Islamedia - Lima orang siswi pelaku penistaan agama telah
dikeluarkan dari SMA Negeri 2 Tolitoli dan tidak diperkenankan untuk mengikuti
ujian nasional untuk tahun pelajaran 2012-2013. Ini merupakan hukuman berat
buat para pelaku walaupun mereka masih diperbolehkan untuk mengikuti ujian paket C tahap kedua bulan Juni 2013
mendatang.
Penistaan agama yang dilakukan mereka adalah dengan
melakukan praktik gerakan shalat diselingi lagu one more night, memplesetkan surat Al-Fatihah, mengombinasikannya
dengan tarian hiphop, ditambah dengan gerakan-gerakan seronok dan tak senonoh. Pelaku
mendokumentasikannya dalam kamera telepon
genggam lalu mengunggahnya dalam situs jejaring sosial facebook.
Apa yang dilakukan mereka tidak lepas dari gejolak jiwa
muda yang tidak memikirkan dampak negatif dan jangka panjang dari apa yang
diperbuatnya. Keisengan yang berbuntut pada tuduhan pelecehan agama. Tingkah
laku mereka pun menambah daftar panjang perempuan muda sebagai objek di depan
kamera. Dengan maksud yang sama, cuma iseng-iseng, rela telanjang dan direkam
lalu gambarnya disebarkan oleh orang yang tak bertanggung jawab di berbagai
forum diskusi jagat maya. Maka selain jargon think before click layak pula diperhatikan: think before record.
Tidak bisa tidak ini juga merupakan ekses pembangunan dunia
informasi dan komunikasi di negeri ini. Kecanggihan telepon genggam,
perkembangan internet hingga pelosok, maraknya media sosial, kecepatan unduh
dan unggah file, fenomena Gangnam Style dan Harlem Shake, telah mengubah perilaku sebagian generasi mudanya
untuk tak malu-malu dan semutakhir mungkin memberitahukan kepada dunia apa yang
telah, sedang, dan akan mereka lakukan dalam bentuk teks, gambar, ataupun
format video. What’s happening? What’s on your mind?
Kerja Bareng
Yang paling jelas dari semua itu adalah ketidakmampuan membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Lalu siapa yang harus disalahkan?
Dalam surat elektronik yang dikirimkan oleh pihak SMA
Negeri 2 Tolitoli kepada pihak media untuk menjelaskan kronologis peristiwa
tersebut, ada dua saran yang mengemuka
yakni perlunya pengawasan dari para orang tua dan pendidik kepada
peserta didik dalam interaksinya di dunia maya, serta perlunya pembekalan dan
bimbingan iman dan akhlak agar ruang gerak mereka terkontrol dengan nilai-nilai
ajaran agama.
Ajakan kepada para orang tua dan pendidik untuk ikut
serta mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak berulang adalah hal yang
bagus. Tak ada saling tuduh siapa yang harus bertanggung jawab atas perbuatan
para siswi. Daripada sekadar menyalahkan sekolah yang tak mampu mengawasi
ataupun para orang tua yang menyerahkan seluruhnya pendidikan dan penanaman
nilai-nilai kepada pihak sekolah, ajakan itu meluruhkan ego dan mengafirmasi
bahwa sekarang saatnya kerja bareng meluruskan apa-apa yang telah bengkok dan
membetulkan apa-apa yang telah salah.
Orang tua dan para pendidik sebagai orang-orang
terdekat para siswa perlu menanamkan pemahaman kepada mereka untuk bisa
berinternet secara sehat. Jangan pula bosan untuk menanamkan nilai-nilai agama setiap
saat kepada para murid. Ditengarai, semakin sibuknya para orang tua dalam
mencari nafkah dan semangat kebebasan yang kebablasan pascareformasi menjadi
sebab sungkannya para orang tua dalam penanaman nilai-nilai itu. Alasan: “mereka
sudah gede” seakan menjadi pembenar bahwa selesailah tugas orang tua dalam
mendidik. Padahal tidak.
Bagi penulis, kata ‘sering-seringlah’ menjadi salah
satu kiat dalam mendidik anak. Sering-seringlah mengajarkan kepada anak tentang
iman dan amal shalih. Sering-seringlah menegur ketika kesalahan terjadi—tentu dengan
cara yang baik. Sebuah pendiaman hanya akan menjadi pembenaran akan kesalahan.
Jangan bosan untuk mengingatkan mereka tentang kenikmatan surga dan kengerian
neraka. Yang paling penting adalah menunjukkan sebuah keteladanan, karena
keteladanan lebih berharga daripada 1000 nasehat.
Jangan Dibuli
Dua hukuman di dunia yang diterima oleh para siswi
tersebut adalah hukuman yang berat. Tidak akan ada cerita kelulusan sebagaimana
teman-teman mereka yang lain. Keceriaan terampas dengan kesedihan yang menimpa
pula kepada orang tua mereka. Sebagai mukallaf yaitu pribadi muslim yang
sudah dikenai hukuman dan bertanggung jawab terhadap dosa-dosanya sendiri, meminta
ampunan kepada Allah adalah cara terbaik. Untuk selanjutnya menatap masa depan
dengan lebih optimis lagi. Dunia tidak
berakhir karena tidak mengikuti ujian nasional.
Ketika permohonan ampun telah dipanjatkan, penyesalan
sudah ditunjukkan, hukuman sudah dijalankan, maka mental para siswi pun perlu
dipertimbangkan. Tidak membulinya dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah
yang elok. Semata mereka adalah bagian
dari generasi masa depan Indonesia, bagian dari generasi yang akan mengalami
bonus demografi di tahun 2020-2030.
Yaitu bagian dari penduduk Indonesia berusia produktif (15
tahun-64 tahun) dengan beban tanggungan berkurang dalam menanggung penduduk
yang tidak produktif. Yang pada akhirnya mampu menjadi penggerak utama ekonomi
bangsa, dengan iman dan masa lalu sebagai pondasi dan pelajaran paling
berharga. Kita selalu punya harapan.
Riza Almanfaluthi on Twitter: @rizaalmanfaluth