" Arrahman... Allamal Qur'an... Kholaqol insan... Allamahul bayan... Asysyamsu wal qomaro bi husban......
" Arrahman...Allamal Qur'an...Kholaqol insan...Allamahul bayan...Asysyamsu wal qomaro bi husban..."
Bait-bait surat cinta itu terdengar di ruang pendengaranku. Memaksa pelupuk mataku yang terlelap membuka sedikit demi sedikit.
" Wan najmu was syajaru yas judan...
Bait-bait
itu terdengar lagi lebih lantang dari sebelumnya. Udara yang menusuk di
puncak Gunung Gede itu tak membuatku surut untuk mencari sumber suara
itu. Aku keluar dari sleeping bag ku dan mencoba merangsek keluar tenda.
"fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan"
Suara
itu bergetar menahan tangis yang meledak. Ayat-ayat itu lemah
dibacakan. Gemuruh dada menahan tangis dari yang membaca serasa melekat
di hatiku.
" Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?Maka Nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu dustakan?"
Aku
berdiri di
depan tenda. Tubuhku bergetar menahan haru dan takjub. Di depannya
tampak punggung Billy yang sedang tegak berdiri di atas sajadah sambil
mensedekapkan tangannya dan menahan tangis sambil terus membaca surat
Ar-Rahman.
" Subhanallah...." aku jatuh berlutut. Aku menahan tangis dan mengulang-ulang kata yang sama di dalam dadanya.
"Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?
***
"
Kau ikut bergabung Ra?"
Seorang lelaki tinggi
memakai topi kupluk tiba-tiba duduk di hadapanku. Dia Billy, teman satu
fakultasku di Fakultas Ilmu Budaya.
" Aku belum
merencanakan Bil. Masih banyak urusan yang belum aku selesaikan. Tapi
rasa kangenku melihat pucuk-pucuk daun itu serta gunung yang mentereng
itu....Masya Allah...," aku mengenang tanpa melihat Billy yang tiba-tiba
sudah meminum es teh manisku.
" Ah, pasti karena
urusan mu yang setumpuk di Lembaga Dakwah Fakultas kan Ra? Sudahlah,
ngapain sih kau merepotkan dirimu di kegiatan-kegiatan seperti itu?"
protes Billy sambil mengambil kerupuk di piring ketoprakku.
Pertemuanku
dengan Billy kala itu terjadi pada saat aku dan dia sama-sama menjadi
mahasiswa baru di Universitas ini. Diterima di Fakultas yang sama dan
jurusan yang sama. Hobi kami yang sama-sama mendaki gunung selanjutnya
menakdirkan kami di klub pecinta alam. Tapi satu semester berikutnya,
menjelang kenaikan tingkat, Allah memberiku hidayah lewat Bang Adil,
mentorku di kegiatan Asistensi Agama Islam, suatu kegiatan mentoring
yang wajib diikuti anak-anak baru macam aku dan Billy. Hidayah itu yang
akhirnya menjadi hal yang selalu dipertanyakan Billy.
"
Kenapa Ra? Kenapa? Apakah dengan kau bergabung dengan lembaga dakwah
itu lalu kau begitu saja meninggalkan aku dan teman-temanmu di pecinta
alam? Asal kau tahu Ra, aku sudah tidak percaya lagi Tuhan semenjak Dia
tidak bisa menyelamatkan mamaku dari penyakit
kankernya! "
protes Billy pada saat aku memutuskan untuk pindah kost.
Segala
sesuatunya pasti ada alasan. Aku hanya ingin mengamankan imanku yang
saat itu masih belum baik. Aku takut bila masih bersama Billy dan
kawan-kawanku, maka sedikit demi sedikit hidayah itu akan semakin
tergores. Di lain pihak Billy justru masih membutuhkanku untuk
mengingatkannya. Ya, sama-sama berada di lingkungan yang baru di sebuah
daerah yang baru pada awalnya mengakrabkan kami berdua.
