Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala
cukup menghidupmu
Tiada badai
tiada topan kau temui
Ikan dan udang
menghampiri dirimu
Orang bilang
tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan
batu jadi tanaman
Orang bilang
tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan
batu jadi tanaman
Tentu kita masih
ingat lirik lagu tersebut, lagu dengan judul Kolam Susu yang dibawakan oleh
Koes Plus. Sebuah lagu yang menggambarkan kebanggaan yang begitu besar menjadi
anak bangsa Indonesia, kehebatan bumi pertiwi Indonesia, dan nasionalisme yang
begitu membuncah.
Sejarah telah
mencatat dengan tinta emasnya bagaimana nasionalisme putra bangsa dari Sabang
sampai Meuroke saling bahu membahu dalam sebuah ikatan energi dengan tekad yang
sama, dengan kepentingan yang sama, dengan tujuan yang sama demi kebebasan
bangsa dan tanah air.
Sudah 68 tahun
lebih Indonesia merdeka. Merdeka dari penjajahan konvensional dan merdeka dari
kepentingan asing konvensional. Tapi hari ini rakyat Indonesia masih dijajah
secara modern oleh bangsa asing dan bangsanya sendiri.
Kini putra
bangsa tidak lagi berada dalam satu ikatan energi, tidak lagi dalam satu tekad
dan kepentingan yang sama, yang ada adalah kepentingan pribadi dan kelompoknya
yang dikemas begitu indah dengan bahasa “Kepentingan Rakyat”
Media (televisi,
surat kabar, media online, dll lainnya) yang hari ini seharusnya menjadi corong
kebenaran bagi rakyat, mercu suar atas kepentingan rakyat justru telah dinodai
oleh kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Fakta yang sulit
dibantahkan yang terpampang jelas di depan mata kita adalah bagaimana para
pemilik media telah menjadi pengurus partai politik. Ada yang menjadi ketua
umum, ada yang menjadi ketua dewan pertimbangan, dan lain sebagainya. Adakah
independensi lagi dari berita yang ditampilkan oleh media tersebut..??
Yang ada adalah
media tersebut akan terus berlomba menampilkan kebaikan partai “Juragannya” dan
menghantam habis-habisan lawan partai politiknya.
Hari ini opini
masyarakat telah dibentuk oleh berita-berita dari media yang bermuka dua.
Sebagai contoh nyata kita melihat bagaimana media memberitakan kasus hukum yang
menimpa lawan politik dari pemilik media tersebut sampai berhari-hari bahkan
dalam kategori Headline dan disiarkan berulang-ulang.
Terlepas berita
yang disajikan tersebut benar atau salah. Keputusan hakim dan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap tidak lagi menjadi penting karena tatkala media
telah memvonis seseorang bersalah maka publik telah men-cap-nya sebagai orang
yang kotor dan bersalah.
Adakah media
independen hari..?? yang benar-benar tanpa memihak..?? mungkin akan sulit untuk
menemukannya. Publik harus lebih cerdas dalam menerima setiap informasi yang
diramu oleh media. Sehingga energi kita tidak habis hanya untuk saling
menyalahkan dan menghujat.
Mari satukan
energi dan potensi demi pembangunan Indonesia.
Faisal Ibn Sabi