Islamedia - Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU) menyatakan, pada tahun ini akan ada kenaikan tarif sebanyak 18 ruas tol di Indonesia. Kenaikan tarif 18 ruas tol itu dilakukan secara bertahap sesuai dengan jadwal dua tahunan.
Besaran kenaikannya pun akan bervariasi, tergantung dari besaran inflasi di kota-kota ruas tol tersebut beroperasi.
Bulan April nanti Tol Makassar Seksi IV akan mengawali kenaikan tarif, bulan Agustus giliran Tol Surabaya-Mojokerto Seksi I. Selanjutnya pada bulan September ada 14 ruas tol yang tarifnya akan naik, termasuk Tol Dalam Kota Jakarta. Jalan Tol Dalam Kota atau Jakarta Intra Urban Tollways, mulai dioperasikan oleh Jasa Marga secara bertahap semenjak tahun 1987, melalui ruas Cawang-Semanggi. Terakhir adalah jalan tol Semarang-Solo Seksi I dan Bogor Ring Road Seksi I yang tarifnya akan naik pada bulan November.
Sigit Sosiantomo, Kapoksi V Fraksi PKS DPR RI mengatakan di ruang kerjanya (20/3), “Ini sebenarnya persoalan klasik dan berulang, saya minta satu saja, penuhi SPM-nya baru boleh naik tarifnya.” Jika operator tidak bisa memenuhi SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagaimana disyaratkan, diminta untuk tidak menaikkan tarifnya. Legislator Dapil Jatim 1 ini memberi perhatian khusus kepada jalan tol yang sudah beroperasi lebih dari 25 tahun seperti jalan tol Jagorawi, Jakarta-Tangerang-Merak, Belmera dan Jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Jalan tol tersebut tentunya secara perhitungan sudah mencapai BEP dan memperoleh keuntungan.
SPM adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. SPM jalan tol mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan serta unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan. Besaran ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat.
SPM jalan tol wajib dilaksanakan oleh Badan Usaha Jalan Tol dalam rangka peningkatan pelayanan kepada pengguna jalan tol. Tentu yang diinginkan tidak sekedar SPM formalitas, “Namun SPM yang faktual dan diumumkan ke publik, termasuk metodologi untuk mendapatkan nilai SPM perlu disampaikan”, pinta Legislator asal Surabaya tersebut. Metodologi perlu disampaikan mengingat ada beberapa parameter SPM yang nilainya menjadi pertanyaan atau kurang masuk logika.
Sebagai contoh, dari data rekapitulasi SPM berdasarkan kunjungan lapangan tim evaluasi SPM semester II tahun 2012 (periode Juli 2012 s.d Desember 2012) disebutkan bahwa kecepatan tempuh kendaraan di ruas jalan tol Cawang – Tomang – Grogol – Pluit adalah 2,36 kali kecepatan di jalan non tol.
“Saya tidak tahu ketemu angka itu metode pengukurannya seperti apa, karena setahu saya waktu tempuh di ruas tol tersebut pada jam-jam puncak tidak berbeda jauh dibanding melewati jalan non tol-nya”, lanjut Sigit. SPM memberi syarat bahwa kecepatan tempuh rata-rata kendaraan pada jalan tol dalam kota adalah 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata di jalan non tol.
Terkait kecepatan transaksi rata-rata juga menimbulkan tanda tanya. Dalam laporan disebutkan bahwa kecepatan transaksi rata-rata pada gerbang tol sistem terbuka pada ruas tersebut adalah 2,80 detik per kendaraan. “Angka ini fantastik, apa betul secepat itu transaksinya?” tanya Sigit.
Pertanyaan yang wajar mengingat sistem transaksi pada gerbang tol ruas jalan tol ini lebih banyak yang konvensional, sejalan dengan pengguna jalan tol yang mayoritas masih melakukan transaksi konvensional. Informasi hasil survei konsultan independen juga menunjukkan lama transaksi pada gerbang konvensional sekitar 9 detik. Jika merujuk pada persyaratan SPM, untuk parameter kecepatan transaksi rata-rata pada gerbang tol sistem terbuka adalah maksimal 8 detik per kendaraan.
Dalam polemik kenaikan tarif tol, operator jalan tol biasanya akan berkilah bahwa penyesuaian tarif tol ini merujuk pada pasal 48 Undang-Undang (UU) 38 Tahun 2004 tentang Jalan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 2005 mengenai jalan tol, khususnya pasal 68 yang mengatur soal evaluasi dan penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap 2 tahun sekali dan disesuaikan dengan inflasi. Namun Sigit mengingatkan, “Rasanya tidak elok operator jalan tol menuntut hak menaikkan tarif, tapi mengabaikan kewajiban berupa pemenuhan SPM”, pungkasnya.
