Islamedia - Belum genap tiga
minggu kejadian penyerbuan puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Artileri Medan 15/105 Kodam II Sriwijaya terhadap Mapolres Ogan Komiring Ulu
(OKU), terjadi kembali penyerbuan 11 oknum anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus)
terhadap Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta (23/3).
Bedanya, korban kekerasan
adalah masyarakat sipil—terlepas statusnya sebagai apa. Empat orang tersangka
pembunuh Sersan Kepala Heru Santoso, tewas dibantai dengan 31 peluru tajam yang
dimuntahkan oleh gerombolan bersenjata di luar garis komando. Jiwa semangat
korsa antarprajurit dengan semangat balas dendam yang menyengat.
Saya akhirnya
terketuk untuk menulis setelah lama merutuki tentang tidak tegaknya hukum di
negeri ini. Kisah pengakhiran hidup manusia ala film-film Hollywood ini adalah
sebuah bentuk kekejian hingga menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi kita.
Serupa dengan kebengisan yang ditunjukkan oleh 10 orang di Hugo’s Cafe dengan
cara memukuli, menendang, memukuli dengan botol minuman keras, sampai
menyeret-menyeret Heru Santoso saat terluka, hingga tewas.
Pendapat saya ini
terlepas dari laku premanisme yang memang wajib diberantas, empati kepada Iin,
Istri Heru Santoso yang hamil delapan bulan anak pertama mereka, harapan kepada
Polri untuk bisa bekerja secara profesional, dan juga kecintaan serta dukungan kita
kepada kesatuan elit republik ini, Kopassus.
Kemana Supremasi Sipil?
Pertama, penyerbuan
oleh oknum Kopassus ke LP Cebongan hingga membawa korban jiwa itu adalah
sesungguhnya menyerang kewibawaan supremasi masyarakat madani yang
digadang-gadang sejak reformasi itu bermula. Mengutip Rene L Pattiradjawane (Kompas,
5/4) pembantaian LP Cebongan adalah Petrus 2.0 yang berbeda motivasi. Tujuannya
mengukuhkan kekejaman dan membuat takut rakyat sekaligus pelan-pelan
menghancurkan bangsa ini dalam rangka membangun oligarki bersenjata menguatkan
kartel militer.
Pesan serupa:
“Awas! jangan macam-macam dengan kami.” ini jelas menunjukkan bahwa hukum macam
apapun tak akan mampu untuk bisa menyentuh mereka. Hukum sipil tak akan berlaku
kepada mereka. Sistem peradilan militerlah yang akan menanganinya. Dan kita
tahu bahwa peradilan militer seringkali tidak memberikan hukuman yang maksimal
kepada para pelanggar hukum yang melibatkan anggota militer. Efek hukum yang seperti ini bisa jadi memicu
mereka untuk bergerak melakukan pembalasan keji.
Padahal kalau
diingat, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai
kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum
internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara
yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
Pada pasal 65 ayat
(2) UU yang sama menegaskan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan militer
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU. Masalahnya
pembahasan revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer antara DPR
dan pemerintah sejak tahun 2006 selalu menemui jalan buntu, karena pemerintah
bersikeras semua tindak pidana prajurit TNI dibawa ke pengadilan militer.
Aniaya Asas Praduga Tak Bersalah
Kedua, pesan yang
tertangkap lainnya adalah hukum itu nomor entah yang keberapa, yang terpenting
adalah pembalasan dengan hukum rimba. Asas praduga tak bersalah diinjak-injak
sedemikian rupa—walau selama ini pun asas hukum ini terkoyak-koyak oleh media
yang melakukan pembunuhan karakter seolah-olah terbukti bahwa para tersangka
sudah pasti menjadi orang-orang yang bersalah sebagai pelaku kriminal.
Pasal 8 UU Nomor 14
tahun 1970 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 35 Tahun 1999
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menegaskan tentang asas
praduga tak bersalah ini: “Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan
Pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”
Kita tidak tahu,
kadar kesalahan dari keempat orang tersangka itu. Apakah mereka mempunyai kadar
kesalahan yang sama atau berbeda. Inilah
fungsi dari sistem peradilan untuk membuktikannya. Sehingga akan terkuak mana
yang berperan lebih besar dalam peristiwa pembunuhan terhadap Sersan Kepala
Heru Santoso. Vonis hukumnya tentu berbeda masing-masing. Penyerbuan oleh oknum
prajurit Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah, ini sudah
jelas menafikan hal itu.
Copy-Paste
Ketiga, tindakan
ini pun adalah cerminan dari ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum yang
berlaku di Indonesia. Alih-alih memberikan hukuman yang berat kepada pelaku
kriminal, para penegak hukum ikut ‘bermain’ yang dimulai sejak tahap
penyelidikan sampai pemenjaraannya entah dengan motif politik ataupun ekonomi—walau
dengan ini masyarakat terusik rasa keadilannya. Bahkan penjara tak mampu menjerakan
melainkan menjadi tempat penggemblengan dan penginternalisasian nilai-nilai
kriminal.
Yang perlu
dikhawatirkan lagi atas tindakan ini adalah masyarakat sipil lain bisa meniru-nerapkannya.
Sekelompok orang bersenjata atau mereka yang tanpa senjata tetapi mampu
mengumpulkan masyarakat dalam jumlah sangat banyak dapat kembali mengulang
peristiwa LP Cebongan untuk menyerbu, membakar, membunuh sebagai upaya balas
dendam kepada para tersangka. Kita tak
bisa membayangkan apa yang terjadi jika hal ini terbukti, hancur sudah sistem
hukum di negeri ini. Berapa banyak lagi korban jiwa yang akan melayang?
Momentum Tepat
Pada Kamis (4/4)
lalu, konferensi press oleh Tim Investigasi TNI AD yang diketuai oleh Brigjen
Unggul Yudhoyono yang mengumumkan 11 tersangka penembakan empat tahanan di LP
Cebongan telah memberikan preferensi kepada kita tentang hal apa saja yang
perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulang lagi.
Momentum ini adalah
saat yang tepat agar seluruh komponen bangsa kembali kepada aturan hukum yang
berlaku dan tegak kepada siapa pun. Pembahasan revisi UU Peradilan Militer
harus segera dilakukan sebagai amanat dari UU TNI yang menjunjung tinggi adanya
supremasi masyarakat sipil. Premanisme adalah catatan penting untuk Polri agar
sungguh-sungguh memberantasnya, bukan malah memeliharanya.
Akhirnya menjadi
perhatian bagi pemerintah provinsi DI Yogyakarta untuk kembali menata
pusat-pusat hiburan malam. Sungguh, tanpa keberadaannya DI Yogyakarta pun tidak
akan pernah mati menjadi kota pelajar dan tujuan wisata. DI Yogyakarta adalah ikon aman dan tenteram.
Bukan Mangga Besar 2.0.
Riza
Almanfaluthi