali beralih
ke kendaraan pribadi, minimal beli motor. Berapa pun subsidi yang
dipotong hari ini, konsumsi BBM akan tetap naik dan akan terus
meningkatkan besarnya subsidi BBM di masa mendatang.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan merangkumnya dalam
beberapa kalimat. Pertama, energi murah dari hasil olahan bumi
Indonesia adalah hak rakyat sesuai amanat konstitusi.
Kedua, pemerintah
telah gagal memberi alternatif energi murah selain BBM bagi rakyat.
Ketiga, kegagalan memberi alternatif dibebankan kembali kepada rakyat
dengan cara menaikkan harga BBM. Keempat, pemerintah tidak punya rencana
pembangunan yang dapat mengakhiri ketergantungan rakyat terhadap BBM.
Bagi saya semua propaganda kenaikan BBM dengan
membenturkan antara orang kaya dan miskin merupakan omong kosong belaka.
Itu hanyalah upaya pemerintah melempar tanggung jawab mereka sendiri.
Bagi yang kemarin menentang kenaikan BBM, sekarang saat yang tepat untuk
terus mengkritisi “hasil” pengalihan subsidi tersebut. Apakah digunakan
untuk mengakhiri ketergantungan terhadap BBM? Ataukah kembali menjadi
janji kosong belaka.
Jalu Priambodo