Islamedia - ICW sudah merilis peringkat partai terkorup. Kita sudah mengetahui
hasilnya. Di saat yang hampir bersamaan, beberapa survey menempatkan
partai terkorup itu di peringkat pertama soal elektabilitas publik.
Jadi? Partai Besar, Korupsi Besar.
Pertanyaannya, Mengapa?
Partai Besar, Korupsi Besar..!!
Mengapa partai dengan banyak kasus korupsi memiliki elektabilitas yang bagus?
Isu besar politik memang masih di 3 hal berikut ini ; Integritas, Kesejahteraan, dan Kebangsaan. Maka layak untuk ditanyakan, mengapa partai ‘paling tidak berintegritas’ memiliki elektabilitas yang besar.
Rasanya memang tidak ada jawaban tunggal. Ada banyak jawaban. Ada banyak faktor. Jawaban sebenarnya, Allahu a’lam.
Tetapi memang ada pola hubungan yang sedang terlanjur mengakar kuat antara publik dengan pejabat publik. Publik ini sudah dibiasakan untuk puas dengan hubungan jarak jauh dengan pejabat dan wakilnya. Publik tidak cermat mengawasi pejabatnya dan pejabat suka dengan hubungan jarak jauh ini. tidak ada dialog, tidak ada sambung rasa, dan tidak perlu repot. Kasih uang, urusan lancar. Publik suka dan pejabat suka.
Kesulitan demi kesulitan juga membuat publik lelah. Publik berhadapan dengan masalah dalam berbagai jenisnya. Publik tidak memiliki ketahanan yang bagus untuk mengawal satu kasus. Semangat di awal kasus lalu segera melupakan, segera terlupakan, atau segera sengaja dibuat lupa terhadap kasus yang belum selesai itu.
Dan memang ada homogenitas partai-partai. Partai-partai menjadi mirip. Tidak ada yang sangat berintegritas. Tidak banyak yang sungguh-sungguh memikirkan kesejahtaraan rakyat. Dan sedikit yang konsisten berpikir tentang isu kebangsaan. Selebihnya menjadi partai yang agak berintegritas, agak menyejahterakan, dan agak bagus wawasan kebangsaannya.
Partai-partai kemudian menjadi partai agak. Ini menambah sulit publik dalam menentukan pilihan.
Lalu, jika publik sulit memilih, apa yang menjadi penentu pilihan? Jawabannya adalah kekuatan tokoh dan kekuatan citra. Penokohan dan pencitraan menjadi hal yang kemudian seperti dilombakan. Jor-joran. Kalau sudah jor-joran, maka faktor biaya menjadi sangat menentukan.
Kemudian ini seperti melingkar-lingkar dan kusut. Pejabatnya tak acuh, publiknya abai, homogenitas partai, publik sulit memilih, penokohan dan pencitraan menjadi jamak, dan ujungnya adalah adanya biaya tinggi dalam politik, lalu kembali lagi ke pejabat menjadi tidak menghargai publik, publik tidak respek pada pemerintahan dan seterusnya.
Lalu, mau kita lihat sebagai apa hal ini? Banyak!
Sebagai bagian dari publik, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak abai dengan apa kewenangan dan oleh siapa kewenangan itu seharusnya dilakukan. Mungkin mirip dengan pelajaran anak kelas 5 SD tentang ketatanegaraan. Saya ingin kita mengerti siapa harus melakukan apa. Yang dengannya kita bisa tidak menumpuk tugas di satu atau beberapa pejabat atau aparatur Negara. Ini tidak sulit. Ini soal kemauan dan peperangan melawan pragmatisme kita.
Sebagai publik, mari kita tugaskan semua partai untuk bekerja dan menunjukkan keistimewaan ideologisnya, untuk memiliki konvergensi isu, dan untuk melakukan pembedaan (Distinstion) di antara mereka. Ini cuma membutuhkan sedikit kecerdasan dan membuang sedikit ego dan perasaan merasa lebih hebat. Kita cuma sedikit harus lebih sabar dalam mengembangkan sikap respek pada mereka dan menyingkirkan sikap skeptis pada perjuangan mereka. Skeptis itu sikap kurang percaya atau sikap ragu-ragu, atau keraguan untuk memberi kepercayaan.
