
Islamedia - Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali
Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai
manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya
sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai
istri. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya
sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan
memelihara serta melindunginya sebagai anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif)
dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan
mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula
diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga
untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat
al-Baqarah: 35)
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur’an
maupun As-Sunnah shahihah, yang mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.)
yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan menjadi
penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam
Kitab Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa Adamlah orang
pertama yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha:
115-122).
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan
kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari
apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri
telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai
manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau
sebagai ibu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering
disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas
dari semua itu. Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan
pendapatnya dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
“Bermusyawarahlah
dengan kaum wanita kemudian langgarlah (selisihlah).”
Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu’). Tidak ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadits).
Yang benar, Nabi SAW pernah bermusyawarah dengan istrinya, Ummu
Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah
mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela
serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan
dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada
perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa “Wanita itu jelek segala-galanya, dan
segala kejelekan itu berpangkal dari wanita.”
Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur’an
selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman dengan
laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan
seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Suara Wanita
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak
boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya.
Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan
membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur’an memperbolehkan laki-laki
bertanya kepada istri-istri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah
istri-istri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih
berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang
diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka?
Namun demikian, Allah berfirman:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir …” (QS. al-Ahzab: 53)
Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu
memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin:
istri-istri Nabi). Mereka biasa memberi fatwa kepada orang yang meminta
fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang
ingin mengambil hadits mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW di hadapan kaum
laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun
tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal
pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas
sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran
wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, “Semua
orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar.”
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang
sudah tua (Nabi Syu’aib; ed.) yang berkata kepada Musa, sebagai
dikisahkan dalam Al-Qur’an:
“… Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami …” (QS. al-Qashash:
25)
Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada mereka:
“… Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu
menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak
kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” (QS. al-Qashash: 23)
Selanjutnya, Al-Qur’an juga menceritakan kepada kita percakapan yang
terjadi antara Nabi Sulaiman AS dengan Ratu Saba, serta percakapan sang
Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi
peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana
pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik
laki-laki, yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa membangkitkan
nafsu orang-orang yang hatinya “berpenyakit.” Namun, dengan ini bukan
berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki.
Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan
salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang
diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits di atas mereka
artikan dengan “wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau
musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit,
kelaparan, dan ketakutan.” Mereka melupakan suatu masalah yang penting,
yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak
daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
“… Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ….” (QS. al-Anbiya: 35)
Al-Qur’an juga menyebutkan harta dan anak-anak – yang merupakan
kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya – sebagai fitnah yang harus
diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)…” (QS. at-Taghabun: 15)
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan …” (QS. al-Anfal: 28)
Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang harta atau
anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya dan
melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS.
al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan
anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah oleh wanita, terfitnah
oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari
perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan khusus
(pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari kepentingan-kepentingan
umum. Mengenai hal ini Al-Qur’an memperingatkan:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka …” (QS. at-Taghabun: 14)
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk
membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam
hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang
dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan
menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita di sini seperti
peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan
kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi
yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu
sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu
memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba
memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka dahulu
binasa karenanya.”
(Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah SAW hendak menyebarkan
kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari
kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga
tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan
dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:
“Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik” (HR. Ahmad 4:197
dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya
menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh
adz-Dzahabi)
Dengan hadits di atas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu merah
bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan
berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang
tanpa mereka sadari.
—
Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer