Islamedia - Daulah
Usmaniyah memang memiliki obsesi menyebarkan dakwah Islam dengan futuhat dan
menaklukan Konstantinopel sekaligus, mengingat secara geografis kota yang menjadi simbol
peradaban negara adidaya, Romawi waktu itu berada tak jauh dari pusat
pemerintahan Khilafah Usmaniyah. Cita-cita besar ini belum lagi terwujud, namun
penguasa Usmaniyah saat itu, Sultan Muhammad I (1394-1421 M) memilih melakukan
manuver lain.
Beliau mengirim surat
kepada beberapa pejabat provinsi di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk
mengirim para pakar dengan latar belakang berbagai disiplin di samping keahlian
utama sebagai pakar ilmu-ilmu agama.
Dari seleksi
tim ini terkumpullah sembilan nama yang memiliki berbagai keahlian di bidang
yang bermacam-macam, selain memiliki dasar ilmu agama yang kuat. Sultan
Muhammad I kemudian memberangkatkan mereka ke pulau Jawa pada tahun 1404 M (808
H). Mereka inilah nantinya yang dikenal sebagai Tim Sembilan (Juru Dakwah) atau
yang lebih popular dengan istilah Walisongo. Yaitu tim dakwah yang
berjumlah sembilan di setiap periodenya, menurut beberapa sumber manuskrip kuno
di Museum Istana Turki (Istanbul), dan Koprah
Ferrara (yang dikoleksi oleh seorang penulis di Ferrara, Italia. Kini tersimpan di Museum
Nasional Leiden)
.
Periode
walisongo dimulai sejak 1404 M hingga berakhir pada tahun 1569 M, sebelum
akhirnya tim sembilan ini disibukkan dengan perlawanan terhadap penjajahan
Portugis. Mereka terbagi menjadi enam periode. Delegasi dakwah periode pertama
ini dipimpin oleh seorang alim Turki bernama Maulana Malik Ibrahim (Wafat di
Gresik tahun 1419 M) yang pakar irigasi dan administrasi negara. Delapan orang
lainnya adalah: Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan -pakar
pengobatan (medis), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir -pakar Ilmu Tafsir,
Maulana Muhammad Al Maghrobi, dari Maroko -meninggal di Jatinom, Klaten,
Maulana Malik Isro’il, dari Turki -pakar administrasi negara, Maulana Muhammad
Ali Akbar -seorang dokter dari Persia, Maulana Hasanudin dan Maulana Aliyudin,
keduanya dari Palestina, serta Syekh Subakir, dari Iran, yang pakar astronomi.
Dakwah
Islamiyah di Nusantara ini melibatkan orang-orang dari berbagai etnis dan
kewarganegaraan. Menariknya, beberapa anggota tim dakwah tersebut berasal dari
Palestina. Masih menurut Koprah Ferrara setidaknya ada empat orang dari tim
Walisongo yang berasal dari Palestina:
1.
Maulana Hasanuddin (Walisongo periode I: 1404 – 1435 M)
2.
Maulana Aliyuddin (Walisongo periode I: 1404 – 1435 M)
3.
Syeikh Ja’far Shodiq, Sunan Kudus (Walisongo periode
II: 1435 – 1463 M)
4.
Syafif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati (Walisongo
periode II: 1435 – 1463 M)
Keempatnya
kemudian hidup dan berketurunan di Indonesia. Bahkan secara khusus
Syeikh Ja’far Shadiq menamakan tempat dakwahnya dengan nama Kota Kudus
terinspirasi dari kota
suci al-Quds di Palestina. Beliau juga mendirikan sebuah masjid agung yang
dinamakan dengan al-Masjid al-Aqsha tapi lebih dikenal dengan Masjid Menara
Kudus.
Itulah
sepenggal kisah enam abad yang lalu. Keterkaitan historis Palestina dengan
negeri-negeri tujuan dakwah sangat erat, termasuk di antaranya Indonesia. Para da’i dari Palestina pun memiliki andil besar dalam
peran penyebaran dan pengukuhan agama Islam di Indonesia.
Maka, secara
historis, Indonesia
memiliki simpul kuat yang mengikat kedua pihak. Pertama: Simpul sejarah
perjuangan dan penyebaran Islam di Indonesia di era Walisongo. Kedua: Palestina
menjadi entitas (bangsa) pertama yang mendorong dan mengakui kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1945, di samping Mesir yang menjadi negara pertama yang mengakuinya.
Selain hal tersebut, sebagian penduduk Indonesia bahkan memiliki simpul
yang lebih erat. Karena para da’i di atas memiliki keturunan di Indonesia.
Pada tanggal
29 Nopember 1947 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi nomer 181 yang membagi
wilayah Palestina menjadi dua: 54,7% untuk Israel (14.400 km2) dan
44,8% untuk Palestina (11.780 km2) dan 0,5 % Jerussalem/Al-Quds
wilayah internasional di bawah pengawasan PBB.
Namun,
pembagian yang tak adil ini pun semakin menjadi sarang kezhaliman Zionisme.
Lihat saja peta wilayah terkini: Wilayah Palestina seluas 26.990 km2,
hanya 23 % (=6.220 km2) yang berada di bawah otoritas Bangsa
Palestina: (Gaza : 360 km2 dan
Tepi Barat : 5.860 km2) sementara Israel menduduki 77 % wilayah
tersebut atau seluas (20.770 km2). Di lain pihak kita bisa
memperhatikan perkembangan populasi orang Yahudi di Palestina dari tahun ke
tahun (termasuk diantaranya yang paling besar melalui migrasi).
–
1799 M : 5.000 orang
–
1876 M : 13.920 orang
–
1914 M : 80.000 orang
–
1918 M : 55.000 orang
–
1948 M : 650.000 orang
–
2000 M : 4.947.000 orang (38% dari populasi Yahudi di dunia)
Permasalahan
yang dihadapi Bangsa Palestina, tidaklah sekedar masalah pendudukan tanah atau
perebutan sejengkal wilayah. Bagi umat Islam ini sangat ideologis, terlebih
situs-situs peninggalan Islam yang terancam terdistorsis dan punah. Bagi
kalangan non muslim sekalipun ini adalah masalah kemanusiaan. Pendudukan
wilayah yang dikenal saat ini sejatinya adalah penjajahan, perampasan dan
kemudian berjudul penindasan di berbagai aspek.
Pembunuhan-pembunuhan
kecil melalui berbagai bentuk bisa jadi “terpaksa” dilakukan untuk meredam
perlawanan terhadap mainstream pendudukan yang direkayasa
sejak dari dideklarasikannya negara zionis ini. Sampai yang terpopuler adalah
prahara kemanusiaan yang menimpa Gaza di tahun
2008-2009 serta serangan Israel
terakhir 2012, merupakan bukti nyata bahwa ada rasa kemanusiaan yang dikoyak
dan dihilangkan.
Jika sebagai
manusia Indonesia yang tersimpul dengan darah, ikatan ideologis sebagian besar
penduduknya kemudian masih memiliki rasa kemanusiaan yang terdokumentasikan
dalam pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”,
maka tak ada alasan untuk tidak membela bangsa Palestina.
Membela yang
berarti mengembalikan hak kembali para pengungsi di pengasingan ke tanah air
mereka. Membela berarti memperjuangkan kemerdekaannya. Membela berarti
mendukung mereka mengatur nasibnya sendiri. Membela berarti melindungi
aset-aset sejarahnya. Itulah semangat keberkahan yang terkandung dalam pesan
Allah “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami” (QS. Al-Isra’: 01)
![]() |
Dr. Saiful Bahri, M.A - Ketua ASPAC for Palestine |