" Kau harus kembali menemani Billy, dek..." usai mentoring siang itu Bang Adil menemuiku.
" Tapi Bang, aku takut kehilangan hidayah yang telah diberikan," belaku mencoba berargumentasi.
Bang
Adil tersenyum. "Ara, kau masih punya banyak teman disini yang Insya
Allah akan selalu mengingatkanmu bila jalanmu tak lagi lurus. Ada
Handoyo, Radit, Dito dan yang lainnya. Tapi Billy? Adakah teman yang
akan mengingatkan jika dia terjatuh? Atau paling tidak sekedar tempat
bertanya saja," Bang Adil menatapku lekat.
Ah,
rasa malas menerpaku. Berdiskusi dengan Billy bagaikan berdiskusi dengan
batu karang. Baginya semua pendapat adalah salah dan dialah yang
mempunyai pendapat paling benar.
" Tidakkah kau
tahu dek? Batu tidak akan bisa mengalahkan batu, tapi air yang terlihat
begitu lembut sanggup membuat lobang di atas batu yang terlihat keras
itu. Inti dari semuanya adalah bersabar dek," Bang Adil mengingatkan
suatu ketika.
Dan akhirnya pada suatu waktu di
awal bulan, aku memutuskan untuk kos bersama Billy. Satu kamar yang
terlihat kontras sekali. Di sisi kamarku terpampang tulisan-tulisan
kaligrafi arab dan kata-kata penyemangat dari ulama-ulama Islam
sedangkan di sisi Billy terpampang poster-poster metal-nya. Untuk urusan
musik pun selera kami sudah berbeda. Aku sekarang lebih senang
mendengarkan murottal Al-Qur'an atau nasyid-nasyid yang menyejukkan jiwa
sedangkan dia masih tetap dengan lagu-lagu barat urakannya.
Tapi Billy selalu menghormatiku. Ketika aku sedang mendengarkan murottal atau nasyid dia selalu mendengarkan atau keluar kamar. Dan dia selalu menyetel lagu urakannya itu ketika aku sedang tidak berada di kamar.
Tapi Billy selalu menghormatiku. Ketika aku sedang mendengarkan murottal atau nasyid dia selalu mendengarkan atau keluar kamar. Dan dia selalu menyetel lagu urakannya itu ketika aku sedang tidak berada di kamar.
Aku tidak akan pernah tahu kapan hidayah itu akan hadir. Aku hanya mencoba dan mencoba tapi tak ada
perubahan sedikitpun pada Billy. Bang Adil
sendiri selalu bilang, "Ishbir dek...kita hanya berusaha sedangkan untuk urusan hasil bukan kita yang menentukan,".
Persaudaraanku dengan Billy yang akhirnya dijuluki oleh teman-teman bagaikan persaudaraan hitam dan putih.
***
" Arrahman...allamal quran...kholaqol insan..."
Suara
murottal As-Sudais mengalun pelan dari laptopku. Malam usai Isya itu
aku tengah berkutat dengan tugas writing III yang harus dikumpulkan
lusa.
Billy sedang beristirahat di tempat
tidurnya sambil memainkan Blacberry Torch nya. Malam ini tidak seperti
biasanya dia sudah berada di kos. Biasanya dia baru berada di kos
sekitar menjelang tengah malam.
"Itu suara apa Ra?" tanya Billy memecah keheningan. "Suara yang berasal dari laptop-mu," Billy memperjelas.
Aku menghentikan ketikanku. "Oh, ini suara murottal," jawabku singkat.
"Murottal??" Billy keheranan.
" Iya murottal alias lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an," terangku.
" Oh Al-Qur'an,
terakhir gue baca Qur'an waktu masih SD. Oh poor me...," Billy seolah-olah meratapi dirinya.
Aku hanya melanjutkan ketikanku. Apa sih Billy, gak jelas banget!
" Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban...."
Aku begitu menikmati alunan murottal itu. Mendengarkan murottal sambil mengerjakan tugas seolah menambah semangat dalam bekerja.
