Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab : إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَ...
إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ
رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ
Dinamakan Sya’ban, karena saat itu
dia menampakan (menonjol) di antara dua
bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin.
(Lisanul ‘Arab, 1/501)
Dia juga bermakna bercabang (asy
Sya’bu) atau berpencar (At Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada
bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar
mencari sumber-sumber air.
Dianjurkan Banyak Berpuasa
Bulan
Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak
berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ
حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ
شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka
sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama
satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa
melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR.
Bukhari No. 1869)
Inilah bukan yang paling banyak Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berpuasa sunah. Tetapi, beliau tidak pernah berpuasa
sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.
Apa sebab dianjurkan puasa Sya’ban?
Pada bulan Sya’ban amal manusia di angkat kepada Allah
Ta’ala. Maka, alangkah baik jika ketika amal kita diangkat, saat itu kita
sedang berpuasa.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
شعبان بين رجب ورمضان يغفل الناس عنه
ترفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي إلا وأنا صائم
“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan
Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat,
maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai,
1/322 dalam kitab Al Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As
Silsilah Ash Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412.
Dar Ar Rayyah)
Adakah
Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
Ya, sebagamana
diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:
يطلع الله تبارك
و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah
Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia
mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits
ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat
nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu
Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al Albani, As Silsilah Ash Shahihah, 3/135,
No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih Al Jami’ Ash Shaghir
wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al
Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al
Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih
karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits
ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan
Sya’ban), yakni saat itu Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni
semua makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar
banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat
atau membaca Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’indan
generasi setelahnya, seperti Makhul, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, di mana
mereka mengatakan ini bukanlah bid’ah. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama
sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat,
membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula
sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada
dalam agama), seperti yang dikakatakan Ima Atha’ bin Abi Rabbah, para ulama Madinah,
dan lainnya.
Maka, menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berkumpul
di masjid dan surau untuk melakukan ibadah tertentu adalah perkara yang
diperselisihkan para ulama sejak masa tabi’in. Namun yang pasti
Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Hendaknya setiap muslim
berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan ini, dan mengikuti sunah adalah
lebih baik bagi siapa pun. Agar keluar dari perselisihan pendapat dan perpecahan.
Larangan
Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni
sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena
pada hari tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah
sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau
digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika
ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.
Dalilnya,
dari ‘Ammar katanya:
مَنْ صَامَ يَوْمَ
الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang
siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada
Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR.
Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa
shuumuu)
Para
ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa
pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa,
misal puasa senin kamis, atau puasa Nabi Daud, atau puasa sunah lainnya, lalu ketika dia melakukan kebiasaannya itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak
dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:
لَا
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
"Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa
sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan
puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu." (HR. Bukhari
No. 1815)
Demikian. Semoga Sya’ban tahun ini kita bisa mengisi dengan berbagai
kebaikan untuk mempersiapkan diri menuju bulan ramadhan yang penuh diberkahi.
Tambahan: Hadits-Hadits Seputar Nishfu Sya’ban
Hadits 1:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا
وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى
سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا
مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا
حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika datang malam nishfu sya’ban
maka shalatlah kalian pada malam harinya, dan berpuasalah pada siang harinya,
karena sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada saat terbenamnya matahari,
dan berkata: tidaklah orang yang minta ampunan kepadaKu maka Aku ampuni dia,
tidaklah orang yang meminta rezeki maka Aku akan berikan dia rezeki, tidaklah
orang yang mendapat musibah maka Aku akan memberinya pertolongan, dan tidaklah
ini dan itu, hingga terbitnya matahari.”
(HR. Ibnu Majah No.
1388. Al Bahiaqi, Syu’abul Iman, No. 3664)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abu Bakar Ibnu Abi
Sabrah.
Imam al Haitsami menyebutnya sebagai matruk
(haditsnya ditinggalkan). (Majma’ Az Zawaid, 1/213), dan kadzab
(pendusta). (Ibid, 6/268)
Pentahqiq Tahdzibul Kamal, yakni Dr. Basyar ‘Awad
Ma’ruf mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Yahya bin Ma’in
menyebut Ibnu Abi Sabrah sebagai pemalsu hadits.