Mengapa tak boleh skeptis? Karena kesalahan dan khilaf itu bukan cuma ada pada mereka. Salah dan khilaf itu juga sangat mungkin ada di kita.
Saya tidak ingin kita melupakan idealisme kita. Justru ini ajakan untuk terus memelihara idealism kita. Tetapi lakukan ekspektasi dan idealism itu dengan tetap mengembangkan sikap respek dan menjauhkan sikap skeptis pada perjuangan di berbagai sisi.
Sikap skaptis ini tidak cerdas. Mengapa? Karena semua orang bisa skeptis. Pejuang politik bisa skeptis pada pejuang ekonomi. Pejuang ekonomi bisa skeptis pada pejuang pendidikan. Dan seterusnya dan sebalik-baliknya. Yang pintar skeptis pada yang berkuasa. Yang berkuasa mengembangkan sikap skeptis pada yang kaya. Dan seterusnya dan sebalik-baliknya. Lalu siapa yang tak bisa skeptis? Tidak ada. Karena itulah sikap ini sudah saatnya dicampakkan.
Penutup.
Skeptis itu berteman baik dengan sikap ujub. Ujub itu takjub pada dirinya sendiri. Kalau sudah Ujub, biasanya dia kurang percaya dan ragu-ragu pada kiprah orang atau elemen lain. Sikap kurang percaya dan ragu inilah yang disebut skeptis. Ujub yang bersangatan (Syiddadul Ujub) itu bisa Takabbur.
Takabbur itu sombong. Dan sombong itu menggagalkan pemiliknya ke Surga.
Yang harus segera kita lakukan adalah menyadarkan diri ini bahwa kita bisa paradoks, menyadarkan publik bahwa kita bisa paradox, dan menyadarkan kita semua bahwa semua bisa memiliki andil menguatkan kejahiliyahan.
Eko Novianto
Jadi? Partai Besar, Korupsi Besar.
Pertanyaannya, Mengapa?
Partai Besar, Korupsi Besar..!!
Mengapa partai dengan banyak kasus korupsi memiliki elektabilitas yang bagus?
Isu besar politik memang masih di 3 hal berikut ini ; Integritas, Kesejahteraan, dan Kebangsaan. Maka layak untuk ditanyakan, mengapa partai ‘paling tidak berintegritas’ memiliki elektabilitas yang besar.
Rasanya memang tidak ada jawaban tunggal. Ada banyak jawaban. Ada banyak faktor. Jawaban sebenarnya, Allahu a’lam.
Tetapi memang ada pola hubungan yang sedang terlanjur mengakar kuat antara publik dengan pejabat publik. Publik ini sudah dibiasakan untuk puas dengan hubungan jarak jauh dengan pejabat dan wakilnya. Publik tidak cermat mengawasi pejabatnya dan pejabat suka dengan hubungan jarak jauh ini. tidak ada dialog, tidak ada sambung rasa, dan tidak perlu repot. Kasih uang, urusan lancar. Publik suka dan pejabat suka.
Kesulitan demi kesulitan juga membuat publik lelah. Publik berhadapan dengan masalah dalam berbagai jenisnya. Publik tidak memiliki ketahanan yang bagus untuk mengawal satu kasus. Semangat di awal kasus lalu segera melupakan, segera terlupakan, atau segera sengaja dibuat lupa terhadap kasus yang belum selesai itu.
Dan memang ada homogenitas partai-partai. Partai-partai menjadi mirip. Tidak ada yang sangat berintegritas. Tidak banyak yang sungguh-sungguh memikirkan kesejahtaraan rakyat. Dan sedikit yang konsisten berpikir tentang isu kebangsaan. Selebihnya menjadi partai yang agak berintegritas, agak menyejahterakan, dan agak bagus wawasan kebangsaannya.