Besaran kenaikannya pun akan bervariasi, tergantung dari besaran inflasi di kota-kota ruas tol tersebut beroperasi.
Bulan April nanti Tol Makassar Seksi IV akan mengawali kenaikan tarif, bulan Agustus giliran Tol Surabaya-Mojokerto Seksi I. Selanjutnya pada bulan September ada 14 ruas tol yang tarifnya akan naik, termasuk Tol Dalam Kota Jakarta. Jalan Tol Dalam Kota atau Jakarta Intra Urban Tollways, mulai dioperasikan oleh Jasa Marga secara bertahap semenjak tahun 1987, melalui ruas Cawang-Semanggi. Terakhir adalah jalan tol Semarang-Solo Seksi I dan Bogor Ring Road Seksi I yang tarifnya akan naik pada bulan November.
Sigit Sosiantomo, Kapoksi V Fraksi PKS DPR RI mengatakan di ruang kerjanya (20/3), “Ini sebenarnya persoalan klasik dan berulang, saya minta satu saja, penuhi SPM-nya baru boleh naik tarifnya.” Jika operator tidak bisa memenuhi SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagaimana disyaratkan, diminta untuk tidak menaikkan tarifnya. Legislator Dapil Jatim 1 ini memberi perhatian khusus kepada jalan tol yang sudah beroperasi lebih dari 25 tahun seperti jalan tol Jagorawi, Jakarta-Tangerang-Merak, Belmera dan Jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Jalan tol tersebut tentunya secara perhitungan sudah mencapai BEP dan memperoleh keuntungan.
SPM adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. SPM jalan tol mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan serta unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan. Besaran ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat.
SPM jalan tol wajib dilaksanakan oleh Badan Usaha Jalan Tol dalam rangka peningkatan pelayanan kepada pengguna jalan tol. Tentu yang diinginkan tidak sekedar SPM formalitas, “Namun SPM yang faktual dan diumumkan ke publik, termasuk metodologi untuk mendapatkan nilai SPM perlu disampaikan”, pinta Legislator asal Surabaya tersebut. Metodologi perlu disampaikan mengingat ada beberapa parameter SPM yang nilainya menjadi pertanyaan atau kurang masuk logika.
Sebagai contoh, dari data rekapitulasi SPM berdasarkan kunjungan lapangan tim evaluasi SPM semester II tahun 2012 (periode Juli 2012 s.d Desember 2012) disebutkan bahwa kecepatan tempuh kendaraan di ruas jalan tol Cawang – Tomang – Grogol – Pluit adalah 2,36 kali kecepatan di jalan non tol.
“Saya tidak tahu ketemu angka itu metode pengukurannya seperti apa, karena setahu saya waktu tempuh di ruas tol tersebut pada jam-jam puncak tidak berbeda jauh dibanding melewati jalan non tol-nya”, lanjut Sigit. SPM memberi syarat bahwa kecepatan tempuh rata-rata kendaraan pada jalan tol dalam kota adalah 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata di jalan non tol.
Terkait kecepatan transaksi rata-rata juga menimbulkan tanda tanya. Dalam laporan disebutkan bahwa kecepatan transaksi rata-rata pada gerbang tol sistem terbuka pada ruas tersebut adalah 2,80 detik per kendaraan. “Angka ini fantastik, apa betul secepat itu transaksinya?” tanya Sigit.
Pertanyaan yang wajar mengingat sistem transaksi pada gerbang tol ruas jalan tol ini lebih banyak yang konvensional, sejalan dengan pengguna jalan tol yang mayoritas masih melakukan transaksi konvensional. Informasi hasil survei konsultan independen juga menunjukkan lama transaksi pada gerbang konvensional sekitar 9 detik. Jika merujuk pada persyaratan SPM, untuk parameter kecepatan transaksi rata-rata pada gerbang tol sistem terbuka adalah maksimal 8 detik per kendaraan.
Dalam polemik kenaikan tarif tol, operator jalan tol biasanya akan berkilah bahwa penyesuaian tarif tol ini merujuk pada pasal 48 Undang-Undang (UU) 38 Tahun 2004 tentang Jalan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 2005 mengenai jalan tol, khususnya pasal 68 yang mengatur soal evaluasi dan penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap 2 tahun sekali dan disesuaikan dengan inflasi. Namun Sigit mengingatkan, “Rasanya tidak elok operator jalan tol menuntut hak menaikkan tarif, tapi mengabaikan kewajiban berupa pemenuhan SPM”, pungkasnya.