Islamedia - Pemerintah diminta lebih tegas dalam melakukan
negoisasi kontrak karya dengan perusahaan tambang asing. Terutama, berkaitan
dengan keuntungan yang didapatkan Pemerintah Indonesia dari hasil operasi
Freeport di Papua.
Hal ini ditegaskan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi
PKS Idris Luthfi di Jakarta, Rabu (26/6).
Idris menilai, pemerintah kewalahan menghadapi Freeport
dan ratusan perusahaan tambang lain
khususnya dalam upaya renegosiasi kontrak karya yang tidak kunjung selesai
hingga sekarang.
Padahal, lanjut Idris, Pasal 169 huruf b UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
(Minerba) menyebutkan ketentuan dalam kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan paling lambat satu tahun sejak
undang-undang ini diundangkan, kecuali mengenai penerimaan negara.
“Pemerintah kewalahan hadapi negoisator dari Freeport.
Padahal kita punya hak atas sumber daya alam kita sendiri. Jelas ada di UUD
1945 Pasal 33. Karena itu harusnya jangan takut,” tegas Idris.
Idris juga mempertanyakan, mengapa proses negosiasi
sangat alot padahal sudah sangat jelas kedudukan hukum Kontrak karya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Artinya, kata Idris, perusahaan tambang lain
harus tunduk dengan hukum nasional Indonesia termasuk butir-butir renegosiasi
mengenai luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau
royalti, dan hal strategis lainnya.
“Namun hasil renegosiasi hingga saat ini hanya butir
kenaikan royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton
yang disetujui oleh Freeport. Lainnya tidak. Ini tentu belum memenuhi rasa
keadilan,” tegas Anggota Legislatif Daerah Pemilihan Sumatera Utara I ini.
Lebih lanjut Idris menambahkan, jauh sebelum UU
Minerba ada, sebenarnya ketentuan 3,75 % sudah ada sejak keluarnya PP No.45
Tahun 2003 yang menentukan tarif royalti emas adalah sebesar 3,75 persen dari
harga jual perkilogramnya,
“Sementara sejak 2003 hingga sekarang, PT FI masih
menggunakan tarif royalti sebesar 1 % dari yang seharusnya 3,75% sehingga
potensi kerugian yang ditimbulkan mengganti kerugian negara yang terjadi selama
kurun waktu 2003-2011 sebesar kurang-lebih US$ 326 juta,” tandasnya.