Islamedia - Sepakbola Liga
Inggris menjadi salah satu laga bergengsi di dunia. Berbagai pertandingan spektakuler
ditunjukkan di sini. Sebagaimana, Rabu (31/10/2012) dinihari WIB, sekalipun
saya bukan pendukung Arsenal, namun saya dan mungkin kita yang menyaksikan ini,
dibuat berdecak kagum dengan pertandingan antara Arsenal vs Reading, di
Madejski Stadium (kandang Reading).
Bagaimana tidak, Arsenal melakukan comeback brilian. Sempat tertinggal
empat gol, The Gunners akhirnya menang lewat
babak perpanjangan waktu dengan skor akhir 7-5 untuk maju ke perempatfinal.
Pada laga ini, ada
beberapa hal menjadi catatan saya. Kemenangan ini bisa dipetik sebagai
pelajaran untuk membangkitkan dakwah kala ini. Bukan sekadar pelajaran
berjamaah tapi banyak hal, diantaranya:
Pertama, kemenangan
membutuhkan optimisme. Andaikan Arsenal memiliki mental rendah maka mustahil
meraih keberhasilan kala itu. Bayangkan saja, pada babak pertama mereka mengawalinya
dengan sangat buruk. Saat laga baru memasuki 37 menit, Reading sudah membobol
empat kali.
Mengejar
ketertinggalan seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi Reading tampil
agresif dan selalu menyerang di muka gawang. Namun demikian di masa injury time sebelum turun minum, Theo
Walcott dari Arsenal berhasil membobol gawang kiper Adam Federici.
Arsenal baru
mencetak gol lagi Di menit 89. Harapan untuk membuat dua gol benar-benar
menjadi perjuangan mati-matian oleh Arsenal. Maka di masa injury tim, lagi dua
gol disarangkan, skor pun 4 sama. Mulailah bauh kemenangan itu tercium.
Arsenal membalikkan
keadaan! Tim tamu unggul 5-4 di menit 108. Namun Reading belum kandas. Di menit 116, Reading menyeimbangkan permainan setelah
mencetak gol untuk menjadikan skor kini 5-5. Arsenal kembali memimpin 6-5 di
menit 120. Dua menit kemudian di masa injury time, Chamakh memastikan
kemenangan setelah menciptakan gol ketujuh Arsenal yang memanfaatkan kesalahan
pemain belakang lawan.
Itulah mental
juara, tidak terpuruk, saat kalah. Mereka tidak berputus asa, tidak lemah,
tidak bersedih ketika fansnya meninggalkan stadion sepak bola. Da’i semestinya
demikian, tak bersedih hanya karena kalah pilkada, hanya karena dianggap
ditinggalkan simpatisan, atau karena ditinggalkan kader lainnya. Padahal bagi
seorang da’i jika ia ingin ditinggikan derajatnya (kemenangan, red) adalah dia
mesti tegar dan kuat.
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran: 139)
Ayat ini turun kala
Kaum Muslimin mengalami kekalahan dan penderitaan yang cukup pahit pada perang Uhud. Di sini,
Allah menghibur kaum Muslimin agar tidak
terdramatisasi oleh suasana. Kalah menang itu adalah biasa. Jika kita beriman,
percaya dan yakin kepada Allah, suatu kali Allah pasti meninggikan derajat kita
sesuai janjinya di atas. Bisa jadi derajat itu adalah kekuasan Islam yang kita
perjuangkan, atau surga sekalipun kita belum melihat keberhasilan dakwah pada
masa hidup kita.
Pelajaran kedua,
gebrakan pemimpin. Susulan dua gol pada menit ke 89 menurut Pelatih Arsene Wenger,
yang sudah aral melintang dalam persepak bolaan, adalah hal yang sangat
menakutkan apabila dikejar sekalipun waktu sangat singkat. Katanya, "Saya
tahu bagaimana rasanya setelah unggul 4-0 (kemudian terkejar), karena saya
alami itu di Newcastle. Saat kedudukan 4-0, Anda merasa pasti menang, namun
bila dikejar 4-2 kami mulai panik."
Namun Arsene Wenger
benar-benar tahu bagaimana strategi memimpin saat mereka panik. Dilakukan
berbagai serangan sampai pergantian pemain.
Beginilah dakwah,
kita mesti punya kualitas penggebrak dari seorang pemimpin. Jika kita masih kalah,
kita harus punya daya kritis, daya juang yang terus dipacu. Pada perang Yarmuk
misalnya, sebulan lebih pasukan muslim r dan pasukan Romawi hanya bisa saling
menunggu serangan. Kala itu, Muslim memiliki 27.000 tentara, sementara Romawi
240.000 tentara.
