Islamedia - Banyak dari kita adalah para pemimpi yang hidup dengan berbagai harapan agar setiap langkah kehidupan kita bisa selalu sempurna bagai permainan yang semuanya harus mampu kita kendalikan. Mimpi bagaikan pulau dalam suatu perlayaran, yang harus kita miliki agar perlayaran punya tujuan.
Lalu apa yang membuat pemimpin harus disandingkan dengan pemimpi? Ini karena setiap pemimpin adalah pemimpi dan tidak semua pemimpi mampu jadi pemimpin.
Pemimpi kebanyakan hanya menjadikan mimpinya bagai perahu tak bersampan yang hanya dibiarkan terdiam dan terombang-ambing ombak lautan tanpa kemauan untuk berlayar untuk mencapai tujuan. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan dan umpatan pada dunia, mencoba untuk menyalahkan setiap yang ada di sekitarnya atas apa yang terjadi. Pemimpi adalah sang komentator ulung yang tidak pernah merasakan sulitnya lapangan pertandingan.
Hidup sang pemimpi dipenuhi dengan kata “seharusnya”. Seharusnya tak ada orang miskin namun ia tidak pernah berbagi, seharusnya sampah tak bertebaran namun ia tak berupaya untuk membersihkan, dan banyak kata seharusnya yang dia gunakan untuk menghakimi keadaan.
Pemimpin adalah mereka yang mampu menggerakan potensi di sekitarnya untuk mewujudkan visinya sebagai seorang pemimpi. Ia tak akan pernah puas jika mimpinya hanya tergeletak dan lambat laun menjadi usang. Sobat, negeri ini telah dipenuhi banyak pemimpi, Diam berhenti hanya pada teori. Konflik menjadi seni dan retorika menjadi budaya. Hasil perjuangan proklamasi seakan tak berguna dan hasil perjuangan reformasi seakan tak bermakna. Negeri ini kini sangat butuh para pemimpin. Bukan hanya satu atau dua, tapi ratusan juta untuk menghasilkan negeri yang sebenarnya.
Pemimin yang adil dalam menempatkan diri seperti halnya sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid (sang pedang Allah yang terhunus) yang tak mengeluh atau mengurangi semangatnya walau ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima. Totalitasnya dalam berjuang masih sama dan kepatuhannya pada keputusan tak berbeda. Sobat, pemimpin itu bukan tentang jabatan administratif yang kita genggam melainkan tentang sikap perjuangan yang tertanam.
Setiap kita adalah pemimpin yang punya andil dan hutang dalam peradaban, bahkan ketika kita memilih mengantongi sampah bungkus permen dibandingkan membuangnya sembarangan adalah bagian dari mental kempemimpinan. Sobat, jika kita tak pernah terbangun dari mimpi panjang dan hanya menyerahkan urusan peradaban pada pemimpin lima tahunan maka tak akan kita temui kehidupan yang telah lama kita dambakan.
BEKERJALAH! Sebagai para pemimpin yang adil, bukan kembali membaluti tubuh dengan kain selimut dan menunggu mimpi benar-benar terjadi. Wallahua’lam
Oleh : Burhanizain Fitra
Lalu apa yang membuat pemimpin harus disandingkan dengan pemimpi? Ini karena setiap pemimpin adalah pemimpi dan tidak semua pemimpi mampu jadi pemimpin.
Pemimpi kebanyakan hanya menjadikan mimpinya bagai perahu tak bersampan yang hanya dibiarkan terdiam dan terombang-ambing ombak lautan tanpa kemauan untuk berlayar untuk mencapai tujuan. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan dan umpatan pada dunia, mencoba untuk menyalahkan setiap yang ada di sekitarnya atas apa yang terjadi. Pemimpi adalah sang komentator ulung yang tidak pernah merasakan sulitnya lapangan pertandingan.
Hidup sang pemimpi dipenuhi dengan kata “seharusnya”. Seharusnya tak ada orang miskin namun ia tidak pernah berbagi, seharusnya sampah tak bertebaran namun ia tak berupaya untuk membersihkan, dan banyak kata seharusnya yang dia gunakan untuk menghakimi keadaan.
Pemimpin adalah mereka yang mampu menggerakan potensi di sekitarnya untuk mewujudkan visinya sebagai seorang pemimpi. Ia tak akan pernah puas jika mimpinya hanya tergeletak dan lambat laun menjadi usang. Sobat, negeri ini telah dipenuhi banyak pemimpi, Diam berhenti hanya pada teori. Konflik menjadi seni dan retorika menjadi budaya. Hasil perjuangan proklamasi seakan tak berguna dan hasil perjuangan reformasi seakan tak bermakna. Negeri ini kini sangat butuh para pemimpin. Bukan hanya satu atau dua, tapi ratusan juta untuk menghasilkan negeri yang sebenarnya.
Pemimin yang adil dalam menempatkan diri seperti halnya sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid (sang pedang Allah yang terhunus) yang tak mengeluh atau mengurangi semangatnya walau ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima. Totalitasnya dalam berjuang masih sama dan kepatuhannya pada keputusan tak berbeda. Sobat, pemimpin itu bukan tentang jabatan administratif yang kita genggam melainkan tentang sikap perjuangan yang tertanam.
Setiap kita adalah pemimpin yang punya andil dan hutang dalam peradaban, bahkan ketika kita memilih mengantongi sampah bungkus permen dibandingkan membuangnya sembarangan adalah bagian dari mental kempemimpinan. Sobat, jika kita tak pernah terbangun dari mimpi panjang dan hanya menyerahkan urusan peradaban pada pemimpin lima tahunan maka tak akan kita temui kehidupan yang telah lama kita dambakan.
BEKERJALAH! Sebagai para pemimpin yang adil, bukan kembali membaluti tubuh dengan kain selimut dan menunggu mimpi benar-benar terjadi. Wallahua’lam
Oleh : Burhanizain Fitra