Shalih bin Ahmad bin Muhammad bin Hambal berkata: “Bapakku berkata
kepadaku bahwa Ibnu Abi Sabrah adalah pemalsu hadits.” (Al Jarh wat Ta’dil, 7/ 306)
Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan dalam Takhrijul Ihya’, bahwa hadits
ini bathil dan sanadnya dha’if. (Takhrij Ahadits Al Ihya’ No. 630)
Imam Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif menyatakan bahwa hadits ini dha’if,
dan Imam Al Mundziri mengisyaratkan kedha’ifan hadits ini dalam At
Targhib. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 2132)
Hadits 2: dari Utsman bin Muhammad bin Al
Mughirah bin Al Akhnas, beliau berkata:
تقطع الآجال من شعبان إلى شعبان
“Ajal
manusia ditetapkan dari bulan sya’ban ke bulan sya’ban yang lain.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman,
No. 3681)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini mursal.
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir
Al Quran Al ‘Azhim, 7/246. Hadits
mursal adalah hadits yang sanadnya gugur di thabaqat (generasi/lapisan) akhirnya
setelah tabi’in (tabi’in adalah generasi setelah sahabat nabi).
Maksudnya, hadits tersebut diriwayatkan dari seorang tabi’in langsung ke Rasulullah tanpa melalui seorang
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Contoh seorang genarasi tabi’in berkata: Rasulullah
bersabda …., inilah mursal, sedangkan hadits yang biasa kita dengar adalah
dari seorang sahabat Nabi: Rasulullah
bersabda ….., mayoritas ahli hadits dan fuqaha menyatakan bahwa hadits
mursal adalah dhaif, demikian juga pendapat Imam Asy Syafi’i. Sedangkan
menurut Malik, Abu Hanifah dan segolongan ulama, hadits mursal adalah shahih.
Lihat hal ini dalam karya Imam An Nawawi, At Taqrib wat Taisir …, Hal.
3)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama dan kalangan Asy
Syafi’iyah, hadits mursal adalah
salah satu hadits dha’if . Hadits mursal adalah hadits yang
rawinya pada tingkatan setelah tabi’in tidak disebutkan (digugurkan). Sehingga
tidak bisa dipastikan apakah tabi’in tersebut mendengar langsung atau tidak.
Jadi, validitas hadits-hadits ini sangat diragukan, seandai pun shahih atau
hasan, toh hadits ini sama sekali tidak menyebutkan tentang ritual
khusus pada nishfu sya’ban, hanya menyebut keutamaannya saja.
Ada pun hadits yang berbunyi:
" Malaikat Jibril
mendatangiku pada malam Nishfu (15) Sya'ban, seraya berkata, " Hai
Muhammad, malam ini pintu-pintu langit dibuka. Bangunlah dan Shalatlah, angkat
kepalamu dan tadahkan dua tanganmu kelangit ."
Rasulullah bertanya, " Malam
apa ini Jibril ?"
Jibril menjawab. " Malam ini dibukakan
300 pintu rahmat. Tuhan mengampuni kesalahan orang yang tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu, kecuali tukang sihir, tukang nujum, orang bermusuhan,
orang yg terus menerus minum khamar (arak atau minuman keras), terus menerus
berzina, memakan riba, durhaka kepada ibu bapak, orang ya
Hingga Engkau rela ." (HR Abu Hurairah)
Hingga Engkau rela ." (HR Abu Hurairah)
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3837. Imam Al
Baihaqi sendiri berkata: wa haadza isnaad dhaif –isnad hadits ini dhaif.
(Lihat Syu’abul Iman No. 3837)
Imam Ibnul Jauzi
menyebutkan adanya cacat pada hadits ini. (Imam Az Zaila’i, Takhrij Al
Kasysyaf, 3/265)
Alasan lemah dan
cacatnya hadits ini telah disebutkan oleh Imam Abul Hasan Al Kinani, dia
berkata:
وفيه محمد بن حازم
مجهول وعنه إبراهيم بن عبد الله البصري وعن هذا حامد بن محمود الهمداني لم أعرفهما
والله تعالى أعلم
Dalam sanad
hadits ini terdapat Muhammad bin Hazim, seorang yang majhul (tidak
dikenal), telah meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abdullah Al Bashri, dan dari
dia telah meriwayatkan Hamid bin Mahmud Al Hamdani, saya tidak mengetahui
keduanya. Wallahu Ta’ala A’lam. (Imam Abul Hasan Al Kinani, At Tanzih,
2/150)
Demikianlah kedhaifan hadits-hadits tentang nishfu
sya’ban.
