Islamedia - Sudah sangat banyak penggambaran kondisi paradoks
orang yang sedang dilanda jatuh cinta. Satu sisi, cinta memberikan
banyak kegembiraan dan energi yang melimpah, namun di saat yang sama
ternyata menimbulkan derita tiada tara. Bukankah ini paradoks. Jatuh
cinta –konon katanya—sangat sulit dilukiskan situasinya dengan
kata-kata. Namun gejala kegembiraan dan penderitaan mudah dirasakan oleh
orang yang mengalami, dan mudah dilihat oleh orang-orang yang berada di
sekitarnya.
Jatuh cinta tidak hanya dimiliki anak-anak
muda. Orang tuapun bisa mengalaminya, bahkan saat sudah berusia lanjut
usia. Tidak memandang usia dan jenis kelamin, jatuh cinta bisa melanda
siapa saja yang menyediakan diri untuk mengalaminya. Jika anda termasuk
orang yang menyediakan diri untuk jatuh cinta –apalagi berulang
kali—pertimbangkan masak-masak kondisinya. Paradoks, dan seringkali
tidak produktif.
Ceria, Namun Gelisah
Orang yang tengah mengalami jatuh cinta
mendapatkan hati yang ceria dan berbunga-bunga. Namun pada saat yang
sama, sering merasakan kegelisahan. Gundah, galau. Khawatir
ditinggalkan, tidak sabar ingin segera bertemu, gelisah jika lama tak
berjumpa. Penampilannya tampak berbeda, lebih rapi, dan lebih
memperhatikan pakaian atau dandanan, termasuk asesorisnya. Namun sangat
mudah dilanda perasaan gelisah dan resah. Tampak seperti orang bingung.
Ingin Selalu Bertemu, Namun Mau Apa?
Orang boros pulsa adalah orang yang sedang
jatuh cinta. Telepon, SMS, chatting, dan berbagai sarana komunikasi
lainnya. Pulsa membengkak tidak terasa. Itu adalah manifestasi perasaan
ingin selalu bertemu, namun setelah bertemu bingung pula, mau melakukan
apa? Ngobrol, sudah habis bahannya. Bohong, sudah sangat sering
dilakukan. Akhirnya berjalan “ngalor ngidul”, bicara ngelantur, yang
penting selalu bertemu atau mendengar suaranya.
Penderitaan Jatuh Cinta
Sebuah tembang Jawa, telah memberikan gambaran yang tepat akan penderitaan orang-orang yang sedang dilanda kasmaran. Wuyung, judul lagu tersebut, maknanya adalah jatuh cinta.
Laraning lara / Ora kaya wong kang
nandhang wuyung / Mangan ora doyan / Ora jenak dolan, neng omah bingung /
Mung kudu weruh / woting ati duh kusuma ayu / Apa ora trenyuh /
sawangen iki awakku sing kuru / Klapa mudha leganana nggonku nandhang
branta / Witing pari dimen mari nggonku lara ati / Aduh nyawa / Duh duh
kusuma / Apa ora krasa apa pancen tega / Mbok mbalung janur / Paring
usada mring kang nandhang wuyung….
Jika diterjemahkan secara bebas, maka kurang lebih maknanya seperti ini.
Sakitnya sakit / tidak seperti orang yang
sedang jatuh cinta / makan terasa tidak enak / bepergian tidak nyaman,
di rumah juga bingung / hanya ingin selalu melihat si tambatan hati /
duhai bunga yang cantik / apa kamu tidak sedih / lihatlah badanku yang
kurus ini / legakan perasaanku yang sedang kasmaran / biar sembuh sakit
hatiku / aduh jiwaku / wahai bunga / apakah kamu tidak merasa, atau
memang tega / berilah obat kepada yang aku sedang kasmaran….
Sakitnya Sakit, Itulah Jatuh Cinta
Sakitnya sakit, tidak ada yang lebih sakit
daripada orang yang jatuh cinta. Begitu penggal pertama lagu tersebut.
Luar biasa mengharu biru cara mengungkapkannya. Jatuh cinta justru
dikatakan sebagai sakit yang paling sakit. Beberapa kalangan pujangga
menyebutkan jatuh cinta itu adalah derita tanpa akhir. Makan tidak enak,
tidur tidak nyenyak, bepergian tidak nyaman, di rumah pun bingung.
Seorang ulama, Ibnul Qayyim al-Jauzy
menyatakan, “Jika engkau ingin tahu tentang siksaan pemburu dunia, maka
renungkanlah keadaan orang yang sedang didera rasa cinta“. Hal ini
menggambarkan, betapa para pemburu kenikmatan dunia justru berada dalam
kondisi yang kontradiktif, karena jatuh cinta justru membuat mereka
menjadi sakit.
Seorang penyair mengungkapkan :
Tidakkah di dunia ini ada orang yang
lebih menderita dari pencinta / Meski ia mendapatkan cinta ini manis
rasanya / Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan / Karena
takut berpisah, atau takut karena rindu mendalam / Ia menangis jika
berjauhan, sebab didera kerinduan / Ia menangis pula saat berdekatan,
sebab takut perpisahan / Air matanya mengalir saat bertemu / Air matanya
mengalir saat berpisah.
Luar biasa penderitaan dan sakit yang muncul
karena jatuh cinta. Ungkapan penyair tersebut memperkuat “laraning lara”
dalam lagu Wuyung. Coba perhatikan penggalan kalimat penyair ini, “Air matanya mengalir saat bertemu / Air matanya mengalir saat berpisah”.
Maka, hati-hati menjaga hati. Jangan cepat
jatuh cinta. Jangan cepat terpedaya. Bentengi diri dengan iman yang
kuat. Jaga diri dengan akhlak mulia. Jaga interaksi agar tidak membawa
derita.
Cahyadi Takariawan