Islamedia - Sangat banyak alasan bagi suami dan isteri
untuk terus berkonflik. Mereka berasal dari tradisi keluarga yang
berbeda, mereka memiliki kebiasaan, pemikiran, kesenangan, perasaan yang
tidak sama. Bahkan sering dikatakan, planet asal merekapun berbeda.
Yang satu dari Mars, satu lagi dari Venus. Jika setiap satu perbedaan
memunculkan satu konflik, maka setiap hari mereka akan selalu berada
dalam ketegangan situasi yang tidak produktif.
Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan
rumah tangga, memang selalu ada konflik dengan segala tingkatannya.
Tidak ada keluarga tanpa konflik, yang membedakan adalah cara mereka
menikmati, mengelola dan keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian,
tidak perlu berlebihan dalam memandang terjadinya konflik. Justru yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana mengubah konflik menjadi cinta yang
menyala dalam keluarga.
Tiga Tingkat Konflik
Konflik tidaklah terjadi secara tiba-tiba,
namun ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi
dalam tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik
yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada
beberapa ketidakcocokan antara suami dengan isteri, tetapi
ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap,
dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak
diekspresikan, namun lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami
dan isteri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, namun tidak
diungkapkan.
Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict. Konflik
yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami atau
sudah tampak di permukaan. Suami dan isteri sudah sama-sama mengalami
perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran atau
perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara
suami dan isteri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya
tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk
kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan.
Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada
tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti
pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik.
Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon).
Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan
isteri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata”, seperti
menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak
perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Memahami tingkatan konflik ini akan sangat
membantu bagi suami dan isteri untuk bisa menentukan sikap yang tepat
pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan isteri tidak membiarkan
konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan
ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan pertama sangat
diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya
berlarut-larut atau berlama-lama.
Keluar di Tingkat Pertama
Saat suami dan isteri mulai merasakan
ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah
dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Isteri tidak bisa atau
tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi,
takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan isteri.
Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspon dengan
berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, namun memendam perasaan
yang tidak nyaman.
Bisa juga suami dan isteri berada dalam
suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami
atau isteri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun
tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman, karena mudah salah
paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan.
Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya.
Inilah gejala suami dan isteri sudah memasuki
gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman,
suasana ketidakcocokan antara suami dan isteri, namun hanya dipendam di
dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masih
memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan.
Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah
dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan
tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama
dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta
perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang
sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini,
agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan anda bersama pasangan
tercinta.
Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak
pasangan anda berbicara, dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang
jernih dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf
anda kepada pasangan, karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman
kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan,
konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan.
Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini
mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi, atau saling menyalahkan
di antara suami dan isteri.
Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan
canda agar suasana lebih cair dan nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan
yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa
diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam
kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda,
perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang
mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan, sehingga hati tidak lagi
menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan.
Jangan biarkan konflik tahap pertama ini
berkembang dalam jiwa, karena lama-lama akan meningkat menuju konflik
tahap kedua dan ketiga, yang akan semakin sulit untuk menyelesaikannya.
Mumpung belum membesar, mumpung belum terlanjur, segera keluar pada
tahap pertama ini.
Selamat beraktivitas. Selamat menikmati cinta.

Cahyadi Takariawan