Wallahu A’lam
Kontroversi Berpuasa Setelah 15 Sya’ban, terlarangkah?
Hadits larangan berpuasa setelah
separuh bulan Sya’ban memang ada, yaitu sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا كَانَ
النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
Jika sudah pada separuh bulan
Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa hingga masuk bulan Ramadhan.
Hadits ini dan -yang semisalnya-
diriwayatkan oleh:
-
Imam Ahmad
dalam Musnadnya No. 9707
-
Imam Abu
Daud dalam Sunannya No. 2337
-
Imam At
Tirmidzi dalam Sunannya No. 738
-
Imam An
Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2911
-
Imam Ibnu
Majah dalam Sunannya No. 6151
-
Imam Ibnu
Hibban dalam Shahihnya No. 3589
-
Imam Ath
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 1936
-
Imam Al
Baihaqi dalam AAs Sunan Al Baihaqi No.7750
-
Imam Ad
Darimi dalam Sunannya No. 1740
-
Imam Abu
‘Uwanah dalam Musnadnya No. 2710
-
Imam Abu
Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar, 2/82
-
Imam Ibnu
Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 3/21
-
Imam
Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7325
-
Imam Ad
Dailami dalam Musnad Firdaus No. 1006
Semua sanad hadits ini berasal dari Al ‘Ala bin
Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Tentang keshahihan hadits ini,
para ulama berbeda pendapat.
Pihak yang
menshahihkan
-
Imam At
Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At Tirmidzi No. 738)
-
Imam Ibnu Hibban memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya,
maka menurutnya ini adalah shahih. (Shahih Ibni Hibban No. 3589)
-
Beberapa
ulama masa kini, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan
shahih dalam berbagai kitabnya. (Shahih Abi Daud No. 2025, Shahih
Ibni Majah No. 1651, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1973, Ar Raudh
An Nadhiir No. 643, dll), juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707), dan Syaikh Ibnu Baaz juga menshahihkan. (Majmu’
Fatawa, 15/385)
Pihak yang
mendhaifkan
-
Imam Ahmad
dan Imam Yahya bin Ma’in berkata: hadits ini munkar! (Mir’ah Al Mafatih, 6/441,
Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
-
Imam
Abdurrahman bin Al Mahdi juga mengingkari riwayat Al ‘Ala bin Abdirrahman ini. (Syaikh
Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thuraifi, Syarh
Bulughul Maram, Hal. 47)
-
Imam Abu
Zur’ah dan Imam Al Atsram juga menyatakan munkar. (Lathaif Al Ma’arif,
Hal. 151)
Nah, perbedaan dalam
menilai keshahihannya tentu berdampak pada berbeda pula dalam mengamalkannya.
Bagi pihak yang mendhaifkan tentu sama sekali tidak masalah berpuasa setelah 15
sya’ban. Bagi yang menshahihkan tentu mereka melarang berpuasa setelah 15
Sya’ban, yaitu larangan dengan makna makruh.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah
melakukan tarjih sebagai berikut:
صححه الترمذي و غيره و اختلف العلماء في صحة هذا الحديث ثم
في العمل به : فأما تصحيحه فصححه غير واحد منهم الترمذي و ابن حبان و الحاكم و الطحاوي
و ابن عبد البر و تكلم فيه من هو أكبر من هؤلاء و أعلم و قالوا : هو حديث منكر منهم
ابن المهدي و الإمام أحمد و أبو زرعة الرازي و الأثرم و قال الإمام أحمد : لم يرو العلاء
حديثا أنكر منه
Dishahihkan oleh At Tirmidzi dan
selainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini, kemudian
berbeda pula tentang mengamalkan hadits
ini. Ada pun pihak yang menshahihkan adalah lebih dari satu orang, di antaranya
At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawi, dan Ibnu Abdil Bar. Namun
hadits ini diperbincangkan oleh para imam yang lebih besar dan lebih berilmu
dibanding mereka, mereka mengatakan: ini adalah hadits munkar. Mereka adalah
Ibnu Al Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Razi, dan Al Atsram.
