Mengapa Harus Mang "Damai" ? -->

Mengapa Harus Mang "Damai" ?

Selasa, 09 Oktober 2012
Islamedia -  Sejak mendengar ada bisikan Mang "Damai" bakal dicalonkan jadi anggota Dewan, semua teman menyambut gembira. Terlebih lagi Amir yang kebetulan paling tua, mengusulkan segera buat pertemuan ba'da Sholat Isya.

Anggota team diberitahu via sms, diskusi demi diskusi harus sesering mungkin diselenggarakan. Temanya, agar Mang "Damai" dapat terpilih dengan jumlah suara yang signifikan.

Betapapun ini peluang besar, untuk teamnya bisa bangkit lebih tegak lagi. Berkontribusi 'kebaikkan' untuk negeri ini.Terlebih yang dipilih adalah teman sendiri yang biasa kumpul-kumpul di kedai. Berbagai teori pendekatan ke masyarakat dibicarakan.

"Apa kiat-kiat yang telah Antum buat, akh?," tanya Amir memulai dialog ketika semuanya sudah kumpul.

Mang "Damai" senyum-senyum saja.

"Apa yah?..,"jawabnya balik bertanya, sambil tetap asyik kedua tangannya memegang handphone Blackberry.

Sepertinya sedang membalas BBM dari seseorang. Lalu manggut-manggut dengan pandangan mata yang seakan kosong jauh ke depan.

" Kita tingkatkan saja hubungan kepada Allah dan kepada Manusia," jawabnya pelan dan datar seperti anggota persatuan Mubaligh yang sudah kelamaan tidak naik mimbar.

Begitulah...! saran demi saran disampaikan oleh teman-teman.

"Antum harus keliling Sholat Jum'at, kalau perlu Sholat lima waktunya pun dibuat merata di beberapa Masjid dan Musholla," kata Pak Cik Didit. "Betul, betul, gotong royong tiap minggu pun harus dikunjungi bergilir ke beberapa RT dan RW agar mereka dapat mengenal Antum," saran Bang Ucok pula.

" Bersamaan menjelang Idul Adha perlu dibuat spanduk ucapan selamat dengan gambar antum disitu.Terus kita pasang di beberapa titik," sergah Uda Bujang tak mau ketinggalan.

Semua teman antusias memberikan saran secara bergantian. Sampai-sampai tak ada yang sempat menghirup teh manis yang mulai dingin. Kecuali Mardut, kawan yang satu ini cuma planga-plongo. Terkesan tidak peduli. Cuma mulutnya saja yang terus mengunyah gorengan yang tersedia.

Mardut adalah satu figur yang tidak jelas kapan mulai bergabung dalam Team. Terkadang muncul, terkadang lama menghilang. Tapi Alhamdulillah, kami semua menganggap juga sebagai saudara. Walau banyak sekali protes-protes yang dia lontarkan kalau ada satu kebijakan dari pimpinan daerah ataupun pusat yang dianggapnya tidak tepat.

Bicaranya meletup-letup, terkesan kasar.

Demikianlah, akhirnya pertemuan itu bubar. Doa kifarat majelis pun kami panjatkan seperti biasa. Semua teman saling berpelukan lalu pulang, meninggalkan Amir sang tuan rumah.

Ketika Amir mulai membereskan gelas dan piring kotor yang berantakan, Amir terkejut sekali. Rupanya Mardut masih tegak di dekat pintu.

"Pak Amir, saya mau bicara," ucapnya sambil bersandar di dinding.

"Mengapa harus Mang "Damai" yang dicalonkan?...Mengapa tidak Pak Amir?," tanyanya selidik.

" Sekarang sudah jam 00.15 dini hari. Bagaimana kalau besok saja kita bahas?..kita harus istirahat. Setidaknya agar Sholat Shubuh berjama'ah tidak kesiangan," tegas Amir.

" Tapi..saya akan sulit tidur kalau belum mendapatkan jawaban itu," lanjut Mardut tak puas.

" Kita harus taat kepada Allah, kepada Rasulullah dan juga kepada orang yang kita percaya sebagai Pemimpin," ujar Amir.

" Saya tahu itu, Pak !..tentu harus disertai alasan-alasan yang masuk akal. Mengapa tidak si Ucok yang pengusaha itu atau Uda Bujang yang lebih Senior?," sanggah Mardut.

Rasa kantuk Amir seakan sirna melihat sikap kawannya yang aneh ini.

" Pak Mardut..kita berjuang semua karena Allah. Kita sepakat mengedepankan fungsi dan bukan posisi," tegas Amir yang mulai curiga dengan niat Mardut bergabung dalam kelompoknya.

"Tolong jawab pertanyaan saya Pak Amir, apa kelebihan Mang "Damai" dibandingkan saya si Mardut ini?, "Ucapnya sambil menunjuk dada dengan suara yang mulai meninggi.

Amir pun segera beristighfar berulang-ulang guna membujuk hatinya yang mulai bergetar. Orang seperti Mardut memang masih banyak di negeri ini. Tak ubahnya ilalang yang turut tumbuh disela barisan tanaman di ladang. Mulanya terkesan Ia membela kebenaran. Padahal yang dibela adalah dirinya dan nafsunya.

Kini Amir pun mulai kehilangan senyum. Sejurus kemudian dia berkata kepada Mardut. " Karena rasa iri dan kesombonganlah, Allah mengusir Iblis dari Surga. Sekarang, segera kau keluar dari rumahku. Aku mau menutup pintu," ujar Amir.

Mardut bergegas menuju motornya yang sudah dibasahi embun. Lalu pergi tanpa memberi salam.

Batam, 07 Oktober 2012 19.41 WIB


Antho Bandara ( Budayawan )