Islamedia - “Hadap-hadapanlah antum dengan teman yang duduk di sebelah antum,”
pinta Murobbi kepada kami yang sedang memasuki materi hakikat ukhuwah.
Aku pun melakukannya. Aku berhadap-hadapan dengan Ilyas, ikhwah yang
paling dekat dengan diriku.
“Lalu, saling berpegangan erat tangan kalianlah,” lagi-lagi kami
melakukan perintah Murobbi.
“Untuk buktikan makna ukhuwah, katakanlah dengan penuh kasih sayang.
Akhi, aku mencintaimu karena Allah, lalu berikan barang yang paling antum sukai
dan sedang antum bawa saat ini. Silakan.”
Aku menatap “Fiqih Dakwah” Syaikh Musthafa Masyhur. Haruskan aku
menyerahkan barang yang aku cintai ini, yang baru saja aku beli dengan hasil
keringat sendiri? Buku yang dibeli oleh seorang tukang keripik?
Salah satu adegan di dalam cerpen
berjudul “Bila Buku Dipertaruhkan” cukup menyentil nurani saya. Mengingatkan kembali akan makna ukhuwah yang
pernah tertanam di otak saya, saat masih duduk di bangku kuliah. Adegan itu
pernah saya alami juga, di awal kegiatan Mentoring Rohani Islam. Berhadap-hadapan
dengan seorang teman, saling meminta maaf, lalu membasahi bahu teman dengan air
mata. Ukhuwah, satu kata indah yang mengikat hati setiap mukmin dengan mukmin
lainnya.
Tingkatan tertinggi di dalam
ukhuwah adalah manakala kita sanggup memberikan barang kecintaan kita kepada
orang lain. Saya teringat saat seorang teman memuji gamis yang dipakai seorang akhwat. Akhwat itu lalu berkata, “Aduh, berarti saya harus memberikan gamis
ini ke anti ya!” Yah, kejadian itu
tak terjadi.
Sebab, sang teman menolak. Inilah indahnya ukhuwah, yang
diteladani dari hubungan para sahabat nabi, saat kaum Muhajirin berhijrah, dan
ditampung di rumah-rumah kaum Anshar. Kaum Anshar begitu ringan tangan
memberikan apa pun yang mereka miliki untuk kaum Muhajirin. Sudahkah kita sampai
ke tingkatan itu? Jangankan memberikan benda kesayangan kepada sahabat,
mendengar sahabat kita mendapatkan rezeki saja belum tentu kita ikut
berbahagia. Yang ada malah iri dan dengki.
Kisah-kisah di dalam buku “Dalam
Lingkaran Cinta” karya M. Sholich Mubarok ini benar-benar menyentil saya. Saya
rindu membaca cerita yang bisa mendekatkan hati kepada Sang Pencipta,
mengeratkan kasih sayang kepada sesama muslim, mengenyahkan ego, prasangka
buruk, dan nafsu pribadi. Saya rindu sekali membaca buku yang menggetarkan
hati, dan saya menemukan di sini. Buku ini merangkum semua kisah cinta, suami
kepada istri, sahabat kepada sahabat, dan semua yang ada di dalam lingkaran
Islam.
Ada kisah seorang suami yang
membenci bunga mawar, tapi harus memaksakan diri membeli bunga mawar untuk
istrinya yang sedang sekarat, karena sang istri sangat ingin melihat bunga
mawar sebelum ajal menjemput. Kisah ini tertulis dengan indah di dalam cerpen
berjudul “Lelaki Bunga.”
Di lain tempat, ada kisah seorang santri yang harus
melawan nafsunya untuk mencuri sandal di bulan Ramadan, tapi akhirnya kalah
juga karena terbentur oleh keadaan dalam cerpen berjudul “Siapa Penculik Sandal
Gesit.” Dan beberapa kisah terjadi dalam lingkup jurnalistik, di mana sang
penulis berkiprah. Perjuangan seorang wartawan muda saat harus meliput
penangkapan seorang koruptor, bahkan saat harus mengikuti peluncuran film LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual). Semua kisah ditulis dengan bahasa yang
mudah dicerna dan penuh hikmah.
Namun, tak ada gading yang tak
retak. Sebagai buku yang diterbitkan indie, buku ini sudah baik secara kover,
kertas, bidding, dan layout isi. Sayangnya, editorialnya masih harus dibenahi.
Sebagai buku yang dicetak POD (Print on Demand), perbaikan-perbaikan itu masih
memungkinkan.
Pengantar Leyla Hana dibuku "Dalam Lingakaran Cinta" karya Muhammad Sholich
Mubarok