Kelompok Buddha Radikal Myanmar Blokir Bantuan untuk Rohingya

Islam edia - Setelah para biksu melakukan aksi turun ke jalan menyerukan pengusiran Muslim Rohingya , kelompok Buddha radikal di Myanmar...

Islamedia - Setelah para biksu melakukan aksi turun ke jalan menyerukan pengusiran Muslim Rohingya, kelompok Buddha radikal di Myanmar juga memblokir berbagai bantuan kemanusiaan yang ditujukan untuk warga Rohingya. Sejumlah LSM kemanusiaan dijegal dalam memberikan pertolongan bagi Muslim yang terluka di kamp-kamp pengungsian.

"Saya tak pernah sekalipun mengalami derajat intoleransi separah ini," kata Joe Belliveau, manajer operasi LSM Doctors Without Borders, kepada New York Times (6/11).

"Yang benar-benar dibutuhkan sekarang ialah bagaimana memahamkan masyarakat, bahwa pemberian bantuan medis bukanlah sebuah aksi politis," lanjut Belliveau.

LSM kesehatan internasional tempat Belliveau bertugas, merupakan salah satu lembaga bantuan yang terjun langsung ke wilayah barat Rakhine State, untuk membantu ribuan muslim Rohingya yang didera kekerasan etnis.

Tetapi para dokter mengeluhkan, karena sewaktu mereka memberikan bantuan dan perawatan bagi warga Muslim Rohingya di kamp-kamp pengungsian, mereka diancam oleh kelompok Buddha radikal.

Di Sittwe, kota terbesar di Rakhine, para dokter mengungkapkan bahwa banyak poster dan pamflet tersebar, berisi ancaman terhadap para pekerja LSM yang menolong warga Muslim.

Ancaman-ancaman itu berdampak langsung bagi kerja-kerja kemanusiaan, di mana jumlah relawan turun drastis dari sekira 300 orang, menjadi tersisa tinggal beberapa puluh orang saja.

"Para pegawai kami mengalami ketakutan dan tak mau lagi bekerja setelah menerima ancaman langsung," kata Belloveau.

Sekira 84 orang telah gugur dan 129 lainnya luka dalam berbagai aksi kekerasan etnis warga Buddha terhadap Muslim Rohingya di Rakhine sejak 21 Oktober lalu.

Kekerasan tersebut memaksa 29.000 warga mengungsi, lebih dari 97 persennya merupakan Muslim Rohingya, menurut data PBB.

Sebagian besar mereka kini tinggal di pengungsian, bergabung dengan 75.000 warga Rohingya lainnya yang mengungsi setelah terjadinya tindak kekerasan terdahulu yang menyebabkan 80 orang korban jiwa.

Berbagai kelompok HAM menuding pasukan keamanan dan kepolisian Myanmar telah menyalahgunakan kekuatan dan melakukan penangkapan warga Rohingya selama terjadinya protes dari warga Buddha.

Lembaga Human Rights Watch secara tegas juga menuding pasukan keamanan dan kepolisian Myanmar melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan penangkapan semena-mena terhadap warga Muslim Rohingya.

Bahaya Malnutrisi
Dalam perkembangan terbaru dari situasi buruk di kamp pengungsian, para pekerja kemanusiaan memperingatkan ancaman kekurangan gizi dan menyebarnya malaria.

"Ada juga sekelompok besar warga yang belum sempat mengungsi, tetapi mereka terputus dari segala macam akses kesehatan," kata Belliveau.

Seperti digambarkan PBB, sebagai salah satu minorotas paling tertindas, Muslim Rohingya menghadapi serentetan diskriminasi di kampung halaman mereka sendiri.

Hak kewarganegaraan mereka dicerabut sejak adanya amandemen undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 dan diperlakukan sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.

Pemerintah Myanmar seperti halnya mayoritas Buddha di sana menolak mengakui istilah "Rohingya", dan lebih memilih menyebutnya sebagai "Bengalis".

Myanmar dihuni 90 persen warga Buddha yang sebagian besarnya beretnis Burma, sedangkan sisanya tersebar hingga lebih dari 100 kelompok relijius dan etnis minoritas.

Dengan menganggap agama Buddha sebagai agama negara secara de facto, mayoritas Buddha etnis Burman memosisikan diri sebagai pilar utama identitas nasional.

Peristiwa kekerasan baru-baru ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa penindasan etnis itu dapat menyebar ke bagian lain dari Burma, di mana umat Islam merupakan 4 persen dari populasi. [onislam]