"Ra, kenapa ayatnya diulang-ulang?" Billy yang kusangka tidur bertanya lagi.
Aku menghentikan ketikanku lagi. Kuambil mushab Asy-Syamil yang ada di atas mejaku dan beranjak ke tempat tidur Billy.
"
Billiandri Giumart, ini aku kasih mushab. Sekarang tolong dibuka surat
ke 55 dan silahkan baca sendiri artinya disitu ya!" aku menyerahkan
Al-Qur'an itu kepada Billy. Aku merasa mulai terganggu dengan
pertanyaan-pertanyaannya.
Billy menerima
sekedarnya. Lalu dia meletakkan mushab itu di atas mejanya dan
mengangkat Blackberry nya yang bernada panggilan masuk.
Aku
kembali berkutat dengan tugasku yang nyaris selesai. Tinggal membuat
daftar pustaka dan cover setelah itu tugas untuk lusa selesai.
"Ra,
gue pergi dulu ya!" Billy beranjak dari tempat tidurnya dan menarik
jaket serta topi kupluknya yang berada di belakang pintu. Dalam hitungan
detik kemudian dia menghilang di balik pintu.
Untuk sementara aku merasa damai dan bisa melanjutkan tugasku tanpa gangguan-gangguan.
***
" Kenapa Tuhan tidak menyelamatkan mama-ku????"
Langkahku
terhenti di depan pintu kamar kos. Aku mendengar Billy sedang
berteriak. Sedikit celah pintu yang terbuka membuatku dapat melihatnya
yang tampak sedang berbicara di Blackberry-nya.
"
Sudahlah Pa, aku sudah tidak butuh Tuhan! Aku bisa hidup sendiri! Dan
tak usah menasehati aku dan mengingatkan aku akan pentingnya Tuhan! Aku
tak butuh Tuhan! " Billy terlihat marah dan menutup pembicaraannya.
Tiba-tiba
aku sudah ditangkap oleh matanya di depan pintu. Aku bergegas masuk dan
menutup pintu. Aku mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja dan segera
duduk di karpet bawah tempat tidurku.
" Papa-ku
tadi menelepon. Dia menyuruhku untuk selalu sholat. Untuk apa sholat
jika apa yang kau sembah tidak pernah bisa menyelamatkan orang yang kita
sayangi," Billy membuka percakapan.
Aku hanya menatapnya saja. Aku merasa berat untuk berbicara tentang Tuhan dengan dia. Aku hanya ingat pesan Bang Adil,
jangan kau lawan batu dengan batu.
"Aku kecewa
pada Tuhan Ra! Kenapa harus mama-ku? Kenapa Dia tidak mendengarkan
doaku? Aku yang selalu berdoa pada-Nya tiap hari, kenapa Dia tidak
mengabulkan doaku untuk menyembuhkan mamaku?" Billy bertanya-tanya
sendiri. Tersesat pada tanya yang tidak pernah berhenti.
Aku
tak berani berargumen dengannya. Aku merasa dia hanya perlu waktu untuk
berbicara dan melepaskan bebannya. Aku hanya mendiamkan saja. Ah, Billy
andaikan kau merasakan apa yang telah aku rasakan, kau pasti menemukan
indahnya bersama dengan Allah.
"Kau masih memegang Mushab yang kuberikan kepadamu kemarin?" tanyaku pada akhirnya.
Billy
yang sedang berbaring di atas kasurnya tidak menjawab. Dia menutup
wajahnya dengan kedua tangannya. Sepertinya dia sedang sekuat tenaga
menahan tangisnya.
"Bila kau mau, bacalah surat
Ar-Rahman. Insya Allah kau akan menemukan ketenangan sesudahnya," aku
memberanikan diri untuk berbicara. Namun tak ada respon dari Billy.
Aku
beranjak dari karpet. Bergegas untuk menuju kamar mandi. Berwudhu dan
teringat bahwa tilawahku hari ini belum menggenapi satu juz. Ya Allah,
semoga ada kebaikan pada diri sahabatku ini.
