Islamedia - Keberadaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tidak lagi diperlukan, sehingga lembaga ini harus dibubarkan. Demikian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/11) di Jakarta.
Putusan tersebut secara subtansial membatalkan ketentuan yang mengatur keberadaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Putusan menyebabkan keberadaan BP Migas tidak memiliki kekuatan hukum. MK menegaskan segala hal yang berkaitan dengan BP Migas dinyatakan tidak lagi dapat dipertahankan. Dasar hukum BP Migas bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia.
"Segala hal yang berkaitan dengan Badan Pelaksana dalam UU 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Mahfud MD saat membacakan amar putusan dalam sidang di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11).
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan, pelaksanaan kegiatan usaha yang sebelumnya dijalankan oleh BP Migas harus dipegang oleh badan yang dibentuk sementara menggantikan BP Migas. Hal ini untuk mencegah adanya kekacauan yang terjadi akibat dibubarkannya BP Migas.
"Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru," kata Hamdan.
Dia menegaskan putusan ini tidak akan membatalkan segala kontrak kerja yang dibuat oleh BP Migas dengan pihak rekanan dan tetap berlaku sesuai dengan kesepakatan. "Segala Kontrak Kerja Sama (KKS) yang telah ditandatangani antara BP Migas dan badan usaha atau bentuk usaha tetap," katanya.
Permohonan ini diajukan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersama dengan beberapa ormas keagamaan. Para pemohon menilai bahwa UU Migas telah merugikan seluruh warga negara Indonesia.(srm)
Putusan tersebut secara subtansial membatalkan ketentuan yang mengatur keberadaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Putusan menyebabkan keberadaan BP Migas tidak memiliki kekuatan hukum. MK menegaskan segala hal yang berkaitan dengan BP Migas dinyatakan tidak lagi dapat dipertahankan. Dasar hukum BP Migas bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia.
"Segala hal yang berkaitan dengan Badan Pelaksana dalam UU 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Mahfud MD saat membacakan amar putusan dalam sidang di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11).
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan, pelaksanaan kegiatan usaha yang sebelumnya dijalankan oleh BP Migas harus dipegang oleh badan yang dibentuk sementara menggantikan BP Migas. Hal ini untuk mencegah adanya kekacauan yang terjadi akibat dibubarkannya BP Migas.
"Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru," kata Hamdan.
Dia menegaskan putusan ini tidak akan membatalkan segala kontrak kerja yang dibuat oleh BP Migas dengan pihak rekanan dan tetap berlaku sesuai dengan kesepakatan. "Segala Kontrak Kerja Sama (KKS) yang telah ditandatangani antara BP Migas dan badan usaha atau bentuk usaha tetap," katanya.
Permohonan ini diajukan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersama dengan beberapa ormas keagamaan. Para pemohon menilai bahwa UU Migas telah merugikan seluruh warga negara Indonesia.(srm)