Menagih Janji Konversi Energi -->

Menagih Janji Konversi Energi

Admin
Selasa, 18 Juni 2013
Islamedia - Semenjak jaman saya mahasiswa hingga lulus kuliah S2, minyak bumi selalu dipersalahkan sebagai penyebab rakyat miskin. Ketika harga minyak naik tahun 2005, pemerintah berdalih, itulah penyebab meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. 

Ketika tahun 2012 harga BBM tak jadi dinaikkan, pemerintah menyalahkannya sebagai penyebab tak sampainya subsidi ke tangan rakyat miskin. Opini serupa dihembuskan kembali pada kenaikan BBM tahun ini. BBM naik rakyat tambah miskin, BBM tak naik subsidi tak sampai ke rakyat miskin. Naik atau tidak naik BBM selalu disalahkan.

Akal yang sehat tentu akan menolak jika  untuk satu objek dengan dua perlakuan berbeda hasilnya sama, dalam hal ini BBM. Akal sehat saya mengatakan, jika demikian yang terjadi tentu BBM bukan satu-satunya elemen yang mempengaruhi naik atau tidaknya jumlah rakyat miskin. Ada faktor lain yang selama ini sengaja tidak dimunculkan. Masalah BBM demikian disederhanakan dengan urusan naik dan turun, tanpa melihat faktor lain tersebut.

Faktanya adalah minyak bumi merupakan barang yang mahal. Nilai ekonomisnya sangat tinggi sehingga diberi julukan black gold. Karena nilai ekonomisnya tinggi, maka tak jarang harga minyak melambung tinggi. Bahkan karena sifatnya yang non renewable, harga minyak bumi tentu diprediksikan akan naik terus.

Pada sisi yang lain, pemerintah republik Indonesia memiliki kewajiban konstitusi untuk menyediakan hasil bumi yang bisa membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Hak paling dasar yang harus disediakan negara bagi rakyatnya apalagi jika bukan energi dari hasil olahan bumi Indonesia sendiri. Berkali-kali termin “harga keekonomian” ditolak oleh mahkamah konstitusi untuk masalah penyediaan olahan bumi dalam bentuk energi bagi rakyat. Bandingkan dengan bawang, cabe dan jengkol yang tidak dilindungi oleh konstitusi.

Di satu sisi minyak bumi mahal, di sisi yang lain pemerintah berkewajiban menyediakan energi untuk rakyat. Bagaimana jika rakyat tak sanggup membeli energi olahan bumi sendiri? Tidak mungkin rakyat disuruh berhemat dan mengurangi aktivitasnya, karena mengurangi aktivitas berarti mengurangi peluang pertumbuhan ekonomi bangsa. 

Pilihannya cuma dua, pemerintah memberi subsidi untuk energi yang mahal, atau kedua pemerintah mencari alternatif energi yang murah bagi rakyatnya. Baca logikanya : jika pemerintah bisa mencari alternatif energi murah tentu tak perlu ada subsidi, tapi jika pemerintah gagal mencari alternatif energi, siapa yang harus menanggung akibatnya? Rakyat kah?

Tahun 2008 pemerintah melakukan sebuah terobosan melakukan konversi minyak tanah ke gas. Alhasil subsidi untuk minyak tanah berhasil dipangkas. 

Minyak tanah atau kerosin ini memang barang mahal, tapi digunakan sebagai sumber energi bagi rakyat kecil. Warung pinggir jalan, nasi goreng keliling rumah, penerangan di desa-desa pakai minyak tanah. Gas alam merupakan hasil olahan bumi Indonesia yang banyak melimpah dan lebih murah dari minyak tanah. Dengan mengganti minyak tanah ke gas, rakyat tetap dapat beraktivitas. Ini yang saya maksud sebagai langkah yang bertanggung jawab. Pemerintah berhasil menunaikan kewajibannya untuk menyediakan energi murah bagi rakyatnya.

Sekarang masih banyak sektor yang bergantung pada produk turunan minyak bumi. Sektor transportasi misalkan. Pemerintah mengklaim bahwa kendaraan dimiliki oleh 80% orang kaya, sehingga kenaikan BBM tak akan pengaruhi rakyat miskin. Iya bener sih, kalau parameternya kepemilikan kendaraan roda empat. Tapi apakah rakyat miskin yang tak punya mobil tidak nikmati juga BBM?

Mari kita lihat lebih dekat. Apakah truk sembako tak gunakan BBM? Apakah mobil yang angkut sayur dari pasar induk tak gunakan BBM? Apakah motor yang digunakan tukang sayur keliling rumah tak gunakan BBM? Bahkan traktor petani dan perahu nelayan juga pakai BBM. Hampir semua bahan makanan yang dimakan orang kaya maupun orang miskin diangkut menggunakan kendaraan ber-BBM.  

Mungkin cuma becak yang dipakai ibu kita membeli sayur ke pasar yang tidak pakai BBM. Ketika BBM naik tentu logikanya beban hidup orang kaya dan miskin akan bertambah. Bedanya, orang kaya punya alternatif sedangkan orang miskin tidak punya pilihan.



Sekarang pemerintah kita berencana mengurangi subsidi dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya, subsidi tersebut akan digunakan untuk membangun jalan, rumah, jembatan, rumah sakit dan sekolah. Coba kita lihat secara teliti rencana tersebut. Jalan-jalan yang dibangun, apalagi mega proyek jalan tol justru akan meningkatkan jumlah konsumsi BBM. 

Jembatan seperti mega proyek jembatan selat sunda juga berpihak pada kendaraan roda empat. Rumah, sekolah dan rumah sakit juga akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. Jika tidak dibarengi dengan pilihan transportasi massal, rakyat tentu akan kembali beralih ke kendaraan pribadi, minimal beli motor. Berapa pun subsidi yang dipotong hari ini, konsumsi BBM akan tetap naik dan akan terus meningkatkan besarnya subsidi BBM di masa mendatang.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan merangkumnya dalam beberapa kalimat. Pertama, energi murah dari hasil olahan bumi Indonesia adalah hak rakyat sesuai amanat konstitusi. 

Kedua, pemerintah telah gagal memberi alternatif energi murah selain BBM bagi rakyat. Ketiga, kegagalan memberi alternatif dibebankan kembali kepada rakyat dengan cara menaikkan harga BBM. Keempat, pemerintah tidak punya rencana pembangunan yang dapat mengakhiri ketergantungan rakyat terhadap BBM.

Bagi saya semua propaganda kenaikan BBM dengan membenturkan antara orang kaya dan miskin merupakan omong kosong belaka. Itu hanyalah upaya pemerintah melempar tanggung jawab mereka sendiri. 

Bagi yang kemarin menentang kenaikan BBM, sekarang saat yang tepat untuk terus mengkritisi “hasil” pengalihan subsidi tersebut. Apakah digunakan untuk mengakhiri ketergantungan terhadap BBM? Ataukah kembali menjadi janji kosong belaka.

Jalu Priambodo