Islamedia - Somalia, sebuah Negara di bagian Afrika Timur
pernah menjadi negeri pemasok kambing terbesar di dunia. Penduduknya yang 100%
muslim ini, merdeka 52 tahun lalu, tepatnya 1 Juli 1960. Namun sejak tahun 1991
negeri ini dilanda konflik berkepanjangan. Terjadi perebutan kekuasaan,
mengakibatkan situasi politik yang memanas dan tidak kondusif. Roda
pemerintahan pun berjalan tidak efektif. Situasi keamanan yang tak terkendali, kelompok-kelompok bersenjata saling bertarung dan terpecah
yang menjadikan kondisi semakin panas hingga menyebabkan warga pergi dari
kampung halaman mereka karena peperangan.
Somalia, negeri gurun beriklim rata-rata 280celcius
itu kian frustasi dengan keadaannya sendiri. Gejolak konflik yang tak kunjung
reda berdampak derita kian nestapa. Cuaca yang ekstrem, kemiskinan merajalela,
kekeringan menyekik leher yang dahaga, kelaparan merenggut jiwa setiap 6
menitnya. Membuat negeri ini seolah tak punya harapan lagi.
Tragedi ini meraksasa akibat dunia bungkam dan tutup mata atasnya. Curah hujan yang sangat
rendah menyebabkan Somalia selama dua dekade dilanda bencana kekeringan,
gejolak perang saudara yang tak pernah usai. Semuanya seolah buta, tak peduli
dengan apa yang terjadi. Banyak hewan ternak menghilang dari bumi Somalia, atau
mati terkapar menyedihkan di dataran luas yang panas itu. Sungguh memprihatinkan.
Kerasnya bencana di Somalia tidak sampai
disitu. Sejak 2008 terdapat 125 kasus pembajakan di perairan Somalia. Mereka
yang dulu berprofesi sebagai petani, berubah status menjadi perompak. Frustasi
dengan bencana kekeringan dan kelaparan yang berkepanjangan membuat penduduk
Somalia mengambil jalur kekerasan untuk memenuhi perutnya yang kelaparan.
Somalia pun dikenal sebagai negeri bajak laut.
Sungguh ironi, negeri kaya nan subur, pemasok
pangan terbesar itu kini harus hidup dalam ketakutan dan serba kekurangan. “Kita abaikan dulu stigma Somalia sebagai negeri bajak
laut. Faktanya, jutaan rakyatnya saat ini terancam mati kelaparan. Ini adalah
tragedi kemanusiaan yang tak boleh diabaikan oleh bangsa Indonesia yang
beradab,” begitu tandas Ahyudin. Presiden Aksi Cepat Tanggap.
Memang ini
adalah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Uluran tangan harus
diberikan, agar tersingkir segala luka Somalia, hilang sirna segala derita yang
menyesakkan dada. Namun, untuk datang kesana, bukanlah perkara mudah. Penuh
resiko yang harus diwaspadai. Alih alih ingin memberikan bantuan kepada warga
Somalia, malah menjadi tawanan para perompak yang mengintai dilaut lepas. Lewat
darat atau udara apakah lebih baik? Tidak juga. Negeri beribukota Mogadishu ini
sedang diliputi perang saudara, banyak kelompok bersenjata yang saling
bertarung disana. Maka, nyaris tak ada jalur aman yang dapat dilalui ke negeri ternak
ini.
ACT Foundation
salah satu lembaga
kemanusiaan global menyalurkan
bantuan atas tragedi kemanusiaan yang melanda negeri pemasok ternak itu.
Perjuangan menembus lorong lorong kematian tim kemanusiaan menjadi drama yang
mendebarkan. Menyampaikan amanah ummat ke negeri yang tengah diguncang
perpecahan itu membawa kecemasan akan keselamatan diri. Namun tekad telah kuat,
niat telah bulat, bahwa di seberang sana ada negeri yang tengah menderita
kelaparan. Jutaan penduduknya terancam mati kelaparan. Dengan keyakinan bahwa
Allah menyertai setiap langkah hamba-Nya dalam setiap misi kemanusiaan,
bismillah, tugas mulia ini harus ditunaikan, amanah ini harus sampai tujuan.
Kini mata dunia terbuka, di Somalia jutaan
jiwa harus segera diselamatkan. Tim kemanusiaan
manca negara kini berlomba-lomba memberikan uluran tangan. Namun tak cukup jika
hanya bantuan pangan yang diberikan. Somalia butuh bantuan menyeluruh baik dari sisi politik, kemanusiaan,
maupun ekonomi untuk menyelesaikan akar krisis yang melanda Somalia. Demi
menyelamatkan anak bangsa Somalia.