Partai-partai kemudian menjadi partai agak. Ini menambah sulit publik dalam menentukan pilihan.
Lalu, jika publik sulit memilih, apa yang menjadi penentu pilihan? Jawabannya adalah kekuatan tokoh dan kekuatan citra. Penokohan dan pencitraan menjadi hal yang kemudian seperti dilombakan. Jor-joran. Kalau sudah jor-joran, maka faktor biaya menjadi sangat menentukan.
Kemudian ini seperti melingkar-lingkar dan kusut. Pejabatnya tak acuh, publiknya abai, homogenitas partai, publik sulit memilih, penokohan dan pencitraan menjadi jamak, dan ujungnya adalah adanya biaya tinggi dalam politik, lalu kembali lagi ke pejabat menjadi tidak menghargai publik, publik tidak respek pada pemerintahan dan seterusnya.
Lalu, mau kita lihat sebagai apa hal ini? Banyak!
Sebagai bagian dari publik, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak abai dengan apa kewenangan dan oleh siapa kewenangan itu seharusnya dilakukan. Mungkin mirip dengan pelajaran anak kelas 5 SD tentang ketatanegaraan. Saya ingin kita mengerti siapa harus melakukan apa. Yang dengannya kita bisa tidak menumpuk tugas di satu atau beberapa pejabat atau aparatur Negara. Ini tidak sulit. Ini soal kemauan dan peperangan melawan pragmatisme kita.
Sebagai publik, mari kita tugaskan semua partai untuk bekerja dan menunjukkan keistimewaan ideologisnya, untuk memiliki konvergensi isu, dan untuk melakukan pembedaan (Distinstion) di antara mereka. Ini cuma membutuhkan sedikit kecerdasan dan membuang sedikit ego dan perasaan merasa lebih hebat. Kita cuma sedikit harus lebih sabar dalam mengembangkan sikap respek pada mereka dan menyingkirkan sikap skeptis pada perjuangan mereka. Skeptis itu sikap kurang percaya atau sikap ragu-ragu, atau keraguan untuk memberi kepercayaan.
Mengapa tak boleh skeptis? Karena kesalahan dan khilaf itu bukan cuma ada pada mereka. Salah dan khilaf itu juga sangat mungkin ada di kita.
Saya tidak ingin kita melupakan idealisme kita. Justru ini ajakan untuk terus memelihara idealism kita. Tetapi lakukan ekspektasi dan idealism itu dengan tetap mengembangkan sikap respek dan menjauhkan sikap skeptis pada perjuangan di berbagai sisi.
Sikap skaptis ini tidak cerdas. Mengapa? Karena semua orang bisa skeptis. Pejuang politik bisa skeptis pada pejuang ekonomi. Pejuang ekonomi bisa skeptis pada pejuang pendidikan. Dan seterusnya dan sebalik-baliknya. Yang pintar skeptis pada yang berkuasa. Yang berkuasa mengembangkan sikap skeptis pada yang kaya. Dan seterusnya dan sebalik-baliknya. Lalu siapa yang tak bisa skeptis? Tidak ada. Karena itulah sikap ini sudah saatnya dicampakkan.
Penutup.
Skeptis itu berteman baik dengan sikap ujub. Ujub itu takjub pada dirinya sendiri. Kalau sudah Ujub, biasanya dia kurang percaya dan ragu-ragu pada kiprah orang atau elemen lain. Sikap kurang percaya dan ragu inilah yang disebut skeptis. Ujub yang bersangatan (Syiddadul Ujub) itu bisa Takabbur.
Takabbur itu sombong. Dan sombong itu menggagalkan pemiliknya ke Surga.
Yang harus segera kita lakukan adalah menyadarkan diri ini bahwa kita bisa paradoks, menyadarkan publik bahwa kita bisa paradox, dan menyadarkan kita semua bahwa semua bisa memiliki andil menguatkan kejahiliyahan.
Eko Novianto