Islamedia - Perhatikanlah dengan seksama sebuah peristiwa
walimah atau pesta pernikahan. Apa yang kita saksikan? Meriah, penuh
kegembiraan, dirayakan dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Ada banyak
hiasan, banyak bunga, banyak keluarga,
banyak tamu, banyak makanan, banyak minuman, semua serba berbeda dari
biasanya. Bukan hanya pengantin yang berbusana indah menawan, namun
keluarga dan para tamu undangan juga mengenakan pakaian istimewa yang
jarang-jarang dikenakan.
Di beberapa kalangan masyarakat
tertentu, pesta pernikahan sekaligus merupakan upaya untuk sarana
komunikasi bisnis, sosial, politik dan budaya. Misalnya, orang tua yang
pelaku bisnis, menjadikan pesta pernikahan anak sebagai sarana
mengundang dan mengumpulkan rekan-rekan bisnis. Selain untuk silaturahim
dan menyaksikan prosesi pernikahan, juga sekaligus untuk menguatkan
jaringan bisnis dan bahkan menciptkan peluang-peluang dan “deal” baru.
Demikian pula di kalangan keluarga politisi, pesta pernikahan telah
menjadi sarana silaturahmi politik.
Kebahagiaan : Sebuah Harapan Besar
Sesungguhnya fenomena kesakralan pesta pernikahan itu simbolisasi dari
perasaan bahagia dan penuh kesyukuran. Selain karena melaksanakan
tuntunan agama, namun pada saat yang sama ada ritual budaya yang tengah
dijalankan. Dalam tradisi dan adat yang berkembang di tengah masyarakat,
hiasan-hiasan dalam pesta pernikahan semuanya memiliki makna-makna yang
positif dan membawa pesan kebajikan. Dalam tradisi Jawa misalnya,
mengapa menggunakan hiasan janur (daun kelapa yang mash muda), mengapa
menggunakan pisang setandan, bunga setaman, dan lain sebagainya, semua
membawa pesan-pesan kebajikan.
Artinya, prosesi pernikahan
merupakan sebuah peristiwa yang istimewa dan sangat berkesan, bahkan
menjadi sejarah penting dalam kehidupan selanjutnya. Dari peristiwa
pesta pernikahan itu saja sudah terbaca dengan sangat kuat, bahwa
kehidupan berumah tangga dikehendaki akan selalu berada dalam kebaikan
dan penuh kebajikan. Terhindarkan dari malapetaka, marabahaya, kerusakan
dan kehancuran.
Pada dasarnya semua orang menghendaki
kehidupan keluarga yang harmonis, dipenuhi kebahagiaan, dan terjauhkan
dari penderitaan. Saat melaksanakan prosesi pernikahan, pengantin
laki-laki dan pengantin perempuan membayangkan serta mengharapkan
kehidupan keluarga yang diliputi kedamaian, keharmonisan, ketenteraman,
kebahagiaan dan terjauhkan dari berbagai penyimpangan serta
pengkhianatan. Sebuah harapan serba ideal tentang pasangan, tentang
kehidupan berumah tangga yang selalu dimiliki pasangan pengantin baru.
Namun sayang, harapan-harapan ideal tersebut tidak selalu menjadi
kenyataan. Ada banyak badai yang mereka lalui di sepanjang perjalanan
hidup berumah tangga, dan tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu
bertahan di tengah badai.
Konflik Tidak Untuk Dihindari
Banyak pasangan suami isteri yang tidak menyadari dari awal bahwa
mereka kelak akan menemukan konflik. Dalam teori psikologi diyakini,
setiap hubungan antar pribadi selalu mengandung unsur-unsur konflik,
perbedaan pendapat atau kepentingan. Hal ini karena setiap manusia itu
unik, selalu ada sisi perbedaan dengan manusia lainnya. Konflik adalah
situasi dimana pandangan dan tindakan satu pihak berakibat menghalangi,
menghambat atau mengganggu pandangan dan tindakan pihak lain.
Kendati unsur konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan
antarpribadi, namun banyak kalangan memandang konflik adalah faktor yang
merusak hubungan, sehingga harus dicegah dan dihindari. Padahal,
rusaknya hubungan antarpribadi sesungguhnya bukan disebabkan karena
adanya konflik itu sendiri, melainkan disebabkan oleh kegagalan dalam
mengelola serta memecahkan konflik secara bijak dan konstruktif.
Jika mampu mengelola konflik secara bijak dan konstruktif, sesungguhnya
dapat memberikan manfaat positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi
hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, konflik sering juga diberi
sebutan yang berkonotasi positif. Misalnya, konflik suami isteri
dianggap sebagai “bumbu” dan penyedap atau pemanis dalam hubungan mereka
di rumah tangga.
Ketika sepasang pengantin memulai kehidupan
baru di rumah tangga baru yang mereka bangun, mulailah tampak kualitas
hubungan mereka yang sesungguhnya. Ada sebagian pasangan yang berhasil
mewujudkan impian dan harapan ideal mereka tanpa mengalami banyak
kendala. Sebagian yang lain memerlukan usaha dan perjuangan yang keras
untuk bisa meraihnya. Bahkan ada pula pasangan yang dalam sepanjang
rentang waktu kehidupan mereka tidak sempat merasakan keharmonisan dan
kebahagiaan. Sejak awal memulai hidup berumah tangga telah dipenuhi
dengan berbagai pertengkaran sengit, konflik berkepanjangan dan berujung
kepada perceraian.
Yang mereka perlukan sesungguhnya adalah
kesiapan mental menghadapi konflik dan kesanggupan untuk menikmati serta
menyelesaikannya secara bika dan konstruktif. Jangan menganggap konflik
selalu bermakna menghalangi kebahagiaan, karena konflik justru
diperlukan dalam rangka menghadirkan kebahagiaan itu sendiri. Betapa
indahnya kebersamaan dan keharmonisan, baru sangat nyata dirasakan
setelah keluar dari suatu konflik. Tanpa konflik, suami dan isteri akan
mendapatkan kehidupan mereka biasa-biasa saja, datar datar saja, begitu
begitu saja. Lalu dimana dinamikanya? Dimana letak indahnya?
Nikmati Konflik
Percayalah, untuk merasakan kebahagiaan hidup berumah tangga, kita
tidak perlu takut menghadapi konflik. Tidak perlu menghindar dari
konflik dengan pasangan. Justru harus menyiapkan diri untuk menghadapi,
mengurai, dan menikmati setiap konflik yang datang bersama pasangan.
Bergandengan tangan meniti jalan kehidupan yang membentang di hadapan.
Tetap bergandengan tangan saat badai menghantam. Konflik akan mudah
diselesaikan oleh suami dan isteri apabila mereka memiliki komitmen
untuk selalu membuka pikiran dan hati, mengutamakan keutuhan dan
kebahagiaan keluarga daripada memenangkan pendapat dan egonya.
Keluarga bahagia, bukan berarti di dalamnya tidak ada konflik. Justru
karena mereka bisa menghadapi dan menikmati konflik yang datang silih
berganti, maka mereka merasakan kebahagiaan yang lebih hakiki.
Cahyadi Takariawan