Islamedia - Abi Hurairah (semoga Allah meridoinya)
berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa pernah melakukan
kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya maupun
sesuatu yang lain, maka hendaklah dia
minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak
berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia mempunyai amal saleh, akan
diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai
kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang dizalimi)
kemudian dibebankan padanya.” (H.R. Al-Bukhari) Rasulullah Saw.
mengajari kita untuk berani mengakui kesalahan.
Ini adalah
tindak lanjut dari sikap takut membawa dosa kezaliman saat berjumpa
dengan Allah. Kita dianjurkan untuk memiliki sikap berani mengakui
kesalahan dan kemudian meminta maaf. Dalam hadits di atas, Rasulullah
Saw. memerintahkan, “Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap
saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka
hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan
dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).”
Kezaliman tidak hanya
dilakukan oleh seorang penguasa kepada rakyatnya atau seorang pemimpin
kepada bawahannya. Setiap orang mempunyai celah untuk melakukan
kezaliman kepada sesamanya.
Kezaliman bisa dilakukan oleh lidah
atau tangan. Kata-kata yang menyakitkan, menistakan, memprovokasi, dan
mengklaim hanya dirinya yang berjasa (dan menggap orang lain tidak punya
kebaikan) adalah kezaliman. Tangan yang menyengsarakan, menghilangkan
hak orang lain, serta meruskan adalah kezaliman.
Muslim sejati
adalah orang yang tidak pernah menzalimi orang lain, baik dengan lidah
maupun dengan tangannya sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Orang muslim
(sejati) adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari
(gangguan) lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Manusia bukanlah malaikat. Siapa pun bisa melakukan kesalahan kepada
sesamanya. Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah
Saw. adalah segera meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Badzar
terhadap Bilal (semoga Allah meridoi mereka) dalam kisah berikut.
Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal.
Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak
perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam,
Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu
kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu
Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh
dalam dirimu ada perilaku jahiliyah.”
Mendengar nasihat
Rasulullah Saw. itu, Abu Dzar tersadar dari kesalahannya. Segera ia
menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakkan pipinya di tanah seraya
mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau
injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.” Namun Bilal tidak
memanfaatkan momentum ini untuk membalas dendam. Bilal malah berkata,
“Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan
mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja
untuk menghinakan Bilal.
Sikap seperti itulah yang seharusnya
ada pada diri kita saat kita berinterkasi dengan pihak lain, terutama
orang-orang terdekat kita seperti suami, isteri, anak, orangtua,
saudara, dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan
tidak akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Memang, untuk belajar mengakui kesalahan, seseorang membutuhkan
jenak-jenak untuk untuk melakukan perenungan. Dia harus bisa menyisihkan
waktu untuk melepas berbagai kesibukan seraya merenungkan berbagai
ucapan atau tindakan saat berinteraksi dengan pihak lain.
Kalau
saja kita mengikuti nafsu, selalu ada pihak lain yang bisa disalahkan
dalam hal apa pun. Misalnya ketika seorang anak disuruh membeli satu
barang oleh ibunya dan ternyata ia pulang dengan membawa barang lain
yang tidak disuruh, maka cara yang paling mudah (yang merupakan cara
nafsu alias cara egois) adalah menyalahkan si anak dengan berbagai
tuduhan.
“Tidak dengar, tidak perhatian. Nakal!” Mungkin
kalimat itu yang akan meluncur dari mulut seorang ibu yang egois.
Tidakkah kita berfikir, “Jangan-jangan, perintah saya tadi memang tidak
jelas sehingga ditangkap oleh si anak secara samar atau ditangkap dengan
persepsi lain.”
Pikiran serupa hendaknya diterapkan ketika
orang lain merespon atau bereaksi negatif terhadap ucapan atau tindakan
kita. Mungkin orang itu memang salah merespon ucapan kita. Tapi tidak
mustahil juga memang kitalah yang salah. Tanpa kita sadari, mungkin
kalimat yang kita ucapkan direspon sebagai kalimat yang melecehkan atau
menyinggung perasaannya.
Ini adalah salah satu wujud kebenaran
sabda Rasulullah Saw., “Orang mukmin itu cermin bagi saudaranya.”
Bukankah cermin hanya akan memantulkan bayangan benda yang ada di
hadapannya?
Dalam kondisi seperti ini, segeralah meminta maaf.
Ini adalah cara yang bijak dan tepat. Katakanlah bahwa sebetulnya
substansi yang kita maksud tidak terutarakan dengan tepat. Boleh jadi
kita terkesan mengutarakan substansi kalimat dengan emosional atau
mendikte.
Maka bukanlah pada tempatnya jika kita ngotot dengan
dalih bahwa yang kita sampaikan adalah benar. Boleh jadi itu benar tapi
kita seharusnya minta maaf karena menyampaikan keinginan dengan
cara-cara yang tidak benar.
Al-Quran mengajarkan kepada kita,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar (lurus, tepat), niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)
Kata sadiida dalam ayat di atas berasal dari kata sadaad yang artinya
lurus atau tepat. Bukankah kata-kata yang bagus adalah bagian dari
ketakwaan? Perintah mengucapkan kata-kata yang lurus atau tepat setelah
perintah takwa sungguh merupakan isyarat tentang betapa pentingnya dan
hebatnya peran kata-kata dalam kehidupan serang muslim.
Bahkan
ayat selanjutnya menegaskan bahwa dengan takwa serta kata-kata yang
lurus dan tepat itu segala pekerjaan dan amal kita akan menjadi baik dan
beres.
Sedemikian pentingnya urusan kata-kata ini sehingga
kita dianjutkan untuk menggunakan pikiran jernih saat mendapatkan
masukan, koreksi, ataupun nasihat dan bukannya sibuk mencari pembelaan.
Pakailah rumus “Jangan-jangan dia memang benar” atau “Barangkali nasihat
dia ada gunanya.”
Mencari-cari alasan bela diri untuk sekedar
menampakkan bahwa diri tidak bersalah tidaklah menguntungkan sama
sekali. Cara demikian tidaklah mengubah hakikat sesuatu. Contohlah cara
yang dipraktikan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dengan tidak
sungkan dan berani minta maaf.
Wallahu a’lam. Jangan merasa dihina jika dinasihati.
Tate Qomaruddin Lc