Mental Muslim ketika
itu ciut. 240.000 adalah jumlah yang tak pernah dihadapi Islam sebelum-sebelumnya. Sementara musuh
lebih ciut lagi, kenapa? Karena pasukan Muslim adalah pasukan yang menggebrak.
Bagaimana tidak, teringatlah semua track record kemenangan Islam
sebelum-sebelumnya.
Muslim menambah
pasukan dari Khalid bin Walid di Irak, dan saat itu genaplah jumlah tentara
muslim 36.000. Tapi itu belum cukup. Khalid melihat ada kelemahan kepemimpinan.
Maka digerakannya mental pasukan, ”Daripada Kalian sibuk menghitung jumlah musuh
kalian, maka lebih baik sibuk menyembelih leher-leher mereka.”
Khalid Bin Walid
juga meyakinkan bahwa dia adalah pemimpin pasukan. “Saya akan menjadi imam
kalian dalam shalat subuh. Ketika saya bertakbiratul ihram, naiklah kalian ke
atas kuda, takbir kedua, siap-siaplah, takbir ketiga mulailah menyerang.”
Terpompalah semangat Muslim kala itu, dia menjadi ahli strategi.
Mungkin begini cara
berpikir para pemenang Arsenal, daripada sibuk menghitung waktu atau mengingat
gol lawan. Lebih baik sibuk menyerang dan menyarangkan bola ke gawang. Begini
pula kita, daripada sibuk berpikir musuh kita terlalu kuat, kader kita mulai
berkurang, simpatisan kita telah lari satu persatu, lebih baik kita menjadikan
diri kita untuk lebih kuat—padahal kita lupa kader kita terus bertambah. Inilah
yang dipacu oleh Arsene Wenger.
Ketiga, para
pemenang selalu memanfaatkan waktu. Arsenal unggul di menit-menit dramatis, di
menit 89, di injury time, di menit 108, menit 120 dan injury time lagi. Artinya
selama masih ada waktu, selama itu pula kemenangan tetap berpeluang. Kalah dan
menang ditentukan oleh peluit panjang.
Ini pula yang
diajarkan dalam dakwah. Sebelum terompet kiamat menggelegar, dakwah masih akan
berjalan. Jangan kira dakwah bergantung pada SDM saja, dakwah itu pada waktu.
Manfaatkan setiap waktu yang ada. Kaidah dakwah, “umru dakwati, athwalu mina a’murina”
umur dakwah lebih panjang dari umur kita semua. Teruslah berjuang sampai titik
darah penghabisan. Kalaupun darah kita habis, akan ada pengganti yang
meneruskan dakwah ini hingga waktu dunia berakhir.
Keempat, munculnya ekspektasi
yang kuat. Pada masa-masa genting Arsene Wenger mengganti beberapa pemainnya. Olivier
Giroud dimasukkan di menit 62. Di menit 65 Giroud membuat gol.
Tentunya pengganti
di situasi genting itu pasti memiliki ekspekstasi kuat dari penonton. Akhirnya
dia harus memiliki ambisi membuat gol.
Begini pula kita. Bukan
berarti raga kita tak harus diganti, tapi kita mesti merefresh dan sadar kita
memiliki amanah yang besar: Muslim sedang tsiqoh
pada kita untuk mengarungi dakwah ini. Kita adalah harapan besar mereka. Buat
ekspektasi itu!
Dan terakhir, tidak
takut dengan gertakan. Berada di kandang lawan mungkin menjadi beban tersendiri
bagi tim tandang. Tekanan emosional dari penonton sangat-sangatlah berpengaruh.
Apalagi bagi lawan pemilik kandang, merasa harus menang di hadapan publiknya.
Namun bagi mereka yang telah berani, tak pernah takut dengan gertakan itu.
Begitulah para
du’at. Kita diajarkan untuk berdoa, “Auzubika min ghalabati daini (Aku
berlindung padamu dari gertakan orang-orang kuat!). Ada emosi yang mampu mereka
atur, yaitu tak boleh menjadi pengecut. Pengecut itu adalah musuh dari diri
seorang Muslim. Seorang pengecut sebagaimana dalam Alqur’an dalam surah
Almunafiqun: “Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan itu ditujukan kepada
mereka.” Dan jika pemberani maka
berdirilah segera, song-song kemenangan dengan takbir. Allahuakbar!
Nanang Toranggaluku