Islamedia - PKS kembali menjadi sorotan dari berbagai penjuru mata angin. Seolah
segala gerak-gerik PKS menjadi tema yang tak pernah kering untuk dibahas dari
obrolan warung kopi, forum-forum media sosial hingga media massa.
Kali ini yang
di soal oleh mereka adalah “keberanian” PKS untuk mengajukan caleg dari
kalangan non muslim di daerah Indonesia Timur seperti di Papua.
Dan seperti biasa, jika PKS menjadi topik berita di media online
mainstream maka berita itu akan segera dibanjiri ratusan komentar, dan
rata-rata komentar tersebut bernada menghakimi hingga pada tingkat ekstrim
seperti mengkafirkan organisasi PKS dan para kadernya. Astaghfirullah.
Mungkin yang tergambar dibenak mereka yang menyoal “keberanian” PKS ini
adalah apa tidak ada kader, simpatisan, orang sholeh, atau ummat Islam untuk
dicalonkan menjadi caleg di daerah MINORITAS Muslim tersebut? Sehingga harus
mengajukan pendeta menjadi caleg?
Benarkan PKS sudah berubah seperti yang mereka sangkakan? Kenapa PKS sampai
“berani” mengajukan pendeta menjadi caleg di daerah MINORITAS Muslim? Apa PKS
sudah menanggalkan ideologinya demi kepentingan suara dan malah memecah belah
ummat Islam?
Untuk menjawab pertanyaan di atas mari kita lihat kondisi kultural
masyarakat daerah mayoritas non muslim tersebut.
Saya tidak tau alasan utama mengapa struktur PKS di daerah mayoritas non
muslim mengajukan pendeta menjadi caleg. Namun ada tulisan dari salah satu
kader PKS Papua yang saya baca di sebuah milis cukup memberi gambaran bahwa
tantangan dakwah di Papua cukup besar, butuh cita-cita dan kesabaran untuk
memperbaiki keadaan masyarakat disana.
Jika kita terbiasa tinggal di daerah perkotaan dan hidup di lingkungan
mayoritas muslim, terbiasa mendengarkan lantunan azan, begitu mudah menemukan
masjid di tiap kelurahan. Maka, mari kita sejenak lupakan kenikmatan itu dan
mari bayangkan kondisi riil kehidupan bermasyarakat di sana, di belantara
Papua.
Kader yang tidak masuk struktur PKS di Papua ini mengabarkan bahwa dia
tinggal di Pegunungan Tengah di salah satu kabupaten pemekaran dari Jayawijaya,
daerah yang sering dilanda konflik, daerah dengan jumlah muslim minoritas.
Jumlah masjid di sana hanya satu dalam satu kabupaten yang begitu luas,
dan itu pun belum boleh menggunakan pengeras suara. Sehingga agar bisa sholat
berjamaah, dia biasanya menggunakan ojeg dan berangkat 1 jam sebelum azan.
Subhanallah.
Kader tangguh ini juga mengabarkan, untuk agenda pengajian pekanan, dia
harus rela menuju ke kabupaten tetangga. Jangan bayangkan kemudahan
transportasi umum seperti di Jakarta. Tak ada jalur darat yang ada hanya jalur
udara. Sekali lagi mari kita ucapkan subhanallah.
Tentu cerita nikmatnya aktifitas dakwah di Papua ini tidak akan kita
jumpai di daerah mayoritas muslim, di daerah yang banyak kader dan simpatisan
PKS. Katakanlah daerah Kota Tangerang Selatan, di wilayah ini hampir tiap RT
sudah ada kader PKS sehingga untuk agenda liqoat tarbawi cukup antar kelurahan
saja, dan tidak perlu antar kota/ kabupaten, apalagi harus naik pesawat terbang
segala. Ga kebayang deh.
Kenapa cerita “kesengsaraan” ini terjadi di Papua? Ya karena di sana
jumlah muslim masih MINORITAS. Ummat Islam belum bisa berbuat banyak untuk
berdakwah di tengah mayoritas non muslim. Dakwah saudara kita disana masih
sangat terbatas. Jangankan memikirkan caleg muslim, bisa menemukan saudara
seiman saja disana bagaikan menemukan sebongkah emas.
Logika Minoritas
Logika minoritas adalah tidak memaksakan kehendak pada mayoritas. Tidak
memaksakan apa yang diinginkan minoritas diikuti mayoritas. Dan logika
mayoritas pun tak menghendaki minoritas mendominasi mayoritas. Karena itu,
minoritas harus paham potensi dan kekuatan, saat menjadi minoritas maka butuh
waktu panjang untuk membalik keadaan, dari minoritas menjadi mayoritas.
Hal ini pernah terjadi saat Islam muncul pertama kali di tanah Arab, di
tengah-tengah mayoritas masyarakat yang menyembah patung dan berhala. Dan Islam
saat itu masih menjadi barang baru dan asing, Islam masih menjadi minoritas. Ibnu Hisyam, dalam siroh nabawi menghitung
jumlah minoritas ummat Islam saat itu hanya sekitar 40 orang.
Maka cita-cita untuk memperbaiki keadaan mayoritas penyembah berhala
tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan
jauh dari lingkungan mereka. Dan untuk menghadapi kondisi seperti ini, tindakan
yang paling bijaksana adalah ketika Rasulullah SAW memulai dakwah dengan
sembunyi-sembunyi, agar mayoritas penduduk Makkah tidak kaget karena tiba-tiba
menghadapi sesuatu yang menggusarkan mereka.
