Islamedia - Jika anda pergi ke luar
kota untuk sebuah urusan, lalu anda ingin kembali karena telah selesai dengan
urusan tersebut, tentu anda hanya harus kembali ke kota asal anda. Namun,
kemana anda akan kembali saat kota yang menjadi kampung halaman anda, kota yang
menjadi kenangan masa kecil anda, kota tempat kembali anda, pergi entah kemana,
kemana anda akan kembali?
Pembangunan di negara
berkembang memang sedang marak sekarang ini, pembangunan gedung atau mal baru
seakan sudah menjadi pemandangan yang biasa saja. Pembangunan ini juga telah
sampai di kota kami, apakah itu adalah hal yang baik? Ya, dengan pembangunan
mal dan gedung-gedung tersebut, mungkin pemerintah berharap akan tercipta
lapangan kerja baru, ekonomi daerah yang meningkat, dan lain sebagainya. Ya,
sekali lagi Ya, dengan pembangunan tersebut daya beli masyarakat meningkat,
roda perekonomian daerah juga berputar semakin cepat, kualitas hidup meningkat,
dan lain sebagainya.
Hal-hal hebat dan besar yang
dilakukan para investor dengan uang yang sangat banyak, telah mengubah banyak
hal di sini. Hal yang memang luar biasa, penggusuran atau mungkin lebih sopan
disebut pembebasan lahan. Tak perlu perlu membuka buku atau mencari di internet
mengenai definisi “penggusuran” tersebut, cukup datang ke “kota” kami maka anda
akan dapat memahaminya. Membeli tanah warga dengan harga yang “Wah” bagi
pemilik tanah, padahal harganya tak akan sebanding dengan harga yang berlaku
setelah pembangunannya selesai. Tuan rumah sebut saja “pribumi” seakan-akan
menjadi orang asing yang merantau di tanah kelahirannya sendiri, hal yang aneh
jika tamu menjadi “majikan” dari tuan rumah, tapi itulah yang terlihat disini.
Banyak hal yang datang,
banyak hal yang pergi juga. Pemandangan pohon-pohon yang hijau, kini telah
berubah menjadi pemandangan bangunan-bangunan tinggi. Kicau burung yang
menyambut pagi hari yang cerah, kini telah digantikan oleh suara kendaraan yang
menyambut pagi hari yang sibuk. Pengangguran kini tidak hanya menyerang orang
dewasa, tetapi pengangguran kini juga sudah mulai menyerang anak-anak,
bagaimana tidak? Untuk bermain sepak bola saja, mereka harus menyewa lapangan,
berlari saja sudah sulit, karena padatnya rumah-rumah. Jadi, kalau sedang tidak
punya uang, ya nganggur, gak ada mainan.
Anak-anak yang kehilangan
lapangan untuk bermain mereka, orang-orang tua yang kehilangan kenangan mereka,
atau orang-orang yang kehilangan kampung halamannya, tak banyak yang peduli
dengan mereka. Kota yang selama ini menjaga mereka telah pergi, “diusir” oleh
orang-orang yang bahkan tak pernah sama sekali tinggal disini. Haruskah
pembangunan ini mengorbankan tawa mereka? Bukankah pembanganan ini seharusnya
ada untuk mereka? Perubahan memang perlu, tapi apakah perubahan seperti ini yang
kita harapkan?
Ini adalah kota kita,
bukan kota mereka. Kita adalah tuan rumah dan memang bagitu adanya, meraka
hanya tamu dan memang begitu adanya. Jangan sampai tuan rumah menjadi
“pembantu” di rumahnya sendiri, kita hanya diperintahkan untuk menghormati
tamu, bukan menjadikannya “majikan” kita. Kami seakan-akan pergi, padahal kami
tak pernah pergi kemana pun, karena bukan kami yang pergi, tapi “kota” kami
yang telah pergi meninggalkan kami. Ini bukan kisah fiktif kawan, ini adalah
kisah nyata, antara kami dan kota kami.
Syn Adhitya