Islamedia - Antasari Azhar masih bergerilya mencari keadilan. Meskipun jatuh berkali-kali hingga upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA) pada Februari 2012 kini Antasari bangkit. Dia tidak frustrasi.
Antasari menguji sejumlah pasal dalam undang-undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti, Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 tentang Kejaksaan, dan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang mengatur ketentuan upaya PK hanya satu kali.
Tidak hanya itu, Antasari juga mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel atas mangkraknya kasus pengirim pesan singkat (SMS) gelap dari telepon genggam Antasari kepada Dirut PT Rajawali Putra Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.
Antasari menilai Pasal 8 Ayat (5) UU 16/ 2004 tentang Kejaksaan, dan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP layak dibatalkan oleh MK sebab inkonstitusional.
Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 melanggar hak konstitusinya, karena sebagai jaksa karier sewaktu menjabat Ketua KPK, harus menjalani pemeriksaan perkara pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen di Kepolisian.
Sepatutnya, sebagai jaksa karier pemeriksaan yang dia jalani harus dilakukan atas izin Jaksa Agung, sebagaimana ketentuan Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 tentang Kejaksaan.
Faktanya, hak konstitusinya tercederai karena Hendarman Supandji, Jaksa Agung pada saat itu, tidak pernah memberi izin pemeriksaan terhadap Antasari. Sesungguhnya keluhan-keluhan Antasari mengenai hal itu termasuk mempertanyakan siapa pengirim SMS gelap dari nomor ponsel yang bersangkutan telah disampaikan dalam persidangan. Namun pengadilan mengabaikan fakta tersebut sampai pada tingkat PK.
Keterangan ahli yang menyebut SMS itu dikirim bukan berasal dari telepon genggam Antasari hanya didengar namun tidak dianggap. Pada sisi lain tidak sulit bagi penyidik Polri untuk mengadakan penyelidikan baru menindaklanjuti fakta persidangan itu mengingat kecanggihan alat-alat teknologi yang dimiliki Kepolisian.
Adanya sikap keengganan, dan sikap mengabaikan memperuncing dugaan kriminalisasi terhadap Antasari. Proses hukum yang dia lalui terang-terangan menunjukkan adanya ketidakadilan. Otomatis tabir-tabir yang merupakan kunci dalam membongkar perkara Antasari tidak tersingkap.
Publik menanti, apakah putusan PN Jaksel bakal memberi keadilan bagi Antasari dengan mengabulkan permohonannya, dan Polri bakal menyelidiki SMS gelap tersebut dengan tuduhan Pasal 35 UU RI 11/2008 tentang ITE.
Jika dikabulkan, tentu putusan tersebut dapat menjadi amunisi bagi Antasari untuk dijadikan bukti baru (novum) dan membebaskannya dari tuduhan otak pembunuhan berencana dengan pidana penjara 18 tahun.
Akan tetapi, percuma Antasari memiliki ribuan novum jika MK tidak mengabulkan permohonannya dengan memutus PK dapat dilakukan lebih dari satu kali atas pertimbangan tertentu. Segala kekhawatiran tentu menyertai upaya-upaya hukum yang sedang ditempuh. Namun, demi keadilan jangan menyerah Antasari! (SP/BS)
Antasari menguji sejumlah pasal dalam undang-undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti, Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 tentang Kejaksaan, dan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang mengatur ketentuan upaya PK hanya satu kali.
Tidak hanya itu, Antasari juga mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel atas mangkraknya kasus pengirim pesan singkat (SMS) gelap dari telepon genggam Antasari kepada Dirut PT Rajawali Putra Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.
Antasari menilai Pasal 8 Ayat (5) UU 16/ 2004 tentang Kejaksaan, dan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP layak dibatalkan oleh MK sebab inkonstitusional.
Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 melanggar hak konstitusinya, karena sebagai jaksa karier sewaktu menjabat Ketua KPK, harus menjalani pemeriksaan perkara pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen di Kepolisian.
Sepatutnya, sebagai jaksa karier pemeriksaan yang dia jalani harus dilakukan atas izin Jaksa Agung, sebagaimana ketentuan Pasal 8 Ayat (5) UU 16/2004 tentang Kejaksaan.
Faktanya, hak konstitusinya tercederai karena Hendarman Supandji, Jaksa Agung pada saat itu, tidak pernah memberi izin pemeriksaan terhadap Antasari. Sesungguhnya keluhan-keluhan Antasari mengenai hal itu termasuk mempertanyakan siapa pengirim SMS gelap dari nomor ponsel yang bersangkutan telah disampaikan dalam persidangan. Namun pengadilan mengabaikan fakta tersebut sampai pada tingkat PK.
Keterangan ahli yang menyebut SMS itu dikirim bukan berasal dari telepon genggam Antasari hanya didengar namun tidak dianggap. Pada sisi lain tidak sulit bagi penyidik Polri untuk mengadakan penyelidikan baru menindaklanjuti fakta persidangan itu mengingat kecanggihan alat-alat teknologi yang dimiliki Kepolisian.
Adanya sikap keengganan, dan sikap mengabaikan memperuncing dugaan kriminalisasi terhadap Antasari. Proses hukum yang dia lalui terang-terangan menunjukkan adanya ketidakadilan. Otomatis tabir-tabir yang merupakan kunci dalam membongkar perkara Antasari tidak tersingkap.
Publik menanti, apakah putusan PN Jaksel bakal memberi keadilan bagi Antasari dengan mengabulkan permohonannya, dan Polri bakal menyelidiki SMS gelap tersebut dengan tuduhan Pasal 35 UU RI 11/2008 tentang ITE.
Jika dikabulkan, tentu putusan tersebut dapat menjadi amunisi bagi Antasari untuk dijadikan bukti baru (novum) dan membebaskannya dari tuduhan otak pembunuhan berencana dengan pidana penjara 18 tahun.
Akan tetapi, percuma Antasari memiliki ribuan novum jika MK tidak mengabulkan permohonannya dengan memutus PK dapat dilakukan lebih dari satu kali atas pertimbangan tertentu. Segala kekhawatiran tentu menyertai upaya-upaya hukum yang sedang ditempuh. Namun, demi keadilan jangan menyerah Antasari! (SP/BS)