Saat minoritas, untuk urusan sholat saja, Nabi SAW dan para sahabat harus pergi ke tempat
terpencil lalu secara sembunyi-sembunyi mengerjakan sholat, agar tidak terlihat
mayoritas.
Bukankan Rasulullah SAW sudah dijamin keselamatannya oleh Allah SWT?
Tapi kenapa Rasulullah harus dakwah secara sembunyi-sembunyi? Dan kenapa pula
saat waktu sholat Rasulullah SAW dan para sahabat harus ke tempat terpencil?
Kenapa dengan pengikut yang berjumlah 40 an orang itu Rasulullah tidak
mengambil kebijakan konfrontasi terbuka dengan mayoritas penyembah berhala?
Jawabannya karena Islam masih minoritas.
Inilah contoh logika minoritas itu, logika minoritas bukan berarti
penakut dan pengecut. Dan siapa yang berani mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan
ashobiqunal awwalun itu “penakut” karena tidak berani beribadah di muka umum
(mayoritas) dan menampakkan ideologi keislamannya?
Rasulullah SAW hanya ingin memberikan tauladan pada ummatnya, bahwa saat
menjadi minoritas dibutuhkan strategi dan langkah bijak untuk berdakwah di
tengah mayoritas penyembah berhala. Karena jika tahapan dakwah dilakukan secara
sporadis dan serampangan maka akan terjadi resistensi dari mayoritas.
Namun kondisi akan berbeda, saat Islam menjadi mayoritas dan menjadi
urat nadi kehidupan di Madinah, maka bahasa yang muncul adalah kibarkan panji
jihad, dan pembebasan wilayah dari cengkraman rezim tirani. Hingga pada kondisi
yang digambarkan Al-quran, “…Manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,”
[QS. An-Nasr:2].
Dari sini akhirnya saya mengerti dan memahami kondisi, mengapa PKS Papua “berani”
mencalonkan non muslim menjadi caleg?
Berdasarkan informasi yang dikabarkan kader Papua tersebut, bahwa ia
tinggal di daerah minoritas muslim yang tak lebih dari 1 persen. Maka
seandainya PKS Papua ngotot mencalonkan caleg muslim, apakah mayoritas non
muslim itu suka dengan langkah PKS ini? Saya yakin tidak suka. Karena dalam logika mayoritas, tidak mau
memilih meraka yang minoritas. Mereka akan merasa terancam eksistensinya jika
minoritas tampil mendominasi di ruang publik mayoritas.
Dari kondisi ini, akhirnya PKS Papua memilih meminimalisir mudharat
dengan mancalonkan non muslim menjadi caleg yang mampu melindungi ummat Islam
minoritas dan memberikan gerak untuk berdakwah. Dan
kondisi pun belum memungkinkan untuk mengusung caleg muslim. Dan inilah logika minoritas, tidak memaksakan kehendak di tengah
mayoritas.
Tentu kondisi Papua tidak akan dijumpai di wilayah mayoritas muslim, katakanlah
wilayah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang konon adalah salah satu wilayah
dengan jumlah kader PKS terbanyak se-Indonesia. Di daerah ini, kader PKS banyak
yang bertitel sarjana hingga doktor, dari yang ahli roket hingga ahli ekonomi. Apakah kita pernah
mendengar di daerah ini wacana PKS mengusung caleg non muslim? Kayaknya
seumur-umur belum pernah deh.
Dan saya yakin,
jika suatu saat dakwah Islam berkembang dan Papua menjadi basis muslim,
InsyaAllah tidak akan ada cerita polemik PKS Papua mengusung caleg non muslim,
tapi PKS Papua mencalonkan caleg Muslim.
Okelah, seandainya nanti, caleg non muslim yang diusung PKS Papua ini
dipercaya warga Papua untuk menjadi Dewan. Saya yakin, aleg PKS yang non muslim
ini tidak akan berani bertingkah atau neko-neko, misalnya melakukan
pelanggaran hukum, berbuat asusila atau menjadi pengusul Perda yang membolehkan judi, zina atau melegalkan miras. Seandainya hal ini
terjadi, saya yakin DPW atau DPD di sana tidak akan tinggal diam, dan bersikap
tegas dengan langsung melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) aleg yang non muslim ini.
Karena dalam struktur PKS, pimpinan tertinggi wilayah adalah DPW/DPD
bukan ketua fraksi. Dan kinerja aleg akan dipertanggungjawabkan kepada DPW/DPD,
sehingga kalau ada aleg yang neko-neko bisa langsung di-PAW.
Jadi jangan “lebay deh” menyoal caleg non muslim yang diusung PKS Papua. Dari pada sibuk
berdebat tak sehat, mending bantu
kader PKS Papua
untuk berdakwah dan memberikan pencerahan di pedalaman Papua dan wilayah
minoritas Islam lainnya.
Kalau memang pihak-pihak yang menyoal caleg non muslim
ini kasihan sama kader PKS. Ayoo penuhi panggilan kader PKS di sana, untuk
bersama-sama berdakwah di belantara Papua hingga Islam menjadi cahaya disana.
Dan kalau ada pemilihan legislatif lagi maka PKS Papua tidak akan kerepotan mencari orang-orang
sholeh dan cerdas untuk duduk di DPRD Papua.
Wallahu’alam.
Sucipto,
Blogger, Tinggal di Kota Tangsel.