Imam Ahmad berkata: “Al ‘Ala tidak pernah meriwayatkan hadits yang lebih
munkar dari ini.” (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 151)
Nampak bahwa Imam Ibnu Rajab
mendukung pendhaifan terhadap hadits ini, dengan alasan pihak yang mendhaifkan
lebih senior dan lebih berilmu dibanding yang menshahihkan.
Alasan pihak yang melarang
Sebagian ulama yang melarang
berpuasa setelah 15 Sya’ban mengatakan bahwa makruhnya hal ini karena
dikhawatiri melemahkan pelakunya karena dia berpuasa sepanjang bulan dan akan
berpuasa lagi ketika Ramadhan nanti, serta dikhawatiri dia telah menyambung dua
bulan puasa secara berturut-turut, padahal tidak ada puasa full kecuali
hanya Ramadhan saja. Jika tidak melemahkan, dan tidak pula dia
menyambungkannya, maka tidak apa-apa berpuasa setelah 15 Sya’ban. Atau, kemakruhannya adalah jika dia berpuasa
setelah 15 Sya’ban itu dilakukan sengaja dan
tanpa sebab, tanpa didahului oleh puasa pada hari sebelumnya, dan sekedar ingin berpuasa
saja. Sedangkan jika ada sebab seperti Senin Kamis, puasa Daud, atau dia sudah
terbiasa berpuasa maka tidak apa-apa.
Pada titik ini, sebenarnya tidak
ada perbedaan signifikan dengan para ulama yang membolehkan, mereka pun hampir
mengatakan serupa.
Pihak yang memakruhkan, seperti
Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:
والنهي للتنزيه رحمة على الأمة أن يضعفوا عن حق القيام بصيام
رمضان على وجه النشاط ، وأما من صام شعبان كله فيتعود بالصوم ويزول عنه الكلفة. ولذا
قيد بالإنتصاف أو نهي عنه لأنه نوع من التقدم والله أعلم.
Larangan hanya menunjukkan makruh
tanzih, sebagai kasih sayang untuk umat di mana mereka dapat mengalami
kelemahan untuk menjalankan shalat malam
ketika Ramadhan yang begitu giat dilaksanakan, ada pun bagi orang yang
berpuasa Sya’ban keseluruhannya maka pembiasaan itu dengan berpuasa bisa
menghilangkan taklifnya Ramadhan. Oleh karenanya berpuasa setengah bulan itu
atau larangannya, terikat oleh hal ini, karena hal itu (berpuasa setengah bulan setelah 15 Sya’ban)
termasuk jenis larangan “mendahulukan berpuasa” ketika menjelang Ramadhan.
Wallahu A’lam. (Mirqah Al Mafatih, 6/280)
Maksud larangan mendahulukan
puasa ketika menjelang Ramadhan adalah hadits berikut:
لَا
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
"Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa
sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan
puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu." (HR. Bukhari
No. 1815)
Mulla Ali Al Qari berkata lagi –
Beliau mengutip dari Al Qadhi ‘Iyadh, katanya:
المقصود استجمام من لا يقوى على تتابع الصيام فاستحب الإفطار
كما استحب إفطار عرفة ليتقوى على الدعاء فأما من قدر فلا نهي له ولذلك جمع النبي بين
الشهرين في الصوم اه وهو كلام حسن لكن يخالف مشهور مذهبه أن الصيام بلا سبب بعد نصف
شعبان مكروه
Maksudnya adalah memberikan
keringanan bagi orang yang tidak kuat puasa berturut-turut, maka dianjurkan
baginya untuk tidak berpuasa, sebagaimana
orang yang sedang wukuf di Arafah dianjurkan tidak berpuasa agar dia
kuat berdoa. Ada pun bagi orang yang mampu melakukannya maka tidak ada larangan
baginya, oleh karenanya Nabi pun menggabungkan puasa selama dua bulan, dst.
