Islamedia - Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah .., tadz,
bolehkah menceraikan istri ketika hamil, dan apa dasarnya? (beberapa SMS)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:
Menceraikan Isteri menurut tuntunan sunah
adalah pada dua keadaan:
1. Suci (tidak sedang haid), dan belum dicampuri sejak kesuciannya. Hal ini berdasarkan ayat:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu” (QS. Ath Thalaaq: 1)
Pada
Bab Ath Thalaq, dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari
menulis:
وَطَلَاقُ
السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ وَيُشْهِدَ
شَاهِدَيْنِ
“Dan Thalaq yang sunah yaitu menthalaq isteri ketika suci,
sebelum dicampuri, dan disaksikan dua saksi.”
Imam Ibnu Hajar
ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari menulis:
رَوَى
الطَّبَرِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيح عَنْ اِبْن مَسْعُود فِي قَوْله تَعَالَى (
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ) قَالَ : فِي الطُّهْر مِنْ غَيْر جِمَاع ،
وَأَخْرَجَهُ عَنْ جَمْع مِنْ الصَّحَابَة وَمَنْ بَعْدهمْ كَذَلِكَ
Imam Ath Thabari
meriwayatkan dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, tentang firman Allah
Ta’ala: (Maka ceraikanlah mereka pada waktu iddah mereka yang wajar): bahwa Ibnu
Mas’ud berkata: “Ceraikan pada waktu suci dan tidak dicampuri.” Dan
diriwayatkan pula dari sejumlah sahabat, dan orang sesudah mereka juga
demikian.” (Fathul Bari, 9/346. Darul
Ma’rifah, Beirut)
Dasar lainnya
adalah hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, ketika dia menceraikan
isterinya ketika haid, maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk merujuknya, kalau ingin menceraikan pun, hendaknya
ketika suci dan belum dicampuri. Beliau bersabda kepada Ibnu Umar:
فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا
“Maka ceraikanlah dia pada waktu suci sebelum dia
dicampuri.” (HR. Bukhari No. 4908, Muslim No. 1471)
Bagaimana jika dia menceraikan ketika suci
tetapi setelah dicampuri? Jumhur ulama mengatakan tetap SAH tetapi
haram.
Imam An Nawawi Rahimahullah
berkata ketika menjelaskan hadits tersebut:
يَعْنِي قَبْل أَنْ يَمَسّ أَيْ قَبْل أَنْ يَطَأهَا ،
فَفِيهِ تَحْرِيم الطَّلَاق فِي طُهْر جَامَعَهَا فِيهِ
Yakni
sebelum disentuhnya yaitu sebelum dicampurinya, di dalam hadits ini ada dalil
pengharaman mentalak ketika suci setelah dicampuri. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/61)
Namun
Imam Asy Syafi’i tidak mengharamkannya, dia hanya memakruhkan, Imam An
Nawawi menguatkan pendapat ini. Sebab, bagi madzhab ini talak yang haram
hanyalah talak ketika haid. Apa alasan mereka sekedar memakruhkan? Yaitu sesuai keumuman hadits:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ
الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Dari
Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Perbuatan halal yang paling Allah benci adalah thalaq (cerai).” (HR. Abu Daud No. 2178, Ibnu Majah No. 2018,
Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 14671)[1]
Menurut hadits ini, cerai adalah
halal, walau dibenci Allah Ta’ala, oleh karenanya bagaimana pun bentuk
perceraian maka itu adalah makruh.
Jadi, berdasarkan beberapa dalil di
atas, kesimpulannya adalah sunah menceraikan isteri ketika suci dan belum
dicampuri. Sedangkan, jika menceraikan ketika suci namun dicampuri dahulu, maka
jumhur ulama tetap mengatakan sah, namun haram, sedangkan Asy Syafi’i dan pengikutnya
mengatakan hanya makruh. Sedangkan cerai yang haram dan bid’ah adalah ketika
haid, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam kita, seperti Imam Ibnu
taimiyah, Imam Ibnu Hajar, dan lain-lain.
2. Talak ketika isteri sedang hamil
Jumhur ulama mengatakan bahwa
menceraikan isteri pada saat hamil adalah boleh, bahkan Imam Ahmad menyebutnya
cerai menurut sunnah. Hal ini berdasarkan hadits shahih berikut:
ثُمَّ
لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
“Kemudian, ceraikanlah dia pada waktu suci
atau hamil.” (HR. Muslim No. 1471)
Imam An Nawawi
memberikan komentar:
فِيهِ دَلَالَة لِجَوَازِ
طَلَاق الْحَامِل الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلهَا وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ ، قَالَ
اِبْن الْمُنْذِر وَبِهِ قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء مِنْهُمْ طَاوُس وَالْحَسَن
وَابْن سِيرِينَ وَرَبِيعَة وَحَمَّاد بْن أَبِي سُلَيْمَان وَمَالِك وَأَحْمَد
وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَأَبُو عُبَيْد ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : وَبِهِ
أَقُول . وَبِهِ قَالَ بَعْض الْمَالِكِيَّة
“Di dalamnya terdapat dalil bagi bolehnya mencerai
wanita yang jelas kehamilannya, itulah madzhab Asy Syafi’i. berkata Ibnul
Mundzir: “Dengan ini pula pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah
Thawus, Al Hasan, Ibnu Sirin, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid.” Berkata Ibnu Mundzir: “Aku juga berpendapat
demikian.” Dan dengan ini juga pendapat sebagian Malikiyah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
10/65)
Namun,
sebagian Malikiyah lainnya mengharamkannya, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan
bahwa Al Hasan (Al Bashri) memakruhkan. Demikian keterangan lanjutan dari Imam
An Nawawi, dalam kitabnya tersebut. Namun pendapat yang membolehkan
adalah lebih sesuai dengan nash syariat. Selesai.
Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan
[1] Sebenarnya para ulama berselisih tentang
status validitas hadis ini, ada yang mengatakan dhaif karena semua sanad
hadits ini mursal. (Fathul
Bari, 9/356, Al Maqashid Al Hasanah, 1/48, Al Muharrar fil hadits
No. 1053, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam No. 2594), kemursalannya
terletak pada Muharib bin Ditsar. Alasan
lainnya, ada masalah pula pada perawinya, yakni khususnya pada sanad Ibnu Majah
terdapat ‘Ubaidillah bin Al Walid Al Washafi, dia matrukul hadits
(haditsnya ditinggalkan). (Dzakhiratul Huffazh No. 799). Oleh
karena itu tidak sedikit ulama yang mendhaifkan hadits ini seperti Imam Ibnul
Qayyim, Syaikh Al Albani, dan lainnya.
Namun
Imam lainnya menganggap hadits ini shahih maushul (bersambung, tidak
terputus) seperti Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya, dan Imam Ibnu
Taimiyah pun menggunakan hadits ini sebagai hujjah dalam beberapa tulisannya,
begitu pula Syaikh Al Qaradhawi mengikuti pendapat imam yang menshahihkannya.
Wallahu A’lam