Islamedia - Eksplorasi dan eksploitasi migas berlangsung sejak lama di wilayah Teluk Arab. Penambangan itu kian kemari kian menyedot listrik dalam jumlah besar. Para eksportir besar di sana mencari energi alternatif demi memenuhi melonjaknya kebutuhan listrik, agar tidak melahap cadangan minyak dan gas mereka.
Dalam kondisi semacam itu, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara pertama yang akan membangun pembangkit tenaga nuklir di wilayah Teluk Arab. Tingkat kebutuhan energi di UEA sendiri tumbuh per tahun dalam angka 9% atau tiga kali lipat pertumbuhan rata-rata kebutuhan energi dunia.
Regulator UEA menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan lisensi kepada Perusahan Energi Nuklir Emirat (ENEC) untuk pembangunan dua reaktor nuklir di negara anggota OPEC itu. Proyek bernilai milyaran dollar itu sendiri akan dikerjakan oleh konsorsium yang dipimpin perusahaan asal Korea Selatan.
Kecelakaan nuklir di Fukushima Jepang pada Maret 2011 telah memicu sejumlah negara untuk memikirkan ulang ambisi nuklir mereka, namun energi atom itu tetap menjadi pilihan menarik bagi negara-negara Arab pemroduksi minyak, termasuk eksportir utama minyak bumi seperti Arab Sasudi, yang dalam saru dekade ke depan menghadapi lonjakan kebutuhan listrik.
Lebih lanjut, regulator UEA menyatakan bahwa pemberian izin itu dilakukan setelah melalui evaluasi menyeluruh selama 18 bulan, dan proyek ini akan mencegah kesalahan seperti yang terjadi di Jepang.
"Kami harus mendalami sebanyak mungkin pelajaran yang kami peroleh dari tragedi Fukushima, dan kami meminta ENEC untuk menjabarkan masalah ini dalam sebuah laporan, dan itu telah mereka lakukan," kata William Travers, Direktur Utama Federal Authority of Nuclear Regulation (FANR).
Di wilayah Timur Tengah, UAE menjadi yang kedua setelah Iran yang juga memiliki Pembangkit Nuklir Bushehr yang dibangun Russia. Ambisi nuklir Iran sendiri dipandang oleh Barat sebagai kamuflase untuk upaya membangun senjata nuklir. Tetapi Teheran menyangkal tuduhan tersebut.

"Kami akan terus menyadari betul tanggung jawab kami agar pembangkit tenaga nuklir di UAE dimanfaatkan secara aman, memerhatikan unsur keselamatan, dan hanya untuk tujuan-tujuan damai," lanjut Travers dalam pernyataannya.
Eksportir migas di wilayah tersebut terus berupaya menghemat cadangan minyak dan gas mereka untuk kebutuhan ekspor saja, daripada dipakai untuk menghasilkan listrik. UEA sendiri bukan satu-satunya yang berpikiran seperti itu.
Arab Saudi, yang memiliki penambangan migas terbesar di dunia, juga diperkirakan akan merampungkan rencana energi atomnya pada tahun ini, dalam menghadapi cepatnya kenaikan permintaan listrik yang didorong oleh meledaknya belanja petro-dolar. Eksportir besar gas alam (LNG) seperti Qatar, Yordania, Aljazair dan Kuwait juga telah mempertimbangkan pemanfaatan energi nuklir.
Sebelumnya, pada bulan Desember 2009, UEA memberikan kontrak kepada konsorsium yang dipimpin oleh Korea Electric Power Corp (KEPCO) untuk membangun empat reaktor nuklir dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan listrik. Konsorsium berencana untuk membangun dan mengoperasikan reaktor berkapasitas 1.400 megawatt.
ENEC telah menunggu lisensi sebelum benar-benar menuang beton untuk dua reaktor pertama di Braka, sebelah barat ibukota UEA, Abu Dhabi. Reaktor yang mulai dibangun sejak Juli lalu itu ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2017, dan reaktor lainnya pada tahun 2020.
UEA juga merupakan negara pertama yang mengeluarkan otorisasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir pertama sejak China melakukannya pada tahun 1981, kata Hamad Al Kaabi, wakil UEA permanen untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Lisensi yang diberikan adalah untuk dua reaktor pertama, tetapi Travers mengatakan bahwa lisensi untuk pengajuan dua reaktor lainnya bisa turun segera. "Ini terserah ENEC, tapi kami telah diberitahu secara informal bahwa pengajuan berikutnya bisa disetujui sebelum akhir tahun kalender berjalan," katanya.
Sebelum pemberian kontrak kepada konsorsium Korea Selatan, Uni Emirat Arab menandatangani perjanjian di bawah Undang-Undang Energi Atom Amerika Serikat dengan Amerika Serikat pada awal 2009, yang mengorbankan haknya untuk memperkaya uranium di dalam negeri.