(Ali Al Qari berkata): ini adalah komentar yang bagus, tetapi berselisih dengan
madzhabnya sendiri bahwasanya berpuasa
tanpa sebab dilakukan setelah 15 Sya’ban adalah makruh. (Ibid)
Koreksi dari pihak yang
membolehkan
Selain karena hadits tersebut
dinilai dhaif, mereka pun mengoreksi alasan pihak yang melarang. Imam Al Mundziri Rahimahullah berkata
– dan Beliau termasuk yang membolehkan puasa Sya’ban setelah tanggal 15:
من قال إن النهي عن الصيام بعد النصف من شعبان لأجل التقوى
على صيام رمضان والاستجمام له ، فقد أبعد. فإن نصف شعبان إذا أضعف كان كل شعبان أحرى
أن يضعف ، وقد جوز العلماء صيام جميع شعبان.
Barang siapa yang mengatakan
bahwa larangan berpuasa setelah 15 Sya’ban adalah disebabkan kekuatan utuk
puasa Ramadhan dan meringankannya, maka itu adalah pemahaman yang jauh. Jika
memang setengah Sya’ban itu bisa melelahkan, maka berpuasa pada seluruh Sya’ban
adalah lebih pantas untuk melemahkan. Para ulama telah membolehkan berpuasa pada
seluruh hari Sya’ban. (Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al Mashabih,
6/874)
Jadi, jika puasa 15 hari
dianggapmembuat lemah sehingga dia dimakruhkan, maka seharusnya berpuasa
disemua hari Sya’ban lebih layak untuk dimakruhkan, karena puasa sepanjang
bulan lebih melemahkan disbanding 15 hari saja.
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki
Rahimahullah berkata:
قال بعض أئمتنا: يجوز بلا كراهة الصوم بعد النصف مطلقاً تمسكاً
بأن الحديث غير ثابت أو محمول على من يخاف الضعف بالصوم
Sebagian imam kami berkata: dibolehkan secara mutlak dan tidak makruh berpuasa
setelah separuh Sya’ban, berdasarkan dalil bahwa hadits yang melarangnya adalah
tidak tsabit (kuat), atau (kalau pun kuat, pen) maknanya adalah makruh bagi orang yang
menjadi lemah dengan puasanya tersebut. (Ibid)
Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi Hafizhahullah
berkata:
وحديث العلاء يدل على المنع من تعمد الصوم بعد النصف, لا لعادة، ولا مضافا إلى
ما قبله
Hadita Al ‘Ala ini menunjukkan
larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Sya’ban, padahal puasa bukan
kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya. (Al
Ilmam bisy Syai’ min Ahkamish Shiyam, Hal. 6)
Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah
juga berkata:
والمراد به النهي عن ابتداء
الصوم بعد النصف ، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة
Maksud dari larangan ini adalah
memulai puasa setelah separuh Sya’ban, ada pun berpuasa lebih dari sebulan atau
sebulan penuh maka itu sesuai dengan sunah. (Majmu’ Fatawa, 15/385)
Dengan memadukan semua
pandangan ulama ini, kesimpulannya:
-
Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, pihak
yang menshahihkan dan mendhaifkan adalah imam besar pada zamannya, namun pihak
yang menshahihkan adalah ulama yang lebih besar dan berilmu, sebagaimana kata
Imam Ibnu Rajab.
-
Sekali pun shahih, larangan ini bermakna makruh,
bukan haram.
-
Larangan terjadi jika hal itu membuat pelakunya
lemah ketika memasuki Ramadhan
-
Larangan juga berlaku bagi orang yang tidak
terbiasa puasa, namun sekalinya berpuasa
dia menyengaja melakukannya pada hari setelah separuh Sya’ban, tanpa dia dahului berpuasa pada hari-hari sebelumnya.
-
Makruhnya juga bagi orang yang melakukannya
tanpa sebab.
-
Jadi, puasa setelah separuh Sya’ban adalah boleh
bagi: 1. yang memang sudah terbiasa puasa lalu kebiasaannya itu diteruskan
ketika setelah 15 hari Sya’ban, 2. Yang melakukannya karena sebab khusus
seperti senin kamis, dan puasa Daud. 3. Yang tidak membuatnya lemah.
Sekian. Wallahu
A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi Ajma’in.
Farid Nu’man Hasan