***
Billy
kecil menahan air matanya. Sang mama yang sedari tadi berada di
hadapannya sudah menutup mata
sempurna. Pikiran kecilnya bertanya-tanya, kemana doa-doanya sedari
tadi bermuara? Kenapa tak ada satupun doanya yang menjelma menjadi
nyata. Kenapa pintanya agar sang mama tetap hidup menjadi hal yang tidak
nyata. Kemana Tuhan yang selalu dia panjatkan doa dan pintanya.
Billy
kecil mematung di depan jenazah mamanya. Dia hanya melihat seulas
senyum di wajah beku mamanya. Orang-orang berkata bahwa mamanya telah
tiada, diapnggil Tuhan. Tapi kenapa? Tuhan malah memanggil mamanya
disaat doa yang dipanjatkan olehnya adalah agar jangan mengambil
mamanya. Kenapa Tuhan? Billy tidak lagi nakal, Billy tidak lagi malas,
Billy tidak lagi mengganggu orang lain....
Sejak
itulah Billy menjadi malas beribadah dan mempertanyakan keberadaan
Tuhan. Tuhan tidak pernah mendengar pintanya, tidak pernah ada
untuknya, tidak ada....tidak ada....tidak ada....
"Tidaaaaakkkkkkkk!!!!"
Suara
Billy berteriak keras. Dia terbangun dari tidurnya. Nafasnya
terengah-engah, dan buliran peluh keluar dari pori-pori tubuhnya.
Aku yang sedang menunaikan sholat tahajud segera beranjak ke tempat tidurnya.
"Ada apa Bil? Kau bermimpi sepertinya. Istighfar!" ujarku membimbingnya.
Nafas
Billy terengah-engah. Entah dia mengikuti saranku atau tidak untuk
beristighfar. Aku mencoba memegang keningnya yang penuh dengan peluh.
Badannya panas. Dia sepertinya bermimpi buruk. Aku
segera membimbingnya untuk tidur kembali.
" Bila
kau bermimpi buruk, hadapkan wajahmu ke arah kiri dan buanglah ludah ke
arah itu. Sesungguhnya mimpi buruk itu berasal dari setan," aku membantu
menenangkan dirinya.
Tak lama Billy tertidur lagi dan aku melanjutkan sholat malamku yang terpotong tadi.
***
Aku
tertatih menahan perih. Kupegangi lututku yang tadi terperosok di semak
belukar. Suasana yang gelap membuat aku sedikit sulit untuk menapaki
jalan setapak itu. Hingga akhirnya aku terperosok cukup dalam sebelum
Billy menangkap tanganku dan menyelamatkan aku.
"
Kau terluka cukup dalam Ra. Kakimu perlu kami balut dengan perban dulu
sementara ini," Ardian, seorang tim P3K pendakian kali itu
memberitahukan.
Aku tak masalah. Kupersilahkan Ardian untuk menangani lukaku sebisanya.
Akhir
minggu itu akhirnya aku memutuskan untuk ikut pendakian gunung gede,
menerima ajakan Billy. Sekalian kembali ke Jakarta menemui sanak
keluargaku. Namun, setelah sekian lama tidak mendaki gunung ternyata
sangat susah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
Ardian
selesai membalut lutut kiriku dengan perban. Di jalan itu tinggal aku,
Ardian, Billy dan Eza, tim P3K lainnya. Sisanya sudah meneruskan
perjalanan.
Aku berusaha untuk berdiri. Namun
luka dan rasa sakit itu masih menganga tajam. Ardian dan Eza membantuku
perlahan. Namun aku masih terasa sakit untuk melangkah dan berjalan.
" Sini, biar kugendong kau Ra," Billy maju kedepan wajahku. Dia melepas tas backpacknya dan memberikan pada Eza.
Aku
menatapnya terdiam. Sisa perjalanan tinggal 3 kilo meter lagi untuk
mencapai puncak. Apakah aku harus membiarkan diriku tinggal disini saja?
