Islamedia - Ust, adakah dalilnya yang mewajibkan 40 orang
untuk shalat Jumat, apakah ada yang membolehkan kurang dari itu? (085925144xxx)
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was
Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:
Memang sebagian
masyarakat kita meyakini bahwa sahnya shalat Jumat adalah minimal 40 orang. Ini
tidak bisa disalahkan begitu saja, dan patut dihargai karena berasal dari
pendapat salah satu ulama Ahlu Sunnah, yakni Imam Asy Syafi’i Radhiallahu
‘Anhu. Bahkan Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari,
bahwa dalam masalah ini terdapat lima
belas pendapat para ulama.
Namun demikian
pendapat-pendapat tersebut adalah lemah.
Ditinjau dari dua sisi. Pertama, tak ada satu pun riwayat yang
shahih tentang batasan jumlah jamaah shalat Jumat. Kedua, sekali
pun shahih, riwayat tersebut sifatnya hanya pengabaran (pemberitaan) saja bahwa
dahulu pernah ada shalat Jumat yang
diikuti 40 orang. Jelas ini tidak bisa dijadikan dalil, sebab jika lain waktu
–pada zaman itu- pernah melihat jumlah jamaah adalah 60 orang apakah lantas
60 orang adalah jumlah minimal? Atau lain kali melihat adalah 100 orang maka
100 orang adalah jumlah minimal? Tentu tidak demikian, apa yang terjadi saat
itu tentu keadaan yang sifatnya –bahasa orang kebanyakan- ‘kebetulan’.
Imam Asy
Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد قال
عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث
تعيين عدد مخصوص.
Abdul Haq telah
berkata: “Tidak ada hadits yang shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.”
Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari
hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” [1]
Dua Orang Sudah
Sah dan Mencukupi
Ya, dua orang, satu
imam dan satu makmum atau lebih, sudah sah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والرأي الراجح
أنها تصح باثنين فأكثر
“Dan pendapat yang
kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan dua orang atau lebih.”[2]
Hal ini berdasarkan riwayat, dari Abu Musa Al
Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ
“Dua
orang atau lebih adalah jamaah.”[3]
Sebenarnya hadits
ini dhaif, sebagaimana yang dikatakan Imam Al Haitsami[4] dan
Syaikh Al Albani.[5]
Namun, Imam Bukhari
telah menjadikan teks hadits itu menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya,
yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah, yakni Bab: Itsnan
famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).
Dalam Bab ini Imam
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Al Huwairits Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا حضرت الصلاة فأذنا وأقيما، ثم ليؤمكما أكبركما
“Jika datang waktu
Shalat, maka azanlah dan tegakkanlah shalat oleh kalian berdua, dan hendaknya
yang menjadi imam adalah yang lebih tua dari kalian berdua.”[6]
Hadits ini
menunjukkan bahwa walaupun berdua, maka shalat jamaah telah memadai, dan dalam
hal ini shalat Jumat termasuk di dalamnya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة
صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل
عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا .
“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut
berjamaah walau pun dua orang, dan shalat Jumat juga demikian, tidak ada
kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan
dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti
lebih dari shalat selainnya.” [7]
Terakhir, saya
sampaikan perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:
صلاة الجماعة قد صحت بواحد مع الإمام وصلاة الجمعة هي صلا ة من الصلوات
فمن اشترط فيها زيادة على ما تنعقد به الجماعة فعليه الدليل و لا دليل والعجب من كثرة
الأقوال في تقدير العدد حتى بلغت إلى خمسة عشر قولا ليس على شيء منها دليل يستدل به
قط إلا قول من قال : إنها تنعقد جماعة الجمعة بما تنعقد به سائر الجماعة كيف والشروط
إنما تثبت بأدلة خاصة تدل على انعدام المشروط عند انعدام شرطه فإثبات مثل هذه الشروط
بما ليس بدليل أصلا فضلا عن أن يكون دليلا على الشرطية مجازفة بالغة وجرأة على التقول
على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم وعلى شريعته لا أزال أكثر التعجب من وقوع مثل هذا للمصنفين
وتصديره في كتب الهداية وأمر العوام والمقصرين باعتقاده والعمل به وهو على شفا جرف
هار ولم يختص هذا بمذهب من المذاهب ولا بقطر
من الأقطار ولا بعصر من العصور بل تبع فيه الآخر الأول كأنه أخذه عن أم الكتاب وهو
حديث خرافة
“Shalat berjamaah
sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam,
sedangkan shalat Jumat merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya.
Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat berjamaah,
maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya dia tidak akan
mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang bilangan tersebut
hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang dijadikan landasan
oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan
jumlah pada shalat-shalat (berjama’ah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan
syarat hanya bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa
suatu ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat
seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil,
terlebih lagi sikap tersebut merupakan kelancangan yang teramat sangat dan
merupakan keberanian untuk berbicara atas Nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam di dalam syariatNya.
Saya senantiasa
merasa heran kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan
dicantumkan di dalam buku-buku panduan shalat, mereka memerintahkan orang awam
untuk meyakini dan mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam
jurang kehancuran, pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu madzhab
dari berbagai madzhab, juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan
tetapi terjadi secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari
Kitabullah, padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka.”[8]
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa
‘Ala AAlihi wa Shahbihi ajmain
Demikian. Wallahu
A’lam
[1]
Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 289. Syaikh Sayyid Sabiq,
Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 305
[3] HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah Ash
Shalah wa Sunnah fiha Bab Al Itsnanl Jamaah, No. 972. Ad Daruquthni, Kitab Ash Shalah Bab Al
Itsnan Jamaah, No. 1. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No.
7957. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 368. Al Mausu’ah Al Hadits,
Mauqi’ Ruh Al Islam
[4] Imam Al Haitsami, Majma’ Az
Zawaid, Juz. 2, Hal. 45, katanya: di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang
yang dhaif.
[5] Syaikh Al Albani telah menegaskan kedhaifan hadits ini dalam beberapa
kitabnya, Tamamul Minnah, Hal. 331. Masykah Al Mashabih, No.
1081. Irwa’ Al Ghalil, Juz. 2, Hal. 247. No. 489.
[6] HR. Bukhari, Kitabul Jamaah wal
Imamah Bab Itsnan famaa Fauqahuma Al Jamaah, No. 627. Al Mausu’ah Al Hadits
[8] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal.
76-77. Al Maktabah Al Ma’arif LiNasyr wat Tauzi’