Islamedia - “Kita
sering malu bila tidak dapat berbahasa asing dengan baik dan benar. Padahal,
kita seharusnya lebih malu bila tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar”. [Agus Dharma, Kepala Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa]
Kalimat
tersebut saya kutip dari sambutan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa pada acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra sekaligus pencanangan Gerakan
Cinta Bahasa Indonesia [GCBI] di Gedung Sasana Utama, TMII. Sebuah kalimat yang
menarik, yang sekaligus mengajak kita untuk menginstropeksi diri dan merenung,
sejauh mana kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia.
Berbicara
bahasa Indonesia mengingatkan janji pemuda-pemudi bangsa Indonesia dalam ikrar sumpah
pemuda no 3 “Kami putra dan putri
Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”
Zaman berubah seiring
dengan perkembangan globalisasi. Mungkin itu juga yang memacu
perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada bahasa kita, bahasa Indonesia. Perubahan-perubahan
itu sendiri dapat kita lihat dari penggunaan bahasa sehari-hari, baik dengan
media maupun tidak. Banyak contoh konkret yang mewakili beragam pembaharuan
bahasa kita yang lama-lama semakin nyleneh dan tidak masuk
akal.
Contohnya:
“Ch0r3, gh1 aph4 n1h?”
“ciyus, miapah, enelan....”
dll
Bahasa-bahasa Alay dan
lebay. Dua kosa kata yang tiba-tiba meng-Indonesia-kan diri dan menjadi bahasa
sehari-hari yang sampai saat ini belum tercatat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang terbaru. Penulisan seperti itu paling sering dijumpai di
jejaring sosial. Mirisnya penulisan bahasa seperti itu tiba-tiba berkembang
pesat bahkan melebihi perkembangan pembangunan bangsa Indonesia kita sendiri.
Hal tersebut merupakan wujud
nyata pemodifikasian bahasa yang sedang terjadi di masa kini. Penggunaan bahasa
yang tidak lazim mulai merambah dan menjamur bak cendawan di musim hujan. Hal
tersebut dianggap memenuhi kriteria kondisi gaul remaja zaman sekarang.
Disadari atau tidak, atau mungkin benar-benar disadari, bahasa kita semakin
mengalami perkembangan yang entah itu terkesan maju atau mundur.
Jika kita amati dari
kasus ini, ternyata orang Indonesia sangat kreatif dalam memodifikasi segala
sesuatu. Contoh yang sedari tadi dibahas ialah bahasa. Bahasa kita yang telah
tertata apik dan sistematis mulai dimodifikasi sedemikian rupa. Modifikasi yang
entah hanya sebagai bahan guyonan ataupun benar-benar ada
pemodifikasian di dalamnya.
Penggunaan bahasa yang
dilebih-lebihkan ini baru terjadi di era ini, era reformasi. Yang di mana,
seharusnya banyak kaum cendekiawan yang semakin cerdas dalam mengolah bahasa,
baik secara kuantitas maupun kualitas.
Penyebaran fenomena
penulisan dan penambahan bahasa ini bukan hanya tersebarkan oleh media-media
sosial di dunia maya. Bahkan sangat melekat palafalannya dalam masyarakat. Facebook dan twitter berperan
penting dalam penyebaran penulisan dan penambahan kosa kata ini.
Penulisan kalimat yang
campur aduk dan menyatukan antara huruf, simbol dan angka mungkin hanya terjadi
di Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan pada jejaring sosial dan media sosial
maya di luar negeri. Remaja-remaja di luar negeri masih wajar dalam menggunakan
bahasa mereka. Mereka masih wajar dalam menuliskan kalimat-kalimat tanpa menyertakan
simbol dan angka secara serentak yang sebenarnya tidak diperlukan.
Melihat dari modernisasi
bahasa yang telah memodifikasi bahasa kita secara sedemikian rupa, bagaimanakah
tanggapan masyarakat selama ini? Ada yang cuek, ada juga yang peduli. Beragam
tanggapan yang interaktif dan non interaktif muncul. Akan tetapi kesemuanya
belum menemukan solusi yang tepat.
Sebenarnya, bukan
masalah dan bukan pula sebuah larangan siginifikan kepada penulisan dan
penambahan kosa kata yang ada. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang menggunakan
bahasa Indonesia sehari-hari, seharusnya kita tetap menjaga dan melestarikan
bahasa yang telah mendarah daging selama beratus-ratus tahun.
Bangsa lain saja
memperjuangkan bahasanya sampai ke tingkat Internasional. Contohnya saja negara
Jepang yang dulu mengajukan diri sebagai bahasa Internasional sebagai bahasa
Inggris. Mengapa kita yang pluralis dan multikultural
tidak melestarikannya secara obyektif? Seharusnya, kita sebagai bangsa yang
merasa berpendidikan wajib menggunakan bahasa sesuai ejaannya, sesuai dengan
kaidahnya dan sesuai dengan kebakuannya.
Peraduan globalisasi
saat ini juga mulai menciptakan fenomena baru yang lebih kompleks. Kesenangan remaja
masa kini dengan budaya negara lain mulai menerapkan bahasa asing pada
penggunaan bahasa sehari-hari. Hal ini, ditakutkan akan melunturkan
keobyektivitas bahasa.
Hal tersebut tidak
dilarang, akan tetapi kita tetap harus mencintai dan membudayakan berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Jangan melupakan bahasa Ibu yang telah
melahirkan kita sebagai manusia yang mengenal bahasa dan cara berkomunikasi
yang baik dan benar.
Mungkinkah generasi muda di
Indonesia hanya mengenal bahwa ikrar Sumpah Pemuda itu hanya tentang dua hal
saja? bertumpah darah satu dan berbangsa satu saja? diluar itu ikrar yang
menyatakan bahwa menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia itu tidak pernah
diajarkan..?
Kalau sudah begitu, mau dibawa kemana bahasa Indonesia?
Kalau sudah begitu, mau dibawa kemana bahasa Indonesia?
Jika, bukan kita yang
memulai? Lalu siapa lagi? Kita tidak bisa terus-terusan mengharapkan perubahan
baik dari generasi muda tanpa memberikan contoh berarti bagi mereka terlebih
dahulu, bukan?
Mari cintai bahasa kita,
bahasa Indonesia.
Seperti ketika para
pemuda melakukan sumpahnya pada tanggal 28 Oktober 1928, mari katakan dengan hikmat,
“Kami putra dan putri Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Modernisasi yang
dilakukan untuk bahasa Indonesia haruslah modernisasi positif yang bertujuan
memajukan bangsa kita.
“Bahasa adalah cermin jatidiri bangsa. Tanpa bahasa, Indonesia
bukanlah apa-apa. Dampak degradasi
bahasa tak disadari secara langsung oleh para pemuda sebagai penerus Bangsa.
Mau dibawa kemanakah Bangsa ini ke depannya? Siapa lagi kalau bukan kita para
pemuda dan seluruh elemen bangsa yang menjaga otentisitasnya dan melestarikan
keberadaaannya? Ini bukan hanya tugas seorang pelajar, seorang dosen, seorang
yang memiliki pendidikan dll tapi ini tugas bersama.. “
-selamat hari sumpah pemuda,
28 oktober 2012-
Wallahu’alam
Haris Dianto Darwindra
Kepala Departemen Syiar Islam Media, Forum Komunikasi
Dakwah Islam Fakultas (FKDF) Universitas Padjadjaran 2012