Ardian
membantuku. Dia mengangkat tas ranselku dan membawanya. Aku lalu naik
ke punggung Billy. Dan tanpa anyak berkata lagi kemudian kami berjalan.
Kakiku
masih terasa sakit. Aku merasa tidak enak menyusahkan Billy dan
kawan-kawan yang lain. Namun Billy tetap pada langkahnya semula yang
semangat dan lebar-lebar.
" Bacakan aku surat
Ar-Rahman sebagai pengusir lelahku Ra," Billy berkata pelan pada
kilometer kedua. Ardian dan Eza sudah jauh di depan.
Aku
terkejut. Aku tak tahu bagaimana wajah Billy saat itu. Ingin aku
mengucapkan takbir dan bersujud syukur. Namun tanpa banyak kata aku
membaca ayat-ayat Allah itu.
" Arrahman...allamal quran....kholaqol insan...."
Satu yang tidak kuketahui, air mata Billy menderai jatuh satu per satu.
***
" Fabiayyi ala Irobbikuma Tukadziban... tabaarokasmu robbika dzil jalaali wal ikrom..."
Billy
membaca ayat itu dengan terbata-bata. Aku duduk terpaku di depan tenda
dengan berlinang air mata. Tak lama Billy rukuk dan tenggelam dalam
sujudnya yang menderai-derai.
Aku menatapi moment itu detik demi detik. Setelah salam
Billy berbalik badan dan mendapatiku sedang duduk di depan tenda.
" Bi...Bil...Billy....ka...kau.. ..," suaraku tersendat menahan air yang mengalir lebih deras.
Billy
mendekatiku dan dengan malu-malu dia berkata, "Surat ini telah
membawaku tersungkur kembali Ra," ujarnya menunduk dan tersipu.
Aku
lekat menatapnya. Ya Allah... Ya rahman... Ya Rahim... gelegak rindu
yang kian membuncah itu kini Kau jawab sendiri dengan ayat-ayat-Mu.
Kemudian aku memeluknya erat sambil menahan sakit di lututku. Teringat
aku akan perkataan Bang Adil tempo hari,
" Tidakkah kau tahu dek? Batu tidak akan bisa mengalahkan batu, tapi air yang terlihat
begitu lembut sanggup membuat lobang di atas batu yang terlihat keras itu. Inti dari semuanya adalah bersabar dek,".
Masya Allah...Subhanallah...aku tenggelam dalam tasbih dan hamdalahku.
"
Ayat-ayat itu membuatku luruh Ra... menumbangkan semua sendi-sendi
kesombongan diriku.... membuatku terjatuh pada lubang tak berdasar
kemudian ada Allah yang merangkul dan membaku kembali ke jalan-Nya..."
Billy menjelaskan masih dalam pelukanku.
Ya
Allah...kata apa lagi yang pantas kuucapkan kepada-Mu selain syukur dan
tasbih? Kau sendiri yang menyambut hamba-Mu yang kehilangan arah dan
bertanya tentang keberadaan-Mu. Aku tak tahu skenario apa lagi yang
akhirnya membawa Billy pada jalan-Mu ini.
Aku semakin tergugu ketika Billy mengulang-ulang lagi kata-kata itu,
" Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?Maka Nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu dustakan?"
Ya
Allah, Engkaulah Rabbi sedangkan aku hanyalah hamba. Terpaku aku
kembali pada untaian dan bait-bait indah ayat-ayat cinta-Mu. Bait-bait
Arrahman.
Malam semakin pekat. Suara-suara hewan
malam bersahut-sahutan. Gemericik air sungai terdengar riuh. Dan malam
itu menjadi saksi betapa indahnya bait-bait Arrahman. Fabiaayi ala
Irobbikuma Tukadziban. Maka nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu
dustakan?***(yas)
Yass Sastro
My room, 3rd May 2012
23.53 pm accompany with Itchy
Salam teramat hangat untuk mereka yang selalu mendayukan arrahman di dalam hatiku