ENEC mengatakan tahun lalu, bahwa badan itu akan merampungkan rencana pengadaan bahan bakar pada kuartal pertama tahun 2012. Juga ada pembicaraan dengan sejumlah negara termasuk Australia dan Rusia untuk membeli bahan bakar minyak. Tetapi proses ini masih berlangsung. "Ini adalah tanggung jawab ENEC, tapi kita tahu bahwa mereka bekerja untuk mengembangkan pasokan bahan bakar, dan kami akan mendengar segera kabar dari ENEC," kata Travers. [iina/wnn/enec]
Dalam kondisi semacam itu, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara pertama yang akan membangun pembangkit tenaga nuklir di wilayah Teluk Arab. Tingkat kebutuhan energi di UEA sendiri tumbuh per tahun dalam angka 9% atau tiga kali lipat pertumbuhan rata-rata kebutuhan energi dunia.
Regulator UEA menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan lisensi kepada Perusahan Energi Nuklir Emirat (ENEC) untuk pembangunan dua reaktor nuklir di negara anggota OPEC itu. Proyek bernilai milyaran dollar itu sendiri akan dikerjakan oleh konsorsium yang dipimpin perusahaan asal Korea Selatan.
Kecelakaan nuklir di Fukushima Jepang pada Maret 2011 telah memicu sejumlah negara untuk memikirkan ulang ambisi nuklir mereka, namun energi atom itu tetap menjadi pilihan menarik bagi negara-negara Arab pemroduksi minyak, termasuk eksportir utama minyak bumi seperti Arab Sasudi, yang dalam saru dekade ke depan menghadapi lonjakan kebutuhan listrik.
Lebih lanjut, regulator UEA menyatakan bahwa pemberian izin itu dilakukan setelah melalui evaluasi menyeluruh selama 18 bulan, dan proyek ini akan mencegah kesalahan seperti yang terjadi di Jepang.
"Kami harus mendalami sebanyak mungkin pelajaran yang kami peroleh dari tragedi Fukushima, dan kami meminta ENEC untuk menjabarkan masalah ini dalam sebuah laporan, dan itu telah mereka lakukan," kata William Travers, Direktur Utama Federal Authority of Nuclear Regulation (FANR).
Di wilayah Timur Tengah, UAE menjadi yang kedua setelah Iran yang juga memiliki Pembangkit Nuklir Bushehr yang dibangun Russia. Ambisi nuklir Iran sendiri dipandang oleh Barat sebagai kamuflase untuk upaya membangun senjata nuklir. Tetapi Teheran menyangkal tuduhan tersebut.

"Kami akan terus menyadari betul tanggung jawab kami agar pembangkit tenaga nuklir di UAE dimanfaatkan secara aman, memerhatikan unsur keselamatan, dan hanya untuk tujuan-tujuan damai," lanjut Travers dalam pernyataannya.
Eksportir migas di wilayah tersebut terus berupaya menghemat cadangan minyak dan gas mereka untuk kebutuhan ekspor saja, daripada dipakai untuk menghasilkan listrik. UEA sendiri bukan satu-satunya yang berpikiran seperti itu.
Arab Saudi, yang memiliki penambangan migas terbesar di dunia, juga diperkirakan akan merampungkan rencana energi atomnya pada tahun ini, dalam menghadapi cepatnya kenaikan permintaan listrik yang didorong oleh meledaknya belanja petro-dolar. Eksportir besar gas alam (LNG) seperti Qatar, Yordania, Aljazair dan Kuwait juga telah mempertimbangkan pemanfaatan energi nuklir.
Sebelumnya, pada bulan Desember 2009, UEA memberikan kontrak kepada konsorsium yang dipimpin oleh Korea Electric Power Corp (KEPCO) untuk membangun empat reaktor nuklir dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan listrik. Konsorsium berencana untuk membangun dan mengoperasikan reaktor berkapasitas 1.400 megawatt.
ENEC telah menunggu lisensi sebelum benar-benar menuang beton untuk dua reaktor pertama di Braka, sebelah barat ibukota UEA, Abu Dhabi. Reaktor yang mulai dibangun sejak Juli lalu itu ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2017, dan reaktor lainnya pada tahun 2020.
UEA juga merupakan negara pertama yang mengeluarkan otorisasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir pertama sejak China melakukannya pada tahun 1981, kata Hamad Al Kaabi, wakil UEA permanen untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Lisensi yang diberikan adalah untuk dua reaktor pertama, tetapi Travers mengatakan bahwa lisensi untuk pengajuan dua reaktor lainnya bisa turun segera. "Ini terserah ENEC, tapi kami telah diberitahu secara informal bahwa pengajuan berikutnya bisa disetujui sebelum akhir tahun kalender berjalan," katanya.
Sebelum pemberian kontrak kepada konsorsium Korea Selatan, Uni Emirat Arab menandatangani perjanjian di bawah Undang-Undang Energi Atom Amerika Serikat dengan Amerika Serikat pada awal 2009, yang mengorbankan haknya untuk memperkaya uranium di dalam negeri.
ENEC mengatakan tahun lalu, bahwa badan itu akan merampungkan rencana pengadaan bahan bakar pada kuartal pertama tahun 2012. Juga ada pembicaraan dengan sejumlah negara termasuk Australia dan Rusia untuk membeli bahan bakar minyak. Tetapi proses ini masih berlangsung. "Ini adalah tanggung jawab ENEC, tapi kita tahu bahwa mereka bekerja untuk mengembangkan pasokan bahan bakar, dan kami akan mendengar segera kabar dari ENEC," kata Travers. [iina/wnn/enec]